Temuan Rhizoma Indonesia dan Aksi Muda Kolektif Terkait PLTU Babelan, Ada Ketidaksesuaian Klaim Perusahaan dengan Kondisi Lapangan
Rhizoma Indonesia dan Aksi Muda Kolektif menyusun naskah kebijakan (policy brief) PLTU Babelan. Hasilnya, PLTU berdampak negatif pada lingkungan hidup.
Penulis Awla Rajul17 Juli 2025
BandungBergerak.id - Rhizoma Indonesia bersama jaringan Aksi Muda Kolektif menyusun naskah kebijakan (policy brief) bertajuk “Cerobong PLTU Mencemari Bumi Babelan”. Dokumen ini menguak beberapa temuan hasil pengamatan dan wawancara lapangan mengenai dampak yang dirasakan masyarakat terkait aktivitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Babelan, di Desa Muarabakti, Babelan, Kabupaten Bekasi.
Terdapat beberapa temuan kunci yang dipublikasikan dalam dokumen yang rampung disusun Juni 2025, di antaranya, PLTU batu bara captive tidak termasuk dalam skema pensiun dini PLTU pada kebijakan peta jalan transisi energi sektor ketenagalistrikan. PLTU captive Babelan diduga melanggar peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah dan AMDAL yang cacat hukum.
Aktivitas PLTU Babelan memberi dampak buruk terhadap lingkungan, utamanya menurunkan kualitas udara dan air warga sekitar. Masyarakat sekitar PLTU sering menderita tiga jenis penyakit, yaitu batuk, sesak napas, dan penyakit kulit. PLTU Babelan juga menggeser wilayah pertanian yang membuat masyarakat kehilangan mata pencaharian dan harus menanggung beban biaya kesehatan.
Dalam dokumen policy brief, Rhizoma Indonesia dan jaringan Aksi Muda Kolektif menyatakan, kebijakan ketenagalistrikan yang terbaru, yaitu Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2025 dan Permen 10/2025 tidak memasukkan PLTU captive dalam strategi kebijakan transisi energi.
“Dampak lingkungan kesehatan tidak menjadi kriteria pengakhiran masa operasional PLTU batu bara secara bertahap,” demikian naskah kebijakan “Cerobong PLTU Mencemari Bumi Babelan”.
Kebijakan untuk mencapai target dekarbonisasi yang disasar pemerintah, mengutamakan pendekatan co-firing (substitusi bahan bakar), fuel switching biomassa, ammonia dan implementasi teknologi pembangkit seperti retrofitting dan carbon capture storage (CCS). Merujuk pada Climate Action Tracker (CAT), kebijakan iklim yang dilakukan Indonesia ini malah akan membuat kenaikan suhu global mencapai 4 derajat celcius.
PLTU Babelan pun diduga melanggar tata ruang dan analisis dampak lingkungan (AMDAL) cacat hukum. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan jaringan Aksi Muda Kolektif sepanjang April-Mei 2025, masyarakat dari tiga kampung yang terdampak PLTU Babelan tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan saat proses setelah dan ketika pembangunan.
“Pengambilan keputusan kebanyakan melibatkan kaum ibu dengan iming-iming mendapatkan sejumlah uang,” tulis policy brief Rhizoma Indonesia dan Aksi Muda Kolektif.
PLTU Babelan berada di tengah permukiman padat penduduk Desa Muarabakti yang hanya berjarak satu meter dari tembok pagar dan 100 meter dari cerobong asap PLTU. Hal ini diduga melanggar pasal 14 ayat 3 angka 5 Perda RTRW Kabupaten Bekasi No. 12/2011 yang semula merencanakan pengembangan prasarana energi pembangkit listrik di Desa Hurip Jaya.
“Izin lokasi PLTU Babelan yang diterbitkan pada tahun 2012 tidak sesuai dengan peraturan tata ruang wilayah Kabupaten Bekasi dan dapat dibatalkan. Ketidaksesuaian lokasi tersebut berimplikasi pada perizinan lingkungan di mana tata ruang merupakan instrumen pencegah pencemaran atau kerusakan lingkungan sebelum penyusunan AMDAL,” mengutip policy brief.
Rhizoma Indonesia dan Aksi Muda Kolektif menduga, AMDAL yang dimiliki PLTU Babelan cacat formil dan materiil sejak awal. Hal ini merujuk pada lokasi pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, dan merujuk pada Pasal 4 ayat (3) peraturan pemerintah no. 27/2012 tentang izin lingkungan. Pasal tersebut menyatakan, “dalam hal lokasi rencana usaha dan atau kegiatan tidak sesuai dengan rencana tata ruang, dokumen AMDAL tidak dapat dinilai dan wajib dikembalikan kepada pemrakars”.
Baca Juga: Mendiskusikan Dampak Buruk PLTU di Toko Buku Pelagia
Kehadiran PLTU Cirebon 1 Mengubah Sumber Mata Pencaharian Warga
Tidak Selaras Prinsip Komitmen Keberlanjutan
Dalam naskah kebijakan disampaikan, prinsip komitmen keberlanjutan perusahaan pemilik PLTU tidak sesuai dengan kenyataan yang ditemui oleh Rhizoma Indonesia dan Aksi Muda Iklim. Prinsip komitmen keberlanjutan itu terdiri dari aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola.
Pada prinsip komitmen keberlanjutan lingkungan Poin 5, disebutkan, perusahaan akan melindungi lingkungan, menjaga keberlanjutan sumber daya dan melestarikan keanekaragaman hayati melalui efisiensi dalam pemanfaatan sumber daya alam seperti air dan praktik konservasi. Sayangnya, hal ini tidak sesuai dengan temuan.
“Debu batu bara mencemari air masyarakat sekitar yang digunakan untuk keperluan mencuci dan keperluan lainnya. Debu batu bara juga mencemari lahan pertanian masyarakat kampung sawah yang berdampak pada biji padi yang tidak tumbuh sempurna,” kata naskah kebijakan.
Pada prinsip komitmen keberlanjutan tata kelola poin 5, perusahaan akan memastikan kepatuhan kebijakan terkait pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik, di antaranya kebijakan antikorupsi dan gratifikasi serta kebijakan whistleblower. Temuan Rhizoma dan Aksi Muda Kolektif juga tidak sesuai.
“Dugaan adanya pelanggaran Perda rencana tata ruang wilayah Kabupaten Bekasi no. 12/2011 merupakan indikasi adanya praktik tidak sehat dalam mendapatkan izin lokasi pembangunan PLTU Babelan,” lanjut naskah kebijakan.
Sementara prinsip komitmen keberlanjutan sosial, poin 2 menyatakan akan memastikan berjalannya prinsip kesetaraan gender. Padahal dalam temuannya, kesempatan kerja tidak diberikan setara antara perempuan dan laki-laki. Masyarakat setempat, khususnya perempuan pun tidak dilibatkan dalam pekerjaan di PLTU Babelan.
“Jangankan warga perempuan, warga lelaki hanya sedikit yang dilibatkan dalam mendapatkan pekerjaan,” tulis naskah kebijakan.
Poin 5 prinsip komitmen keberlanjutan keberlanjutan sosial perusahaan menyatakan, akan memberikan dukungan kepada masyarakat setempat, dan meningkatkan taraf hidup mereka melalui program tanggung jawab sosial perusahaan. Hal ini pun tidak sepenuhnya selaras dengan temuan Rhizoma Indonesia dan Aksi Muda Kolektif. Sebab, memang ada bantuan, tapi tidak optimal dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
“Pekerjaan sehari-hari tidak diprioritaskan pekerja asli warga di sekitar PLTU, melainkan orang lain dari daerah lain yang direkrut untuk dipekerjakan di perusahaan PLTU. Menurut warga kampung sekitar, perekonomian dan hidup mereka lebih sejahtera sebelum adanya PLTU,” kata naskah kebijakan.
Atas beberapa temuan ini, Rhizoma Indonesia dan Aksi Muda Iklim memberi beberapa rekomendasi, di antaranya, PLTU Babelan harus dimasukkan ke dalam daftar PLTU yang dipensiundinikan. Hal ini mempertimbangkan dampak lingkungan, kesehatan, dan kerugian ekonomi yang ditanggung masyarakat, termasuk biaya kesehatan.
Rhizoma dan Aksi Muda Iklim mendorong kawasan industri Jababeka beralih menggunakan jaringan listrik PLN untuk sementara dan bertransisi ke energi terbarukan. Dua pihak ini juga merekomendasikan pencabutan perizinan usaha operasional penyedia listrik swasta PLTU Babelan atas dugaan pelanggaran tata ruang dan lingkungan.
Pemerintah juga didorong untuk menjadikan dampak lingkungan dan kesehatan sebagai kriteria utama pengakhiran masa operasional PLTU batu bara. Selain itu, PLTU Babelan harus melaksanakan tanggung jawab pemulihan sosial dan lingkungan setelah ditutup.
Sementara itu, laman resmi perusahaan menyatakan, PLTU Babelan dimiliki PT. Cikarang Listrindo. PLTU di Babelan memiliki kapasitas 280 MW, termasuk 28 MW co-firing biomassa yang dipasang sejak 2021.
Perusahaan mengklaim PLTU dilengkapi dengan teknologi CFB yang memiliki tingkat efisien tinggi dan emisi rendah, serta sistem penanganan biomassa dari pemasok berstandar internasional.
“Menerapkan prinsip-prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESC) dan keberlanjutan adalah tentang menyeimbangkan bisnis kami dengan pemeliharaan lingkungan, tanggung jawab sosial, dan tata kelola yang baik, yang menghasilkan nilai tambah yang berkelanjutan bagi para pemegang saham kami,” kata perusahaan, di laman resmi.
Perusahaan menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) masing-masing sebesar 10 persen, 21,4 persen, dan net zero pada tahun 2025, 2030, dan 2060 yang sejalan dengan kontribusi yang ditetapkan secara nasional atas sektor energi. Target berikutnya, pengurangan 21,4 persen emisi GRK pada tahun 2030 sama dengan pengurangan 700.000 ton GRK dan sama dengan menanam 7 juta pohon.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB