• Buku
  • RESENSI BUKU: Setelah Boombox, Musik sebagai Hiburan dan Perlawanan

RESENSI BUKU: Setelah Boombox, Musik sebagai Hiburan dan Perlawanan

Buku Setelah Boombox: Usai Menyalak karya Herry Sutresna berisi kumpulan tulisan tentang musik dan tafsirnya. Bagi Ucok Homicide, musik lebih dari hiburan.

Jilid buku Setelah Boombox Usai Menyalak karya Herry Sutresna, diterbitkan Penerbit Elevation Books, cetakan pertama 6 Augustus 2016. (Foto: grimlocstore)

Penulis Insan Radhiyan Nurrahim, 2 November 2025


BandungBergerak - Buku ini membawa kita ke semesta lain di mana musik bukan sekadar bebunyian, tapi cara berpikir, cara marah, dan cara bertahan hidup. Herry Sutresna yang selama ini dikenal sebagai Ucok vokalis Homicide menulis buku ini dengan nada yang sama seperti cara dia menulis lirik: jujur, penuh perlawanan, dan tidak sedang ingin membuat siapa pun nyaman.

Dalam pengantar editor, Taufiq Rahman menyebut Ucok sebagai hiphophead sejati yang tidak hanya mencintai musik, tapi juga hidup di dalamnya. Itu benar. Setiap halaman buku ini terasa seperti menyusuri ruang yang pernah jadi saksi, seperti diskusi di kamar Adi dan Udi Pure Saturday, menonton gigs di studio bawah tanah, diserang asma di Bandara Husein, atau saat malam Bandung yang dipenuhi poster dan suara amplifier dari pengeras suara yang rusak. Tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang lebih besar yaitu kesadaran sosial dan semangat independen yang tidak pernah padam.

Ucok menulis dari pengalaman, tapi juga dari kegelisahan kolektif. Di Bab “Bapak”, ia menceritakan masa kecilnya di Palembang, bagaimana ayahnya memperkenalkan dunia musik melalui piringan hitam. Ada Black Sabbath, The Beatles, sampai Bing Slamet. Itu merupakan referensi yang membentuk pandangan hidupnya tentang bapak. Dari sana, kita tahu bahwa akar kejujuran Ucok tumbuh dari rumah, dari orang tua yang percaya bahwa musik bisa jadi sarana berpikir, bukan sekadar hiburan.

Lalu buku ini bergerak ke bab favorit saya: “Kesunyian dan Politik: John Cage, Godspeed You! Black Emperor, dan Nietzsche”. Di sini tulisannya lebih filosofis tapi justru terasa relevan. Ia bicara tentang kesunyian tapi bukan dalam arti sepi. Ia menyiratkan bahwa ruang di mana pikiran bisa bernapas di tengah kebisingan dunia modern sekarang. Ia menulis tentang John Cage dan karya 4’33, tentang suara tubuh sendiri yang tetap terdengar di ruang kedap suara, lalu mengaitkannya dengan Nietzsche dan Godspeed You! Black Emperor. 

Saya suka bagian ini karena di balik keheningan, Ucok seperti sedang memutar ulang amarah. Godspeed, band tanpa vokalis itu, bisa menelanjangi wajah kotor dunia hanya lewat musik instrumentalnya. Gila. Mereka tidak butuh lirik lagu untuk menggugat. Bahkan cover album mereka pun sudah cukup menyindir relasi politik antara industri musik besar seperti Sony, Vivendi Universal, dll dengan pemodal yang ikut mendanai genosida di Palestina tahun itu (sekitar 2000an). Itu bukan sekadar album musik, itu pesan yang disamarkan dalam distorsi musik post rock, Dan Ucok menangkap itu dengan pemahaman makna yang jarang dimiliki penulis musik pada umumnya.

Di titik ini, saya seperti diajak berdialog, bukan sekadar membaca. Ucok menulis, saya mendengar. Ia juga membahas Dummy milik Portishead, dan kepala saya langsung memutar satu potongan lirik dari Perunggu: “kau putar Portishead track 1, album Dummy jadi sandaranmu”. Seketika, dua generasi saling terkoneksi. Portishead era trip-hop 94 di tengah gempuran british pop, dan Perunggu, band rock pulang ngantor di Jakarta 2020-an. Ada benang merah yang tak putus tentang lirik Perunggu dan tulisan Ucok, yaitu tentang kegemaran yang sangat berlebih terhadap album Dummy milik Portishead.

Buku ini memuat 31 Bab, dari hip hop, punk, industrial, sampai renungan eksistensial. Semua ditulis dengan gaya khas Ucok, antara fanzine, resensi musiknya, manifesto politik, memoar pribadi, pemahaman filosofis, dan lain-lain. Ia bicara tentang Making Punk a Threat Again, tentang Suara Rakyat Bukan Suara Tuhan, atau tentang 25 Tahun Streetcleaner. Tapi yang membuatnya istimewa bukan sekadar topik-topik itu, melainkan cara ia menautkan musik dengan tubuh sosial, politik, dan spiritual. Setiap lagu yang ia bahas bukan hanya “didengar”, tapi “dihidupi”.

Baca Juga: RESENSI BUKU: Memahami Perempuan dalam “Perempuan Jika Itulah Namamu”, Sebuah Buku Karya Maman Suherman
RESENSI BUKU: Sebuah Buku yang Tidak Ditujukan untuk Malaikat dan Iblis

Dari 10 lagu protes band lokal terbaik yang ditulis Ucok, saya paling suka dengan 2 lagu yang ditulisnya, yaitu pertama Puppen berjudul “System”. Band dari Bandung yang dinaungi Arian Seringai, Robin Malau, Prima Mulia CS ini memiliki lirik yang relevan di zaman sekarang seperti, "mungkin kita terikat dalam tradisi, mungkin kita mendengar sesuai perintah”. Lalu mendengar cerita-cerita Puppen tentang area moshpit di Saparua tahun 90an, membuat saya kagum terhadap mereka yang aktif ngeband saat rezim Suharto.

Lagu kedua yang saya sukai adalah “Di Udara” dari Efek Rumah Kaca. Lagu ini kembali sering terdengar di akhir Agustus 2025 di semua media sosial. Postingan tentang demonstrasi, kerusuhan, penculikan demonstran, dan riuh di bulan itu sering diposting dengan lagu ini. Lirik yang saya suka tentu: "Ku bisa tenggelam di lautan, Aku bisa diracun di udara, Aku bisa terbunuh di trotoar jalan". Lagu ini membuat generasi sekarang penasaran akan makna apa sebenarnya di balik lirik tersebut, termasuk saya.

Setelah Boombox Usai Menyalak bukan buku musik biasa. Ini arsip kesadaran, catatan dari seseorang yang pernah hidup di tengah arus bawah kota, yang tahu bagaimana rasanya membangun sesuatu dari nol tanpa pemodal kapitalis, tanpa kompromi membuat musik dan menulis arsip arsip hiphopnya. Membaca buku ini seperti menatap kembali sejarah kecil yang pernah bergemuruh di Bandung yang dialami Ucok, tapi gema itu tak berhenti di sana, ia, menular, dan menuntut kita untuk berpikir ulang apa sebenarnya makna musik bagi kita hari ini?

Informasi Buku

Judul Buku: Setelah Boombox: Usai Menyalak

Penulis: Herry Sutresna

Penerbit: Elevation Books cetakan pertama 6 Augustus 2016

Halaman: 227

Bahasa: Indonesia.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//