• Lingkungan Hidup
  • Kajian Dampak Kesehatan dan Ekonomi Masyarakat Terdampak PLTU Babelan

Kajian Dampak Kesehatan dan Ekonomi Masyarakat Terdampak PLTU Babelan

Rhizoma Indonesia dan Aksi Muda Iklim melakukan penelitian kepada masyarakat terdampak PLTU Babelan. Temuan di lapangan menunjukkan menurunnya kesehatan masyarakat.

Rhizoma Indonesia bersama jaringan Aksi Muda Kolektif menyusun naskah kebijakan (policy brief) bertajuk Cerobong PLTU Mencemari Bumi Babelan, diterbitkan Juni 2025. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)

Penulis Awla Rajul29 Juli 2025


BandungBergerak.idSejak beroperasi penuh pada 2017, PLTU Babelan telah memberikan dampak nyata terhadap perubahan lingkungan dan kesehatan bagi masyarakat sekitar. Melalui policy brief yang dibuat oleh Rhizoma Indonesia dan Aksi Muda Iklim Juni lalu bertajuk “Cerobong PLTU Mencemari Bumi Babelan”, diketahui, polusi dan abu dari aktivitas pembangkitan listrik dari batubara telah mencemari udara dan air yang membuat kualitas hidup masyarakat menurun.

“Biasanya setiap jam 12 malam, cerobong PLTU Babelan mengeluarkan asap polusi diiringi suara bising. Suara bising tersebut akan lebih keras terdengar saat malam hari, mengganggu waktu tidur dan istirahat. Kualitas udara yang memburuk menjadi kekhawatiran warga karena anak-anak sering mengalami batuk dan sesak napas,” mengutip policy brief yang diterbitkan Rhizoma Indonesia dan Aksi Muda Iklim.

Dalam policy brief tersebut dirujuk pula penelitian yang dilakukan oleh Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) pada 2023. Penelitian tersebut menunjukkan perkiraan kontribusi berbagai PLTU terhadap polusi PM 2.5 di Jakarta.

Pada data bulan Juli-Agustus 2023 dengan tingkat maksimal 24 jam, PLTU Babelan berada di urutan kedua yang berkontribusi terhadap polusi PM 2.5 di Jakarta. Sementara di tingkat rata-rata, PLTU Cikarang Babelan berada di posisi utama sebagai penyumbang polusi PM 2.5 ke Jakarta.

“Debu batu bara juga mencemari air warga untuk keperluan mencuci, masyarakat harus menutup drum/tong air yang berada di rumah untuk menghindari debu masuk ke dalam air. Berbagai penelitian menyebutkan debu batu bara mengandung banyak partikel yang mengandung logam berat dan kimia, jika larut ke dalam air maka air menjadi tidak layak untuk kegiatan sehari-hari, apalagi dikonsumsi,” mengutip policy brief.

Polusi udara memang akan meningkatkan risiko penyakit pernapasan. Merujuk penelitian CREA, emisi batu bara yang mengandung PM 2.5 akan berdampak pada kasus kematian. Jawa Barat merupakan provinsi dengan tingkat kematian tertinggi akibat polusi udara yang berkaitan dengan PLTU batu bara. Angka kematiannya diperkirakan mencapai 4.000 per tahun.

Rhizoma Indonesia dan Aksi Muda Iklim melakukan pengamatan dan wawancara kepada masyarakat di tiga wilayah berbeda yang terdampak PLTU Babelan, yaitu Kampung Utan, Kampung Pendayakan, dan Kampung Pasar Mas. Pada periode pemantauan April-Mei 2025, ditemukan data penyakit masyarakat, seperti batuk sebanyak 52,5 persen, sesak napas sebanyak 27,5 persen, cacar sebanyak 12,5 persen, dan 7,5 persen memilih tidak menjawab. Sayangnya, temuan di lapangan menunjukkan, batuk menjadi penyakit yang “wajar” dialami.

“Sementara, sebagian besar masyarakat merasakan dampak polusi suara dar PLTU yang terdengar lebih keras di malam hari dan sangat mengganggu waktu istirahat. Adapun untuk gangguan stress yang dirasakan oleh masyarakat diartikan sebagai gangguan suara yang membuat masyarakat terganggu secara psikologis,” mengutip policy brief.

Selain dampak kesehatan dan lingkungan, masyarakat sekitar juga terdampak perekonomiannya. Mayoritas masyarakat sekitar PLTU Babelan adalah petani. Namun, sebagian petani kehilangan lahan persawahannya yang habis diganti menjadi PLTU. Selain itu, hanya sebagian kecil dari masyarakat sekitar yang bisa dipekerjakan di PLTU dengan pendapatan yang relatif kecil. Karena kekurangan pendapatan, masyarakat pun harus mencari alternatif pekerjaan lain.

“Polusi udara yang disebabkan oleh PLTU Babelan, selain dari menurunkan kualitas lingkungan udara dan kesehatan tetapi juga secara signifikan menurunkan produktivitas ekonomi, seperti meningkatnya pengeluaran biaya kesehatan masyarakat untuk berobat,” merujuk policy brief.

Yang menjadi perhatian khusus belakangan bagi petani di sekitar adalah rencana PLTU Babelan yang ingin membeli lahan pertanian masyarakat di Kampung Sawah. Lahan ini akan digunakan untuk menumpuk dan menyimpan batubara (stockpile). Sebelumnya batubara dibawa melalui kapal cargo curah yang ditambatkan di lepas pantai, kemudian dipindahkan ke kapal tongkang kecil melalui sungai CBL sejauh 12 KM menuju crane dan conveyor di bantaran sungai.

Rencana ini menjadi dilema bagi petani. Selama beroperasinya PLTU, para petani menilai kualitas tanah persawahan menurun, lantas pertumbuhan padi tidak normal karena dampak polusi batubara. Jika memilih bertahan, jumlah panen akan berkurang, kualitas padi yang buruk akan menurunkan nilai jualnya. Alhasil ekonomi melemah. Sementara jika memilih menjual lahannya, para petani ini tidak tau harus bekerja apa setelahnya.

“Perlahan namun pasti kondisi lahan pertanian mereka semakin memburuk karena terus menerus terpapar debu dari polusi batubara. Sementara bertani bukan hanya sekedar pencaharian utama, tapi hidup mereka,” mengutip policy brief Rhizoma Indonesia dan Aksi Muda Iklim.

Baca Juga: Temuan Rhizoma Indonesia dan Aksi Muda Kolektif Terkait PLTU Babelan, Ada Ketidaksesuaian Klaim Perusahaan dengan Kondisi Lapangan
Mendiskusikan Dampak Buruk PLTU di Toko Buku Pelagia

Mengenal PT. Cikarang Listrindo

PLTU Babelan merupakan satu dari tiga pembangkit private yang dimiliki PT. Cikarang Listrindo Tbk (POWR), perusahaan penyedia tenaga listrik swasta. Selain PLTU Babelan yang merupakan pembangkit terakhir dibangun dan beroperasi sejak 2017, PT. Cikarang Listrindo memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Jababeka dengan total kapasitas 755 MW dan PLTG MM-2100 berkapasitas 109 MW.

Ketiga pembangkit ini lalu dialiri melalui jaringan khusus 150kV ke interconnect switchyard, sebelum didistribusikan ke pelanggan industri di lima area, seperti Jababeka Industrial Estate, MM-2100, Jakarta Timur Industrial Park, Hyundai Inti Development, dan Lippo Cikarang. Selain pelanggan industri, PT. Cikarang Listrindo juga memiliki pelanggan institusional, di antaranya PLN.

Cikarang Listrindo memulai aktifitas usaha penyedia listrik sejak tiga dekade lalu, pada 1993 dengan pendirian PLTGU Jababeka. Saat ini, total kapasitas pembangkitan listrik yang terpasang sudah mencapai 1.165,2 megawatt. Perusahaan ini pun telah memiliki 2.600 pelanggan yang tersebar di kawasan industri Jababeka, bergerak di bidang manufaktur ringan maupun berat, seperti otomotif, elektronik, plastic, makanan, kimia, barang konsumsi, industri berat, hingga industri pusat data.

Cikarang Listrindo mengaku berkomitmen untuk pengembangan energi terbarukan dan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK). Upaya yang dilakukan adalah dengan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap dan biomassa. Per Desember 2023, PT. Cikarang Listrindo telah memasang PLTS Atap dengan total kapasitas mencapai 21,2 MWp di atap perkantoran pelanggannya.

“Sejak 2019, perusahaan telah menggunakan biomassa untuk mengurangi emisi batubara pada boiler Circulating Fluidized Bed (CFB) di PLTU Babelan. Lebih lanjut, tahun 2021, perusahaan kembali menunjukkan komitmennya terhadap pengurangan GRK melalui pemasangan sistem penanganan biomassa di PLTU Babelan, yang memungkinkan pembakaran bersama biomassa hingga 28 megawatt,” mengutip laman resmi PT. Cikarang Listrindo.

Cikarang Listrindo juga mengklaim menerapkan prinsip Lingkungan, Sosial, dan tata Kelola (ESC) dan keberlanjutan sebagai nilai tambah bagi para pemegang saham. Dengan nama emiten POWR, saham PT. Cikarang Listrindo sudah melantai di bursa efek yang bisa dibeli oleh publik.

Perusahaan ini juga memiliki komitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebanyak 10 persen di 2025, 21.4 persen pada 2030, dan nol emisi (net zero) pada 2060. Komitmen ini diklaim sejalan dengan target NDC Indonesia di sektor energi. Atas upaya penerapan energi terbarukan yang dilakukan, target penurunan 21.4 persen emisi GRK hingga 2030 akan sebanding dengan upaya penanaman tujuh juta pohon.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//