Mendiskusikan Dampak Buruk PLTU di Toko Buku Pelagia
PLTU Babelan didirikan di sekitar permukiman warga. Masyarakat sekitar mengeluhkan berbagai penyakit dan kesulitan mengakses air bersih.
Penulis Awla Rajul15 Juli 2025
BandungBergerak.id - Warga di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) benar-benar merasakan dampak langsung energi fosil. Keluhan tentang berkurangnya air bersih, lingkungan yang tercemar, penyakit saluran pernapasan, hingga sulitnya mencari pekerjaan menjadi beberapa cerita yang santer terdengar.
“Pagar PLTU batu bara itu selang dengan rumah saya cuma satu rumah. Paling 10 meter itu pak dari pagar rumah saya,” ungkap Abdul (nama samaran), warga Desa Muarabakti, Babelan, Kabupaten Bekasi, pada diskusi Listrik untuk Industri, Asap untuk Warga: Krisis dan Gerakan Perlawanan Warga PLTU Babelan, di Toko Buku Pelagia, Sabtu, 12 Juli 2025.
PLTU Babelan merupakan PLTU private beroperasi sejak 2017 dan memasok kebutuhan listrik untuk kawasan industri Jababeka yang menampung 2.000 perusahaan internasional dan lokal.
Sejak didirikannya PLTU, kata Abdul, dedaunan menjadi hitam akibat polusi yang keluar dari cerobong asap. Debu-debu dari asap cerobong hinggap di atap, yang setiap kali hujan pertama akan disapu air, membawa serta debu-debu itu hingga mencemari perairan.
“Itu air kolam, bak, itu butek semua, hitam. Waktu musim kemarau mau potong padi, itu hidung juga sampai hitam. Seperti kena arang aja. Ini saya seperti adanya saya sampaikan, keluhan kami ya begitu,” jelasnya.
Saat mulai dibangun tahun 2012, warga sekitar tidak benar-benar mendapatkan sosialisasi akan adanya pembangunan PLTU Babelan. Masyarakat hanya diminta memberikan fotokopi KTP, lalu diberikan uang ganti kebisingan 300.000 rupiah. Ketika menerima uang itu pun sebagian masyarakat menganggapnya seperti sumbangan atau bantuan program PKH.
“Kesehatan itu yang ngaruh banget ke masyarakat,” ungkap Abdul.
Warga juga mengeluhkan aktivitas PLTU yang berisik. Belum aktivitas pengangkutan batu bara yang bukan hanya menggunakan kapal tongkang, tetapi menggunakan truk yang melewati perumahan warga. Otomatis, ancaman kesehatan yang harus dihadapi warga selain dari pembangkitan listrik juga dari pengangkutan batu bara.
“Kalau tes mesin itu aja berisik. Harusnya emang gak ada di lingkungan itu dibangunnya. Karena jangankan anak bayi, orang tua juga ngeluh itu,” pungkas Abdul, dengan aksen khas Bekasi.
Dugaan tak Sesuai RTRW
Juru kampanye Rhizoma Indonesia Dani Setiawan mengamini apa yang disampaikan Abdul. Letak PLTU Babelan dekat dengan permukiman warga hanya dua meter. Selain keluhan kesehatan yang dirasakan masyarakat, lingkungan menjadi tercemar oleh kehadiran PLTU.
“Kami baru menemui, justru yang mencemari itu bentuk serbuk batu bara yang beterbangan. Ketika kemarau tertumpuk di atas genteng. Lalu ketika hujan pertama (debu) akan turun. Makanya tadi bapak bilang airnya butek. Kemarin ketika saya ke sana saya lihat langsung. Sayangnya, warga di sana menggunakan air hujan untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi ga bisa lagi, karena butek, dengan paparan serbuk batu bara,” ungkap Dani, menanggapi apa yang disampaikan Abdul.
Akibat paparan serbuk batu bara, banyak warga yang menutup penampungan airnya dengan kain. Aktivitas PLTU paling dikeluhkan saat malam hari, ketika pembangkitan listrik sedang di puncaknya, yang ditandai dengan kepulan asap dengan volume lebih besar.
“Yang terpenting di sana itu menggeser wilayah tani. Nah, di site plan itu lokasi PLTU ada di zona kuning. Dulunya hijau. Harusnya itu dibangun radius 5 km lebih jauh. Kami gak tau, kami menduga PLTU Babelan pembangunannya tidak sesuai dengan rencana tata ruang,” jelas Dani.
Menurut Dani, PLTU Babelan seharusnya dibangun di Desa Uripjaya, berjarak lima kilometer dari Desa Muarabakti yang berdekatan langsung dengan kawasan laut. Sementara Desa Muarabakti adalah kawasan pertanian.
Menurutnya, terdapat kesulitan tersendiri untuk melakukan advokasi PLTU Babelan. PLTU Babelan adalah PLTU captive atau private terbesar di Jawa Barat, yang jaringannya tidak masuk ke jaringan PLN (off-grid). PLTU Babelan mengalirkan listrik secara langsung ke pabrik-pabrik melalui jaringanya sendiri.
Selain itu, pemerintah belum punya dokumen atau aturan tentang peta jalan pensiun PLTU. Pemerintah baru memiliki dokumen Peta Jalan Transisi Energi. Sementara di sisi transisi energi, PLTU Babelan sudah melakukan salah satu upayanya, yaitu dengan praktik substitusi bahan bakar (co-firing).
“Kami liat pemerintah Indonesia ini gak optimis untuk transisi energi. Mereka butuh dana internasional untuk itu. Lalu mereka gak peduli soal iklim. Mereka gak punya spirit untuk menghentikan batu bara ini,” tegas Dani.
Selain itu, advokasi sulit dilakukan karena adanya benturan konflik horizontal antara masyarakat. Rhizoma Indonesia lantas berjejaring dengan teman-teman literasi di kab/kota Bekasi untuk menggalang kekuatan yang lebih besar. Jaringan ini pun sudah menyusun policy brief berdasarkan temuan di masyarakat. Kini, pihaknya tengah menanti audiensi dengan pihak-pihak terkait.
Peneliti Tata Ruang Frans Ari Prasetyo menambahkan, untuk melakukan upaya advokasi, banyak yang bisa dilakukan, di antaranya dengan pelacakan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Dari situ bisa menjadi petunjuk untuk menemukan adanya pelanggaran atau tidak.
Frans melihat, Indonesia sebenarnya berada di posisi surplus energi. Tetapi, pemerintah masih memiliki ketergantungan dengan batu bara. Makanya, PLTU belum kunjung dipensiunkan. Ini pula yang mendorong pemerintah sering mempromosikan kendaraan lisrik agar masyarakat mengonsumsi listrik yang surplus.
“Jadi warga akan ‘dimiskinkan’ secara struktural oleh kebutuhan listrik yang listrik itu dia tidak perlukan sebenarnya. Dia tidak perlukan listrik itu,” ungkapnya retoris.
Baca Juga: PLTU Batu Bara Memperparah Dampak Krisis Iklim, Studi Kasus di Indramayu
Kehadiran PLTU Cirebon 1 Mengubah Sumber Mata Pencaharian Warga
Ancaman Nyata untuk Kesehatan
Dilla Anindita, dokter umum dari Kawan Medis menerangkan, selama ini yang selalu menjadi pembicaraan mengenai dampak kesehatan PLTU adalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Beberapa gejalanya seperti batuk dan sesak napas. Namun, masih ada dampak lain untuk kesehatan akibat aktifitas PLTU yang juga patut dikhawatirkan dan menjadi perhatian.
Dari berbagai penelitian, Dilla memaparkan hasil pembakaran batu bara yang menjadi debu (fly ash) mengandung senyawa berbahaya, seperti merkuri, arsenik, timbal, hingga radioaktif. Sementara asapnya mengandung semacam sulfur. Zat-zat inilah yang melangsung mengiritasi sel dalam pernapasan.
“Tapi ternyata dia tidak berhenti di situ. Si merkuri, arsenic, dan zat-zat lainnya itu bisa masuk ke peredaran darah. Kalau dari beberapa penelitian dari luar negeri yang saya tau, ternyata hasil polutan dari PLTU ini juga mempengaruhi angka kelahiran bayi dengan berat badan lahir itu rendah. Jadi sebenarnya dampaknya itu banyak banget,” jelas Dilla.
Sementara itu, laman resmi perusahaan menyatakan, PLTU Babelan dimiliki PT. Cikarang Listrindo. PLTU di Babelan memiliki kapasitas 280 MW, termasuk 28 MW co-firing biomassa yang dipasang sejak 2021.
Perusahaan mengklaim PLTU dilengkapi dengan teknologi CFB yang memiliki tingkat efisien tinggi dan emisi rendah, serta sistem penanganan biomassa dari pemasok berstandar internasional. “Menerapkan prinsip-prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESC) dan keberlanjutan adalah tentang menyeimbangkan bisnis kami dengan pemeliharaan lingkungan, tanggung jawab sosial, dan tata kelola yang baik, yang menghasilkan nilai tambah yang berkelanjutan bagi para pemegang saham kami,” kata perusahaan, di laman resmi.
Perusahaan menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) masing-masing sebesar 10 persen, 21,4 persen, dan net zero pada tahun 2025, 2030, dan 2060 yang sejalan dengan kontribusi yang ditetapkan secara nasional atas sektor energi. Target berikutnya, pengurangan 21,4 persen emisi GRK pada tahun 2030 sama dengan pengurangan 700.000 ton GRK dan sama dengan menanam 7 juta pohon.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB