• Berita
  • Milangkala ke-45 Tahun Walhi Jabar: dari PLTU hingga Pembakaran Sampah Menjadi Sorotan

Milangkala ke-45 Tahun Walhi Jabar: dari PLTU hingga Pembakaran Sampah Menjadi Sorotan

Lingkungan hidup di Jawa Barat menghadapi tantangan serius dari keberadaan PLTU, rencana pembangunan PLTSa, dan alih fungsi lahan hijau.

Warga desa bermain di pantai area eks proyek PLTU Indramayu 2 Desa Mekarsari, Kecamatan Patrol, Indramayu, yang airnya tercemar limbah PLTU batubara Indramayu 1, 22 Desember 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam31 Oktober 2025


BandungBergerakAhmad Yani masih ingat betul tahun 2016, ketika warga desanya di Patrol, Indramayu, mulai mendengar rencana pembangunan PLTU baru di wilayah mereka. Sejak saat itu, hidupnya tak lagi tenang. Ia bukan hanya petani, tapi juga bagian dari Jaringan Tanpa Asap Indramayu (Jatayu), kelompok warga yang menolak keras pembangunan PLTU Indramayu 2.

Rencananya pembangunan itu bakal melakukan pembebasan lahan seluas 275 hektare. Ahmad tahu, sawah-sawah yang menjadi tumpuan hidupnya akan terdampak. Lebih dari itu, ia melihat ancaman yang lebih besar.

“Kami melihat dampak dari PLTU 1 di Desa Mekarsari itu membahayakan kesehatan dan berpengaruh ke mata pencaharian mereka sebagai nelayan,” tutur Ahmad Yani, di acara Milangkala ke-45 tahun Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat yang menggelar diskusi bulanan Obrolan Gerakan Independen dan Egaliter (Ogie) di Gedung Wisma PKBI, Bandung, Kamis, 30 Oktober 2025.

Sejak 2016, Ahmad bersama Walhi Jawa Barat terus berjuang melawan pembangunan PLTU berbahan bakar batu bara. Bagi mereka, batu bara bukanlah simbol kemajuan, melainkan sumber masalah: udara kotor, air tercemar, dan penyakit yang membayangi. Jatayu berdiri di garis depan penolakan, bersuara atas nama warga yang merasakan langsung dampaknya.

Perlawanan itu sempat berbuah manis. Pada 2017, gugatan mereka di Pengadilan Tata Usaha Negara dimenangkan. Keputusan itu membuat Jepang, yang semula menjadi investor proyek, mundur dari rencana pembangunan PLTU Indramayu 2. Namun, kemenangan itu belum berarti akhir. Ancaman pembangunan masih terus menghantui, sementara pemerintah tetap mendorong proyek energi batu bara di banyak daerah.

Ahmad tahu, perjuangan mempertahankan tanah dan udara bersih tak bisa berhenti di meja pengadilan. Karena itu, ketika Walhi Jawa Barat memperingati hari lahirnya yang ke-45 pada akhir Oktober lalu, Ahmad datang membawa cerita dari desanya. Ia ingin mengingatkan semua orang bahwa pembangunan PLTU bukan sekadar urusan energi, tapi persoalan hidup dan mati bagi petani dan nelayan di pesisir Indramayu.

Di forum Ogie edisi evaluasi satu tahun kebijakan rezim Prabowo-Gibran di Bidang Lingkungan Hidup di Jawa Barat, Ahmad membawa keyakinan bahwa ia dan petani lainnya berhak menentukan masa depannya sendiri. Ia melihat bagaimana PLTU 1 di Mekarsari telah membawa polusi yang membuat banyak warga jatuh sakit. Sekarang, pemerintah hendak menambah satu lagi di tanah yang sama.

Bagi Ahmad Yani, tanah bukan sekadar tempat menanam padi. Di sanalah kehidupan dimulai dan harus dipertahankan. Setiap rencana pembangunan PLTU berarti ancaman terhadap sawah, udara, dan tubuhnya sendiri. Karena itu, ia menolak keras proyek itu.

Ahmad bukan satu-satunya yang hadir di forum Ogie. Walhi Jabar mengundang berbagai komunitas yang tengah berjuang mempertahankan lingkungan hidup di daerahnya masing-masing.

Pemerintah Terus Mendorong Energi Kotor

Perlawanan Ahmad dan warga Indramayu kontras dengan arah kebijakan pemerintah pusat. Dalam forum yang sama, Fauqi Muhtaromun Nazwan dari tim Advokasi Walhi Jabar menilai bahwa pemerintahan Prabowo–Gibran justru memperkuat pola pembangunan yang semakin sentralistik, termasuk di bidang lingkungan hidup.

Fauqi menilai, banyak kebijakan yang dikeluarkan pemerintah justru menyingkirkan partisipasi masyarakat. Keterlibatan publik selama ini hanya seremonial, sementara arah pembangunan tetap dikuasai kepentingan ekonomi besar.

Alih-alih mengurangi energi fosil, Fauqi menyatakan pemerintah masih mengandalkan batu bara dan gas.

“Namun, bukannya mengurangi emisi, pemerintah justru mempromosikan solusi palsu seperti co-firing biomassa dan teknologi penangkapan serta penyimpanan karbon yang dalam praktiknya hanya memperpanjang umur PLTU batubara,” ujarnya.

Kebijakan seperti ini membuat masyarakat seperti Ahmad semakin tersisih. Mereka tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, tetapi harus menanggung akibatnya: udara kotor, air tercemar, dan lahan yang tergerus.

"Padahal, mereka merupakan korban dari kepemimpinan yang hipokrit—mengeluarkan kebijakan tanpa partisipasi yang bermakna," kata Fauqi.

Baca Juga: Warga Indramayu dan Sukabumi Menolak PLTU dan Penggunaan Biomassa
WALHI Mendesak Pemerintah agar Menghentikan Impor Sampah Usai Temuan Pencemaran Radioaktif di Cikande

Dari Batu Bara ke Sampah: Ancaman Baru di Jawa Barat

Ancaman terhadap lingkungan hidup di Jawa Barat tidak berhenti di PLTU. Proyek energi berbasis sampah atau Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dengan teknologi thermal (pembakaran) kini menjadi agenda baru pemerintah daerah.

“Pembakaran penggunaan teknologi termal untuk membakar sampah itu sangat berbahaya,” jelas Rahma Husna Fauziyah dari Divisi Pendidikan Walhi Jabar.

Presiden Prabowo bahkan telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2025 untuk mempercepat pembangunan PLTSa di berbagai wilayah, termasuk Legok Nangka dan Cirebon.

Di Bandung sendiri, Walhi Jabar menilai pemerintah kota belum punya strategi yang tepat. Jefry Rohman, Koordinator Tim Advokasi Sampah, menilai insinerator yang dipakai Pemkot Bandung bukan solusi.

“Bukan kurang tepat lagi, tidak tidak tepat. Karena jalan pintas itu pengin cepat musnah sampai sampah itu tidak ada. Padahal padahal sampah itu akan terus ada gitu,” ujarnya.

Ia juga menyoroti bahwa sebagian besar insinerator di Bandung tak memiliki sertifikat layak uji.

“Kalau kami menyebutnya bukan insinerator, tapi tungku pembakaran aja,” tegasnya, seraya menekankan bahwa pengelolaan sampah seharusnya dilakukan dengan cara pemilahan di hulu, dengan melibatkan produsen dan pengelola kawasan komersial.

Perlindungan Satwa Liar

Dalam acara yang sama, Cecep dari komunitas Jasamuda datang membawa cerita lain dari Garut. Ia bercerita tentang satwa yang mati tersengat listrik. Cecep meminta pemerintah serius menangani masalah ini.

“Sampai saat ini belum ada penanganan yang serius dari pihak pemerintah atau dari pihak yang terkait,” katanya. 

Di lingkungan Cecep masih banyak hutan rimba yang menjadi habitat satwa liar dilindungi, seperti Owa Jawa, Lutung, Surili, Macan Tutul Jawa, Kukang Jawa, hingga Elang Jawa. Keberadaan mereka terus terancam.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//