Seremonial Menanam Mangrove di Subang ketika Hutan di Pantura Jabar Terancam SK Kemenhut
Alih-alih memperkuat benteng alami berupa mangrove, pemerintah justru mendorong konversi hutan Pantura untuk tambak melalui SK Kemenhut Nomor 274 Tahun 2025.
Penulis Awla Rajul1 Agustus 2025
BandungBergerak.id - Pecinta Alam Mahasiswa Universitas Subang (Palamus) mengkritik penanaman 26.000 bibit mangrove yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Subang dalam rangka memperingati Hari Mangrove Sedunia, Kamis, 31 Juli 2025. Kegiatan yang turut dihadiri oleh Wakil Menteri Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono itu dinilai sebagai seremonial belaka, di tengah persoalan lingkungan yang tengah dihadapi lantaran terbitnya SK Kemenhut Nomor 274 Tahun 2025.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (SK Kemenhut) Nomor 274 Tahun 2025 itu menetapkan kawasan hutan ketahanan pangan (KHKP) untuk program revitalisasi tambak di wilayah pesisir utara (Pantura) Jawa Barat. Keputusan itu akan mengalihfungsikan hutan produksi dan hutan lindung menjadi tambak seluas lebih dari 20.000 hektar, yang tersebar di Kabupaten Subang, Bekasi, Karawang, dan Indramayu.
“Palamus melihatnya peringatan Hari Mangrove melakukan penanaman 26 ribu dan seluas 12 hektare itu, sebagaimana klaimnya itu hanya sebatas seremonial belaka. Karena di lain sisi, di Subang itu ada 3.000 lebih hektare hutan lindung mangrove yang bakal direvitalisasi jadi tambak untuk kawasan hutan ketahanan pangan (KHKP),” ungkap Ketua Palamus, Arya Udayana Maulana kepada BandungBergerak via telepon, Kamis, 31 Juli 2025.
Melalui siaran pers Palamus, disebutkan, dalam momentum Hari Mangrove Sedunia, alih-alih melakukan seremonial, mestinya Pemkab Subang melakukan penolakan terhadap SK Kemenhut 274/2025. Sebab, SK tersebut dinilai akan berdampak terhadap keselamatan masyarakat dan hutan mangrove di Kabupaten Subang.
Berdasarkan dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Jawa Barat, luas hutan mangrove di Kabupaten Subang tercatat hanya sekitar 3.628 hektare, dan lebih dari sepertiganya berada dalam kondisi rusak. Sebaliknya, luasan tambak mencapai sekitar 14.300 hektare, ini dilihat sebagai cermin ekspansi budidaya yang telah lama menekan keberadaan ekosistem pesisir. SK 274/2025 dinilai menjadi regulasi yang memperkuat dominasi sektor tambak, tanpa memperhitungkan kebutuhan pemulihan lingkungan hidup.
“Dulu di 2021 Palamus observasi langsung ke lapangan, di Mangrove Pantai Utara Subang. Nah, rusaknya itu rata-rata banyak yang dialihfungsikan jadi tambak udang dan ikan bandeng. Jadi yang mulai dibabat itu enggak dari pantai menjorok ke laut, tapi dari dalam terus ke arah pantai. Sekarang itu posisi mangrovenya udah tipis, jadi enggak ada penahan ombak,” ungkap Arya.
Menurut Arya, alih fungsi lahan mangrove ini menjadi salah satu penyebab bencana banjir rob yang belakangan melanda kawasan pesisir utara Subang. Terdapat sekitar 200 KK terdampak di Kecamatan Legonkulon yang harus direlokasi. Kecamatan ini bahkan disebut sudah langganan banjir rob karena hutan mangrove yang banyak hilang.
Merujuk data BPBD, banjir rob telah menjadi ancaman tahunan yang semakin meluas. Pada Desember 2024, lebih dari 1.700 kepala keluarga di Subang terdampak rob di empat desa pesisir. Banjir ini bukan hanya soal genangan air, tetapi juga kerusakan infrastruktur, hilangnya penghidupan warga, dan keterputusan akses antarwilayah.
“Alih-alih memperkuat benteng alami berupa mangrove, pemerintah justru mendorong konversi hutan pesisir untuk ekspansi tambak. Ini menunjukkan ketidaksinkronan antara kebijakan lingkungan dan realita perubahan iklim yang sedang kita hadapi,” kata siaran pers Palamus.
Minggu, 27 Juli lalu, bersama Walhi Nasional, Palamus sempat mengadakan kampanye di CFD Bundaran HI. Kampanye tentang Hari Mangrove Sedunia itu dilakukan sekaligus sebagai refleksi penolakan untuk SK Kemenhut tersebut. Selanjutnya, Palamus juga akan menjaring organisasi mahasiswa pecinta alam kawasan pantai utara Jawa Barat di Bekasi, Karawang, Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan untuk melakukan aksi penolakan terhadap SK Kemenhut 274/2025.
Jika merujuk dokumen RPJMD Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Subang, tidak ditemukan pula prioritas eksplisit terhadap perluasan dan perlindungan mangrove di pesisir utara. Konservasi lingkungan hidup dinilai masih terbatas pada pendekatan administratif dan pembangunan fisik seperti tanggul.
Padahal, dalam konteks adaptasi iklim, rehabilitasi mangrove merupakan strategi yang terbukti murah, efektif, dan berbasis alam. Ketidakhadiran pendekatan ekosistem dalam kebijakan ini dinilai merupakan bentuk kelalaian struktural dalam menjaga keberlanjutan ruang hidup masyarakat pesisir.
“Nah, kalau seandainya ditambah dengan adanya ini (SK Kemenhut), artinya si green belt itu, pertahanan sabuk hijaunya malah berkurang gitu. Jadi, sangat dimungkinkan keselamatan masyarakat, khususnya di pesisir Pantai Utara Jawa Barat bakal terancam,” pungkas Arya.
Palamus pun menyatakan penolakan dan menuntut Kementerian Kehutanan untuk mencabut 274/2025 karena tidak sesuai dengan perlindungan ekosistem pesisir. Menurut Palamus, pemerintah harusnya memfokuskan pada pengarusutamaan perlindungan mangrove dalam kebijakan pembangunan wilayah pesisir, khususnya Subang dan kawasan Pantura Jabar lainnya.
Baca Juga: Revitalisasi Tambak Pantura Jabar oleh Pemerintah Pusat akan Memicu Kerusakan Hutan Mangrove dan Pesisir
Abrasi itu Bukan Hal Biasa
Jaga Mangrove untuk Menghindari Banjir Rob
Dalam pernyataan resmi, Wamen Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono menegaskan pentingnya menjaga ekosistem pesisir melalui penanaman mangrove dan menghentikan kebiasaan buang sampah sembarangan. Ia menegaskan, mangrove bukan hanya peneduh alami, tetapi merupakan penjaga kehidupan pesisir dari berbagai ancaman lingkungan.
“Kenapa kita harus menanam mangrove? Untuk mencegah banjir rob, melindungi tambak dari kerusakan akibat abrasi pesisir, melindungi ikan di tambak, pengamanan rumah dari banjir, dan juga menyerap karbon dioksida serta polutan,” ungkap Wamen Diaz, dikutip dari laman Kementerian Lingkungan Hidup.
Diaz juga menekankan, penanaman mangrove perlu disertai dengan perubahan perilaku pengelolaan sampah. Salah satu tantangan serius dalam program rehabilitasi mangrove adalah keberadaan sampah yang menghambat pertumbuhan tanaman. Makanya, masyarakat perlu mengelola sampah dan tidak membuang sampah sembarangan, agar mangrove bisa tumbuh optimal.
“Kami menyambut baik kerja keras dari Kabupaten Subang karena sudah menanam mangrove untuk mengatasi banjir rob dan abrasi meskipun sudah banyak mangrove yang hilang,” ujar Diaz.
Wakil Bupati Subang, Agus Masykur Rosyadi, dalam sambutannya turut menekankan urgensi pemulihan pesisir. Agus menyampaikan, banjir rob telah menjadi persoalan rutin di wilayah pesisir Subang, sehingga aksi penanaman mangrove menjadi langkah strategis yang tidak bisa ditunda.
Menurutnya, penanaman mangrove juga tidak hanya menyasar abrasi, tetapi juga menjadi pemicu perubahan perilaku masyarakat agar lebih peduli pada kebersihan sungai dan kelestarian ekosistem.
“Kami sudah menanam 26.000 mangrove dan ada CSR yang akan menanam juga di Legonkulon. Efek agenda penanaman ini menjadikan sungai di sekitar lokasi menjadi bersih dan lebih tertata, harapannya kebiasaan masyarakat membuang sampah sembarangan bisa dikurangi dan diubah,” terang Agus Masykur Rosyadi.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB