Skandal Ekspoitasi Air oleh Perusahaan Raksasa Air Kemasan
Di negeri yang kaya air, rakyat kecil justru kehausan. Mereka berebut dengan korporasi besar demi setetes hak hidup. Negara seakan absen.

Arya Udayana Maulana
Ketua Pecinta Alam Mahasiswa Universitas Subang (Palamus)
30 Oktober 2025
BandungBergerak - Sejak lama rakyat, aktivis, dan organisasi pecinta alam termasuk Pecinta Alam Mahasiswa Universitas Subang (Palamus) menolak privatisasi air. Penolakan itu bukan tanpa alasan karena air adalah barang publik dan esensial, bukan sekadar sumber keuntungan korporasi. Di banyak daerah, terutama Subang dan Kasomalang, air menjadi urat nadi kehidupan: petani, pembudidaya ikan, dan masyarakat sekitar bergantung penuh pada sumber air tanah untuk irigasi dan kebutuhan sehari-hari.
 
 Ketika negara melepas peran kontrolnya dan menyerahkan pengelolaan air kepada swasta, maka rakyat kecil harus bersaing dengan korporasi raksasa untuk mendapatkan hak paling dasar mereka. Privatisasi air berarti air diperlakukan seperti komoditas bisnis, bukan hak asasi manusia, dan di sinilah awal mula kehancuran sosial dan ekologis dimulai.
Namun ironisnya, di tengah aturan yang menegaskan air sebagai hak publik, fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Privatisasi air yang dilakukan oleh perusahaan air minum dalam kemasan menyebabkan masyarakat di sekitar pabrik harus membeli air dari sumber lain karena sumur mereka mulai kering dan debit air menurun drastis.
Warga di Desa Pasanggrahan dan Kasomalang bahkan melaporkan bahwa air tanah yang dulunya cukup untuk kebutuhan rumah tangga kini tak lagi mengalir seperti dulu. Fenomena ini menegaskan bahwa sistem pengelolaan air yang dikuasai korporasi tidak hanya merampas sumber daya alam, tetapi juga memperdalam ketimpangan sosial. Ketika akses terhadap air bersih ditentukan oleh kemampuan membayar, maka pemerintah telah gagal menjalankan prinsip keadilan sosial yang dijamin konstitusi.
Undang Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah mengatur bahwa air, terutama air tanah dalam dan Cekungan Air Tanah (CAT), harus dikelola untuk kepentingan publik dan generasi mendatang.
Beberapa pasal yang mengatur pengelolaan Cekungan Air Tanah antara lain: Pasal 46 ayat (1) UU 17/2019 yang menyatakan penggunaan air untuk usaha tidak boleh mengesampingkan hak rakyat atas air; Pasal 46 ayat (1) huruf (c), bahwa kelestarian lingkungan hidup adalah hak asasi manusia; Pasal 47 PP 43/2008, bahwa pendayagunaan air tanah harus mengutamakan kebutuhan pokok masyarakat secara adil dan berkelanjutan.
Baca Juga: Seremonial Menanam Mangrove di Subang ketika Hutan di Pantura Jabar Terancam SK Kemenhut
Wajah Keruh Privatisasi Air, di Manakah Peran Negara?
Namun, di lapangan aturan tinggal tulisan. Pemerintah membiarkan izin eksploitasi air tanah dalam ke perusahaan besar tanpa transparansi data, tanpa audit publik, dan tanpa memperhatikan zona konservasi CAT. Negara diam, rakyat yang tenggelam.
Kasus perusahaan air minum dalam kemasan di Subang adalah contoh nyata. Data lapangan menunjukkan perusahaan mengambil air tanah dalam dari sumur bor sedalam 60–132 meter, bukan dari mata air alami seperti klaim iklannya. Volume pengambilan disebut mencapai hingga 2,8 juta liter per hari (data Inilah.com, InfoIndonesia.id).
 
 Lokasi pabriknya berada di wilayah sensitif hidrogeologis, tepat di sekitar Cekungan Air Tanah Subang–Kasomalang, yang seharusnya menjadi zona konservasi air tanah dan cadangan masa depan. Eksploitasi besar-besaran ini merusak keseimbangan sistem akuifer mempercepat penurunan muka air, menurunkan daya dukung tanah, dan memperburuk risiko longsor dan kekeringan di sekitarnya.
 
 Artinya jelas, perusahaan air minum dalam kemasan bukan cuma menjual air, tapi ikut menjual masa depan cadangan air antargenerasi.
Bencana longsor di Kampung Cipondok, Desa Pasanggrahan, Kecamatan Kasomalang, pada 7 Januari 2024 bukan cuma musibah alam. Hasil investigasi Palamus mencatat: lokasi longsor berada di wilayah sumur bor dan dekat kolam pembuangan air bor. Kondisi tanah di sekitar kolam jenuh air, sehingga lereng jadi labil dan akhirnya longsor. Akibatnya, dua warga meninggal dunia, 11 luka-luka, dan 129 orang mengungsi.
Hasil investigasi menunjukkan bahwa lahan longsor adalah milik perusahaan air minum dalam kemasan yang selama ini dimanfaatkan warga untuk garapan dan wisata air. Ini memperkuat dugaan bahwa aktivitas pengeboran dan pembuangan air industri ikut mempercepat degradasi lereng dan memicu bencana. Bukan sekadar kelalaian teknis, ini bukti pengkhianatan terhadap etika ekologis (Pikiran Rakyat).
Ketika eksploitasi air tanah menimbulkan korban jiwa, kerusakan lingkungan, dan ancaman terhadap cadangan air masa depan, itu bukan sekadar pelanggaran administratif tapi pelanggaran hak asasi manusia dan lingkungan hidup.
Air adalah hak dasar setiap orang, dijamin oleh UUD 1945 Pasal 33 dan ditegaskan dalam UU 17/2019 bahwa negara wajib melindungi hak rakyat atas air. Namun dalam konteks korporatisasi air oleh perusahaan air minum dalam kemasan di Subang, negara absen. Pemerintah membiarkan swasta mengeruk air dalam tanpa transparansi, tanpa audit lingkungan terbuka, dan tanpa perlindungan terhadap masyarakat di sekitar zona rawan.
 
 Bencana ini adalah tamparan keras: privatisasi air telah mengubah sumber kehidupan jadi sumber kematian.
 
 Air bukan milik korporasi. Air adalah milik rakyat dan generasi masa depan. Jika negara tak hadir, maka rakyat akan menuntut.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

