Walhi Jabar Mengingatkan Bahaya Kerusakan Kawasan Pesisir dan Laut Indramayu Bagi Lingkungan dan Manusia
Hadirnya perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sekitar pantai dan laut Indramayu seperti PLTU, berdampak pada merosotnya kualitas lingkungan hidup.
Penulis Yopi Muharam1 Juli 2025
BandungBergerak.id - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat menyoroti buruknya dampak perampasan ruang laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Di Jawa Barat, Walhi Jabar mencatat, luasan proyek pemanfaatan pesisir dan laut mencapai 24.041 hektare. Walhi mendeteksi bahwa salah satu bentuk pemanfaatan laut terjadi di Indramayu melalui pengerukan sedimen pasir.
Hannah Alaydrus, Manajer Advokasi Walhi Jabar menjelaskan, perizinan proyek di pesisir dan laut di Indramayu bertentangan dengan keputusan Mahkamah Agung (MA) tentang larangan ekspor pasir laut serta mengeruknya. Hal tersebut menjadi tumpang tindih antara aturan dan keputusan MA.
Padahal, Hanna mengingatkan, pesisir Indramayu sering terjadi banjir rob hingga ketinggian mencapai 80 centimeter. Banjir rob berpengaruh pada kesehatan warga di pesisir Indramayu, seperti diare atau gatal-gatal. “Jadi mereka setiap hari hidup dengan rob gitu,” kata Hanna, dalam diskusi bertajuk ‘Ancaman Krisis Iklim Mengancam Laut dan Pesisir’, di Sekretariat Walhi Jawa Barat, Bandung, Senin, 30 Juni 2025.
Dampak dari proyek-proyek di ruang laut membuat panjang pantai Indramayu menyusut. Damuri Efendi, dari komunitas Siklus Indramayu, panjang pantai Indramayu menyusut dari 147 kilometer menjadi 135 kilometer. Penyusutan mencapai 12 kilometer.
“Ini karena abrasi mungkin terendamnya dataran pantai,” ujar Damuri.
Abrasi terjadi karena adanya pengeboran dari darat atau eksploitasi dari sumur pertambangan. Belum lagi berdirinya PLTU membuat pesisir terendam air laut. “Jadi akibatnya, itu air pasang rob atau banjir rob itu yang sering terjadi,” tambah Damuri.
Awal tahun warga di Desa Kertawinangun dan Desa Eretan Kulon, Kecamatan Kandanghaur merasakan dampak buruk banjir rob. Setidaknya 845 warga terdampak dan sejumlah rumah mengalami kerusakan. Menurut Damuri, untuk merespons bencana banjir rob pemerintah mencanangkan program Kampung Nelayan Sejahtera. Namun program ini hanya dibentuk di satu desa.
Pembangunan di kawasan pantai Indramayu juga minim partisipasi publik. Menurut Hannah, pihak perusahaan hanya mengundang dinas terkait dan tokoh masyarakat. Itu pun hanya sebatas pemberitahuan, tidak ada dengar pendapat atau partisipasi bermakna.
“Bukan untuk meminta pendapat mereka tentang bagaimana kalau mau ada proyek ini dan lain sebagainya, tapi lebih ke ngasih tahu saja kalau ini bakal dilaksanain, bakal ada proyek ini gitu,” cerita Hanna.
Mimpi Buruk bagi Alam dan Nelayan
Selain berdampak pada pesisir pantai, perampasan ruang laut juga berimbas ke dalam biota laut. Damuri mengungkapkan setidaknya ada empat perusahaan yang sudah beroperasi di kawasan pantai dan laut Indramayu, di antaranya di kilang minyak di Balongan. Ia mempertanyakan bagaimana proses pembuangan limbah perusahaan minyak ini.
Hal senada juga diungkapkan Herina Agustin, dosen Komunikasi Lingkungan Unpad. Menurutnya pembangunan industri besar-besaran yang terjadi di Indramayu dan sekitarnya sangat berpengaruh pada kerusakan lingkungan dan pendapatan nelayan.
Misalnya, pendirian PLTU yang sering diprotes oleh nelayan karena berdampak buruk pada lingkungan. Banyak nelayan dan petani tambak garam mengeluhkan hasil tangkapan ikan dan panen garamnya. “Jadi nelayan protes juga khawatir karena ekosistem laut itu rusak akibat limbah,” tuturnya.
Kendati mendapat protes keras dari warga, perusahaan besar seperti PLTU batu bara dan minyak masih terus bisa beroperasi karena mempunyai dokumen AMDAL. Ia menilai, AMDAL menjadi barang istimewa untuk mengeruk sumber daya lingkungan di Indramayu.
“Jadi, kalau menurut saya istilahnya ini adalah perampasan ruang sistemik,” lanjutnya.
Mahasiswa Bersuara
Perampasan ruang laut juga menjadi perhatian mahasiswa yang fokus terhadap isu perikanan dan kelautan. Nadhif Aydin, mahasiswa jurusan Perikanan Unpad mengungkapkan, jika perampasan ruang laut terus dilakukan maka bakal berdampak buruk bagi nelayan.
Dia mengutip data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang menunjukkan pada tahun 2010 terdapat pengurangan sumber daya perikanan sebesar 20 hingga 30 persen. “Akan terjadi penurunan drastis pada tahun 2050 untuk sumber daya perikanan,” jelas mahasiswa semester 4 itu.
Penurunan jumlah tangkapan ikan nelayan akan berdampak pada kemiskinan atau ketergantungannya sumber daya laut. Nadhif khawatir, penurunan sumber daya perikanan akan mempengaruhi asupan gizi masyarakat dan menimbulkan stunting.
“Jadi saya itu pengin orang-orang yang awalnya tidak peka terhadap isu lingkungan itu bisa lebih peka lagi dan lebih peduli lagi terhadap isu-isu lingkungan ini apalagi dengan nelayan gitu,” tuturnya.
Julian, anggota Komunitas Mangrove Lamun Karang (Malaka) menambahkan, saat ini diperlukan kerja bareng antara penelitian ilmiah dan penerapan kebijakan untuk melindungi habitat dan ekosistem laut.
Ia mengingatkan pentingnya menjaga laut dengan menggencarkan menanam mangrove. Dia menyarankan pemerintah untuk melibatkan komunitas atau organisasi non-pemerintah dalam melakukan riset di lapangan sebelum mengesahkan kebijakan.
“Yang harus jadi catatan untuk regulator atau pemegang kebijakan adalah harus adanya skema insentif mungkin seperti dana pengelola desa untuk hal ini,” tandasnya.
Baca Juga: Catatan Kritis PLTU Sukabumi, Menuai Petaka dari Batubara
Mempertanyakan Sejauh Mana Ketaatan Pengelola PLTU dalam Menjalankan Perlindungan Lingkungan Hidup
Pemerintah dan Regulasi
Perampasan ruang laut dan pesisir tidak lepas dari hadirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 pengganti Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, menjadi legalitas perampasan laut karena mengesahkan skema hak pengusahaan pesisir (HP3).
Undang-undang tersebut mengizinkan entitas bisnis atau sektor swasta mengkapling kawasan pesisir, laut, serta pulau-pulau kecil di Indonesia untuk kepentingan bisnis. Hannah menjelaskan, perampasan ruang laut dilakukan melalui skema izin Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) sebagaimana yang diamanatkan melalui UU Nomor 1 tahun 2014.
Saat ini sudah ada 28 provinsi yang akan melakukan orientasi pembangunan di sektor kelautan serta perikanan yang memprioritaskan proyek industri ekstraktif, terutama reklamasi dan tambang pasir laut. Di Jawa Barat sendiri orientasi tersebut diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 tahun 2019 tentang RZWP3K.
Hannah Alaydrus menjelaskan, pemerintah merupakan aktor utama yang mengalokasikan penggunaan wilayah pesisir dan laut. “Dalam praktiknya, proses ini terkadang menggunakan pemaksaan melalui lembaga keamanan untuk menegakkan kepatuhan,” ujar Hannah. Jika pemanfaatan pesisir dan laut untuk industri dibiarkan, dikhawatirkan akan berdampak domino pada lingkungan dan manusia. Salah satunya meningkatnya banjir rob dan abrasi.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB