Kehadiran PLTU Cirebon 1 Mengubah Sumber Mata Pencaharian Warga
Kehadiran PLTU PLTU Cirebon 1 mengubah kehidupan warga sekitar yang tadinya mengandalkan hasil laut, seperti nelayan dan petani tambak.
Penulis Iman Herdiana9 Juli 2025
BandungBergerak.id - Sebelum kehadiran PLTU Cirebon 1, masyarakat di Desa Kanci Kulon, Desa Waruduwur, dan Desa Citemu hidup sebagai masyarakat pesisir yang sebagian besar menggantungkan hidup pada hasil laut dan daratan. Kehadiran PLTU mengubah kehidupan mereka.
Kondisi masyarakat di desa sekitar PLTU dipaparkan dalam hasil riset kolaborasi LBH Bandung, ICEL, dan SALAM INSTITUTE berjudul "Transisi Energi Berkeadilan di Jawa Barat (Studi Kasus PLTU Cirebon I bagi Aspek Sosial dan Aspek Ketenagakerjaan)" (2024).
"Pada umumnya, masyarakat sekitar PLTU Cirebon 1 memiliki profesi yang beragam. Sekalipun diklasifikasikan sebagai masyarakat pesisir, namun profesi mereka tidak hanya sebagai nelayan," demikian tulis para periset, diakses Rabu, 9 Juli 2025.
Riset menyebutkan, kehidupan masyarakat di sekitar lokasi PLTU sebelum pembangunan menunjukkan keberagaman profesi yang kuat terkait dengan sumber daya alam. Di Desa Kanci Kulon, mayoritas penduduk berprofesi sebagai petani dan buruh serabutan. Selain itu, mereka memanfaatkan tanah timbul untuk lahan tambak, yang menunjukkan dominasi aktivitas di daratan.
Sementara itu, masyarakat Desa Waruduwur hidup sebagai nelayan tangkap. Aktivitas keseharian mereka sangat bergantung pada laut, dengan kehidupan yang ramai di pos-pos nelayan, mulai dari pembuatan perahu hingga pengupasan rajungan oleh ibu-ibu. Selain rajungan, nelayan Waruduwur juga menggantungkan hidup pada kerang ijo. Adapun masyarakat di Desa Citemu dan Waruduwur juga dikenal sebagai pembuat perahu.
Dampak Kehadiran PLTU terhadap Mata Pencaharian
Konstruksi PLTU Cirebon 1 dimulai dengan pengurugan tanah dan pembangunan jetty, yang langsung berdampak pada hilangnya lahan pertanian dan tambak masyarakat. Petambak kerang ijo menjadi kelompok pertama yang terkena imbas.
Berdasarkan catatan SALAM Institute, salah satu warga menyebut bahwa dari kerang ijo saja, ia bisa memperoleh penghasilan sekitar 60.000.000 rupiah per tahun. Namun, warga Waruduwur kemudian diminta mencabut keramba-keramba mereka agar tidak mengganggu proyek konstruksi PLTU. Akibatnya, mata pencaharian budidaya kerang ijo hilang. Ganti rugi yang diberikan hanya 3.000.000 rupiah per keramba, jumlah yang sangat tidak sebanding dengan pendapatan sebelumnya.
Nasib serupa juga dialami oleh petani garam. Seorang petambak garam menyatakan bahwa ia biasa memperoleh penghasilan 19.000.000 rupiah dalam satu musim. Namun, debu batu bara yang dihasilkan PLTU menyebabkan garam yang diproduksi berubah warna menjadi hitam dan tidak layak konsumsi. Ia hanya menerima kompensasi sebesar lima ratus ribu rupiah. Selain itu, lahan garam milik warga turut dialihfungsikan untuk proyek PLTU.
Proses pembebasan lahan pun menyisakan persoalan. Sosialisasi pembebasan tanah dimulai sejak 2006. Salah satu warga mengatakan bahwa ia mendapat kabar tanahnya akan dijadikan proyek pemerintah. Muncullah para calo yang membeli tanah warga dengan iming-iming bahwa jika tidak menjual, warga tidak akan mendapatkan apa-apa. Warga mengalami tekanan, baik verbal maupun fisik, termasuk pemutusan akses air ke lahan. Dalam kondisi tanpa pilihan, warga terpaksa menjual tanahnya.
Dampak terhadap Nelayan dan Ekosistem Laut
Nelayan juga terdampak secara langsung. Hasil tangkapan seperti ikan dan rajungan semakin menjauh dari garis pantai, memaksa nelayan untuk melaut lebih jauh, sehingga menambah biaya operasional dan waktu tempuh. Penyebabnya antara lain limbah cair dan batu bara dari PLTU yang mencemari laut dan merusak ekosistem.
Dalam fase operasi PLTU, beberapa jenis tangkapan laut menghilang, antara lain ukon, bukur (kerang dara), mbet, kerang ijo, ingser, laksa, mbot, giyobong, gayaman, dan keong. Selain kuantitas, kualitas hasil tangkapan juga menurun. Daging ijoan segar yang seharusnya berwarna kuning oranye berubah menjadi merah muda.
Nelayan juga menghadapi kendala akibat konstruksi PLTU yang membentang hingga ke tengah laut bagian timur. Mereka harus memutar arah dan menambah stok bahan bakar, karena jembatan yang dibangun PLTU menghalangi jalur melaut biasa.
Sementaara itu, PLTU Cirebon 1 masuk dalam skema pensiun dini. Mengutip laman resmi https://www.ina.go.id/news-id/pltu-cirebon-1-pensiun-dini-desember-2035, Asian Development Bank bersama PT Cirebon Electric Power dan INA sepakat untuk melakukan pensiun dini terhadap PLTU Cirebon-1 di Jawa Barat pada Desember 2035.
PLTU Cirebon dengan kapasitas 660 megawatt (MW) tersebut akan pensiun 7 tahun lebih awal daripada yang seharusnya, yaitu Juli 2042. Sementara untuk transaksi ditargetkan akan diselesaikan pada paruh pertama 2024.
Hal tersebut berdasarkan hasil diskusi dengan pemilik pembangkit listrik tersebut dan Pemerintah Indonesia di bawah program Mekanisme Transisi Energi dari ADB.
Baca Juga: PLTU Batu Bara Memperparah Dampak Krisis Iklim, Studi Kasus di Indramayu
Riset Walhi Jabar: Abu Batu Bara Mengancam Kesehatan Warga Desa di Indramayu
Tentang PLTU Cirebon 1
PLTU Cirebon berkapasitas 1 x 660 MW di lokasi pembangkit yang terletak 10 km sebelah timur Kota Cirebon, Jawa Barat. PLTU ini diresmikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik, 18 Oktober 2012.
Keterangan resmi Kementerian ESDM, disebutkan bahwa PLTU Cirebon 1 akan menambah pasokan listrik hingga 5.500 GWh per tahunnya. Investasi untuk PLTU Cirebon ini mencapai USD 877 juta. Pemerintah juga mengklaim PLTU menyerap 1.500 orang ketika proyek berlangsung dan menjadi 300 orang saat PLTU beroperasi.
PLTU Cirebon ini dibangun dengan skema Independent Power Producer (IPP) oleh konsorsium Indika Energy Tbk, Marubeni Corporation, Korea Midland Power Company, dan Santan Co. Ltd.
PLTU Cirebon dibangun di atas lahan seluas 150 ha. Dari sisi teknologi, proyek ini merupakan pioner dalam penggunaan supercritical boiler technology yang mampu mengolah batubara kalori rendah yang banyak tersebar di Indonesia secara efisien. Emisi buang yang dihasilkan PLTU Cirebon juga jauh di bawah ambang batas. Dengan teknologi sistem pendingin cooling tower, sistem sirkulasi airnya juga lebih ramah lingkungan.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB