Paradigma Seni dan Aksi Pengetahuan, Membaca Buku Mukadimah Gelagat Liar
Kolaborasi Garasi Performance Institute dan Fakultas Filsafat Unpar mengulas seni sebagai ruang riset, refleksi, dan transformasi dalam praktik pertunjukan.
Penulis Yopi Muharam3 November 2025
BandungBergerak - Pemahaman tentang seni kerap masih terikat pada konsep seni rupa Barat. Padahal, di Indonesia, kesenian memiliki cakupan yang jauh lebih luas, serta punya spesifikasi dan keberagaman yang khas.
“Dunia manusia yang memang menganggap ada paradigmanya dulu nih, baru kita turunkan ke praktik. Atau memang bisakah dari fenomena-fenomena tertentu dia di analisis empirisnya gitu. Kemudian dia berubah menjadi paradigma,” ujar Yacobus Ari Respati, kurator seni rupa sekaligus dosen Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung.
Ari berbicara di diskusi buku "Mukadimah Gelagat Liar" yang digelar di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Jalan Nias 2, Kota Bandung, Rabu, 29 Oktober 2025. Diskusi ini merupakan kerja sama antara Garasi Performance Institute (GPI) dan Integrated Arts, Program Studi Humanitas, Fakultas Filsafat Unpar. Acara dipandu oleh Taufik Darwis, menghadirkan Ugoran Prasad selaku penggagas GPI, Galuh Pangestri Larashati dari teater Tarang Karuna.
Ari mengajak peserta diskusi melihat kembali perdebatan mendasar tentang asal-usul paradigma dalam seni. Menurutnya, dalam berkesenian penting adanya "passion" menuju "action", kepekaan terhadap berbagai hal yang tidak berhenti pada penerimaan pasif, melainkan berubah menjadi kesadaran dan tindakan yang lahir dari pengalaman. Ia melihat buku "Mukadimah Gelagat Liar" sebagai wujud nyata dari semangat itu.
Ari menilai, para penulis buku ini menunjukkan transformasi personal dalam artikel-artikel mereka. Keunikan buku ini tampak sejak sampulnya yang tidak memuat kata “seni” sebagai judul.
“Untuk renang kita harus basah dulu. Dan untuk belajar ya membaca. Yang penting membaca dulu aja sekalian belajar,” ujarnya.
Membaca Seni sebagai Bagian dari Kehidupan
Galuh Pangestri Larashati, pegiat teater Tarang Karuna, memandang seni pertunjukan bukan sekadar tontonan, melainkan pengalaman yang menyatu dengan kehidupan. Seni, katanya, turut membentuk kepercayaan diri dan bahkan menjadi bagian dari lahirnya Toko Buku Pelagia yang ia gagas.
Dia menekankan pentingnya melebur dengan seni pertunjukan, bukan hanya menontonnya.
“Itu artinya bagaimana dramartugi atau repertoar mampu mengiringi kehidupan kita,” ungkapnya.
Menurut Galuh, pemahaman seni pertunjukan juga perlu melihat sumber-sumber kehidupan sehari-hari. Buku “Mukadimah Gelagat Liar”, katanya, memberi ruang bagi pembaca untuk memilih sudut pandang yang sesuai dengan kebutuhannya.
“Ada banyak ruang dari buku ini bisa memilih sudut pembacaan yang mana,” jelas Galuh.
Di Tarang Karuna, riset menjadi bagian penting dari setiap karya. Para penari diminta menelusuri referensi dan mencatat proses latihan mereka. Ia mencontohkan pertunjukan “Ara”, yang terinspirasi dari buku novel “Larasati” karya Pramoedya Ananta Toer.
“Jadi mereka banyak mencatat, tapi praktiknya sedikit,” ujarnya. Bagi Galuh, pencatatan itu memperkuat substansi karya pertunjukan yang disajikan.
Baca Juga: Perjalanan Seni Tono
Para Seniman Mengarsipkan Sisa-sisa Masa Depan di Kota Bandung, Merekam Ingatan Melalui Fotografi dan Lagu Sabubukna

GPI dan Proses Kelahiran Buku
Buku “Mukadimah Gelagat Liar: Surat Kepercayaan dari Selatan” menandai fase baru bagi Garasi Performance Institute yang sejak 2017 bergerak di bidang seni pertunjukan. Tahun 2025 menjadi momen GPI bertransformasi menjadi institusi formal.
Sebagai akademi pertunjukan dan simpul bagi seniman serta peneliti lintas daerah, GPI berfokus pada pertukaran ide dan sirkulasi pengetahuan berbasis paradigma pertunjukan kritis, dialektis, dan reparatif.
Buku setebal 267 halaman ini berisi 14 tulisan dari para seniman penginisiasi kerja pertunjukan, baik secara individu maupun kolektif. GPI menyusunnya sebagai upaya menyalurkan paradigma pertunjukan ke dalam bentuk tulisan.
Ugoran Prasad menceritakan bahwa pada 2017 ia mengembangkan pendekatan baru melalui “Majelis Prama Turtia”, yang mempertemukan banyak pelaku teater di Jakarta untuk menelaah pertanyaan di balik karya seni mereka. Pendekatan itu kemudian berlanjut ke kelas “Open Lab School” (OLS) yang berlangsung selama empat bulan di masa awal pandemi.
Pada dua bulan pertama, peserta OLS melakukan “shopping pertanyaan” untuk menelusuri gagasan mereka lewat seni. Dua bulan berikutnya, pertanyaan itu diterjemahkan menjadi karya. Dari proses ini, lahir 14 tulisan yang kemudian dihimpun menjadi antologi “Mukadimah Gelagat Liar”.
Ugoran mengakui tantangan muncul karena sebagian besar peserta tidak terbiasa menulis. Untuk memfasilitasi mereka, GPI menyusun kuesioner dengan lebih dari 20 pertanyaan sebagai panduan.
“Dari 14 itu mungkin cuma satu atau dua yang merasa pernah merasa penulis gitu,” tutur frontman Majelis Lidah Berduri itu. “Yang lainnya bukan.”
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

