• Lingkungan Hidup
  • Revitalisasi Tambak Pantura Jabar oleh Pemerintah Pusat akan Memicu Kerusakan Hutan Mangrove dan Pesisir

Revitalisasi Tambak Pantura Jabar oleh Pemerintah Pusat akan Memicu Kerusakan Hutan Mangrove dan Pesisir

Menurut data Walhi Jabar, sebagian besar hutan lindung di wilayah pesisir utara (Pantura) Jawa Barat terancam rusak karena korban kebijakan SK Menteri Kehutanan.

Nelayan gagal panen kerang hijau di bagang yang rusak akibat gelombang laut di lepas pantai Desa Waruduwur, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, 4 Januari 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Iman Herdiana29 Juli 2025


BandungBergerak.idKebijakan Penetapan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHPK) yang diluncurkan pemerintah mendapat sorotan tajam dari kalangan aktivis lingkungan, khususnya Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat. Menurut Walhi, kebijakan ini justru mengancam keberlangsungan ekosistem pesisir, terutama di kawasan Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat, yang kini tengah dihadapkan dengan krisis iklim global.

Kebijakan ini tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No. 274/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2025 yang menetapkan kawasan hutan negara seluas lebih dari 20.000 hektare untuk revitalisasi tambak di wilayah pesisir utara Jawa Barat. Hutan lindung yang menjadi korban kebijakan ini mencakup area seluas 16.078 hektare yang berada di Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, dan Indramayu. Dari total luas kawasan yang ditetapkan, sebagian besar merupakan hutan lindung yang memiliki fungsi ekologis yang sangat penting, seperti penyerapan karbon dan habitat bagi biodiversitas pesisir.

Siti Hannah Alaydrus, Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jawa Barat, menyatakan bahwa kebijakan ini akan mengubah bentang alam pesisir dari hutan mangrove menjadi kawasan industri akuakultur berskala besar. "Kebijakan ini berpotensi mengancam ekosistem pesisir dan hak-hak masyarakat lokal, serta memperparah ketimpangan struktur penguasaan ruang," ujar Siti, dalam keterangan resmi, diakses Selasa, 29 Juli 2025.

Selain itu, konversi kawasan hutan lindung menjadi tambak skala besar juga dikhawatirkan akan memperburuk dampak krisis iklim. Dengan hilangnya lebih dari 20.000 hektare hutan mangrove, daya tahan alami kawasan pesisir akan melemah, yang berpotensi meningkatkan risiko bencana seperti banjir dan kekeringan. Walhi juga menilai bahwa proyek ini tidak mempertimbangkan dampak ekologis jangka panjang dan tidak melibatkan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan.

Walhi mengkritik proyek revitalisasi ini sebagai ekspansi industri yang merusak, bukan revitalisasi yang sejati. Proyek ini, menurut Walhi, seharusnya memprioritaskan pemulihan tambak rakyat yang rusak dan mengedepankan solusi ekologis, seperti penanaman kembali mangrove dan pembangunan sistem tata air yang berkelanjutan.

"Revitalisasi bukan tentang mengganti hutan dengan tambak, bukan tentang menyingkirkan rakyat dari pesisir. Revitalisasi sejati adalah keberpihakan pada ekologi, rakyat kecil, dan masa depan yang lestari," kata Siti.

Walhi Jabar menuntut agar kebijakan ini dicabut dan kajian ilmiah yang lebih inklusif dan partisipatif dilakukan sebelum proyek dilanjutkan.

Namun, pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memiliki pandangan yang berbeda. Program revitalisasi tambak, yang juga dikenal dengan skema Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHPK), telah disosialisasikan kepada masyarakat setempat.

Sekretaris Direktorat Jenderal Perikanan Budi Daya Tinggal Hermawan mengatakan, proyek ini bertujuan untuk mengembangkan budidaya perikanan yang berkelanjutan, khususnya ikan nila salin, di kawasan yang sebelumnya merupakan tambak idle atau tidak produktif.

Menurut KKP, revitalisasi tambak ini akan meningkatkan produktivitas perikanan di kawasan tersebut dan mendukung kebijakan ketahanan pangan nasional. "Program ini diproyeksikan dapat menciptakan lapangan kerja bagi sekitar 119.100 orang di sektor hulu hingga hilir," kata Tinggal, dikutip dari laman resmi

KKP juga menyatakan bahwa proses perencanaan proyek ini sudah melalui Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) tahap I dan II untuk memastikan bahwa program ini ramah lingkungan dan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi. Selain itu, sosialisasi program telah dilakukan kepada 18 camat, 49 kepala desa, serta kepala dinas kelautan dan perikanan di empat kabupaten yang terlibat, yaitu Bekasi, Karawang, Subang, dan Indramayu.

Baca Juga: Walhi Jabar Mengingatkan Bahaya Kerusakan Kawasan Pesisir dan Laut Indramayu Bagi Lingkungan dan Manusia
Walhi Jabar Tidak Melihat Keseriusan Pemerintah dalam Menghentikan PLTU Batu Bara

Ancaman Lingkungan yang Mengintai jika Kerusakan Hutan Mangrove dan Pesisir di Indonesia Dibiarkan

Wilayah pesisir Indonesia menghadapi ancaman serius terhadap ekosistem vitalnya. Hutan mangrove, yang selama ini dikenal memiliki banyak fungsi ekologis dan ekonomi penting, kini mengalami kerusakan yang parah.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sri Wahyuningsih dan Feti Fatimatuzzahroh dari Akademi Maritim Cirebon (AMC) dan Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Cirebon (Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia Vol. 4, No.7 Juli 2019), wilayah pesisir Indonesia mengalami tekanan besar akibat pemanfaatan berlebihan dari kegiatan manusia.

Pemukiman, budidaya perikanan, industri, serta pembangunan infrastruktur seperti pelabuhan dan transportasi menyebabkan kerusakan ekologis yang mendalam. Selain itu, dampak seperti pencemaran lingkungan, erosi, sedimentasi, dan intrusi air laut turut memperburuk keadaan.

Salah satu masalah utama adalah konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak dan pemukiman. Pemanfaatan mangrove yang dilakukan secara besar-besaran telah mengakibatkan penurunan signifikan pada luasan hutan mangrove di Indonesia. Ilman et al. (2016) mencatat bahwa Indonesia, meskipun memiliki kekayaan hutan mangrove terbesar di dunia, telah kehilangan sebagian besar ekosistem ini. Pada tahun 1800, luas mangrove di Indonesia diperkirakan mencapai 173.000 hektare, namun pada 2012, angka ini menyusut menjadi hanya 45.000 hektare.

Hutan mangrove sendiri memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem pesisir. Secara ekologis, mangrove berfungsi sebagai penyerap karbon yang sangat efisien, yang dikenal sebagai "blue carbon". Mangrove juga berperan dalam mengurangi dampak buruk bencana alam seperti tsunami, angin topan, erosi, dan gelombang tinggi. Keberadaan mangrove menjadi pelindung garis pantai yang sangat berharga, menjaga stabilitas lingkungan pesisir yang semakin terancam akibat perubahan iklim.

Selain itu, mangrove juga mendukung kehidupan biota laut, menjadi tempat berkembang biak, tempat bersarang, serta habitat bagi berbagai spesies ikan pelagis. Selain fungsi ekologis, mangrove memiliki nilai ekonomi yang tinggi bagi masyarakat pesisir. Kayu mangrove sering dimanfaatkan sebagai bahan bakar dan bahan bangunan, sementara hasil laut yang dihasilkan dari ekosistem mangrove juga menjadi sumber pendapatan penting bagi masyarakat lokal.

Namun, meskipun mangrove memiliki banyak manfaat, pemanfaatannya yang eksploitatif menyebabkan kerusakan yang tidak bisa dihindari. Sebagian besar kerusakan ini disebabkan oleh penebangan kayu mangrove secara berlebihan, yang menyebabkan degradasi ekosistem yang terjadi pada skala besar. Sayangnya, banyak pihak hanya melihat hutan mangrove dari sudut pandang ekonomi semata, tanpa mempertimbangkan aspek ekologis dan sosial yang lebih luas.

Eksploitasi sumber daya alam di pesisir telah menyebabkan degradasi mangrove dan hilangnya sumber pendapatan bagi masyarakat pesisir yang bergantung pada ekosistem tersebut. Selain itu, kerusakan ini juga memperburuk ketahanan pangan dan memperparah kondisi sosial-ekonomi masyarakat pesisir. 

Dengan kerusakan yang semakin meluas, penting bagi Indonesia untuk memperhatikan dan mengelola wilayah pesisir secara berkelanjutan. Masyarakat, pemerintah, dan pihak terkait perlu bekerja sama untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dan memperbaiki kondisi ekosistem pesisir yang sangat krusial bagi kehidupan manusia dan alam sekitar. Jika tidak ada upaya signifikan yang dilakukan, Indonesia berisiko kehilangan ekosistem mangrove yang tak ternilai harganya, yang akan berdampak pada keseimbangan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat pesisir dalam jangka panjang.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//