• Berita
  • Di Balik Deklarasi ‘Tanpa Perundungan’ di Bandung, Sebuah Pengakuan yang Memerlukan Langkah Konkret Menuju Kota Ramah Anak

Di Balik Deklarasi ‘Tanpa Perundungan’ di Bandung, Sebuah Pengakuan yang Memerlukan Langkah Konkret Menuju Kota Ramah Anak

Deklarasi "tanpa perundungan" (zero bullying) yang digagas Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung memerlukan tindakan nyata.

Penampilan pantomim dari Suharmoko dan Andini Mardiani yang menggambarkan perundungan yang kerap terjadi di lingkungan sekolah. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)

Penulis Yopi Muharam3 November 2025


BandungBergerak - Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung baru-baru ini mendeklarasikan komitmen "tanpa perundungan" (zero bullying) untuk menciptakan lingkungan yang aman dan ramah bagi anak. Deklarasi ini dinilai berani di tengah kenyataan bahwa Kota Bandung sendiri belum sepenuhnya menjadi kota ramah anak.

Nadia Cyntia Dewi, Wakil Ketua Great UPI, mengapresiasi langkah Pemkot Bandung tersebut. Ia berharap deklarasi itu diikuti dengan tindakan nyata, terutama dalam mencegah kekerasan terhadap anak di berbagai ruang kehidupan.

“Aku melihatnya tidak semua kota berani mengakui bahwa ada persoalan serius dalam cara kita memperlakukan anak, baik di sekolah maupun di ruang publik,” ungkap Nadia, Jumat, 31 Oktober 2025.

Menurutnya, permasalahan perundungan bukanlah hal yang muncul tiba-tiba. Bullying, kata Nadia, berakar dari budaya dan pola pengasuhan yang keras, relasi kuasa yang timpang antara orang dewasa dan anak, serta lingkungan sekolah yang masih menormalisasi senioritas dan kepatuhan tanpa ruang dialog.

“Jadi, kalau kita bicara Zero Bullying, yang perlu kita sentuh bukan hanya perilaku anak, tapi juga pola relasi yang selama ini membentuk mereka,” tambahnya.

Nadia menjelaskan, bentuk perundungan tidak selalu berupa kekerasan fisik atau ejekan langsung. Ada pula perundungan berbasis gender, ketika anak laki-laki diejek karena dianggap tidak maskulin, atau anak perempuan direndahkan karena berani bersuara.

Selain itu, perundungan juga bisa terjadi karena perbedaan kelas sosial, "body shaming", atau eksklusi sosial yang pelan-pelan menggerus kepercayaan diri anak.

“Bentuk kekerasan seperti ini sering tidak dianggap serius, padahal dampaknya justru panjang dan membekas secara mental,” tandasnya.

Dampak perundungan, lanjutnya, tidak berhenti pada saat kejadian terjadi. Luka psikologis dapat menetap dan memengaruhi cara anak memandang diri, orang lain, serta dunia di sekitarnya. Anak yang mengalami kekerasan, baik fisik, verbal, maupun emosional, sering tumbuh dengan keyakinan bahwa dirinya tidak cukup berharga untuk dilindungi.

“Anak belajar akan menyalahkan diri sendiri, merasa salah hanya karena menjadi dirinya, dan akhirnya sulit mempercayai orang lain,” tuturnya.

Relasi Kuasa dan Kekerasan yang Berulang

Ressy Rizki Utari, Asisten Pengabdi Bantuan Hukum (APH) LBH Bandung, menilai deklarasi "zero bullying" sebagai langkah awal mencegah kekerasan terhadap anak. Namun, ia menekankan pentingnya langkah konkret dan berkelanjutan.

Ressy menilai, perundungan kerap terjadi karena anak belum memahami perbedaan antara bercanda (heureuy) dan tindakan yang menyakiti orang lain.

“Dan bisa juga ekspresi itu (tindak perundungan) muncul karena emosi-emosi negatif yang mereka dapatkan sebelumnya,” ujarnya, Kamis, 30 Oktober 2025.

Ia menjelaskan, kekerasan terhadap anak sering berakar dari relasi kuasa yang tidak seimbang. Anak adalah kelompok yang sangat rentan dan mudah dimanipulasi. Kekerasan bisa muncul di rumah tangga maupun di sekolah, di mana anak dapat berperan sekaligus sebagai pelaku dan korban.

“Kekerasan itu akan muncul ketika yang satu memiliki kuasa lebih tinggi sehingga merasa kuasa untuk melakukan kekerasan,” tandasnya.

Pendidikan Militer Bukan Solusi

Ressy menyoroti wacana pendidikan ala ‘barak militer’ yang digagas Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi bagi anak-anak yang dianggap bermasalah. Menurutnya, pendekatan seperti itu bukanlah cara tepat untuk mendidik dan membentuk karakter anak.

“Anak itu membutuhkan stimulus kritis dan mendapatkan wadah untuk menyalurkan ekspresinya pada hal yang tepat,” ungkapnya.

Nadia Cyntia Dewi juga berpendapat serupa. Ia menilai pendidikan yang berorientasi pada kedisiplinan militer sering kali gagal membedakan antara mendisiplinkan dan melukai.

“Kalau tujuannya adalah membangun disiplin, tanggung jawab, dan karakter, menurutku metode militer justru sering meninggalkan efek sebaliknya,” ujarnya.

Bagi Nadia, kedisiplinan yang dibangun lewat rasa takut, hukuman, dan ketaatan tanpa ruang bertanya tidak melahirkan kesadaran internal pada anak. Anak mungkin akan patuh di depan orang dewasa, tapi tidak selalu tumbuh dengan kesadaran internal tentang kenapa sebuah nilai itu penting.

Sebelumnya, deklarasi tanpa perundungan dilakukan Wali Kota Bandung Muhamad Farhan pada kegiatan Deklarasi Kota Bandung Menuju Zero Bullying di SDN 113 Banjarsari, Rabu, 29 Oktober 2025. Farhan mengatakan, Pemkot akan terus memperkuat perlindungan dan edukasi bagi anak-anak agar terhindar dari tindak kekerasan dan pelecehan baik di lingkungan sekolah maupun di rumah.

Dia juga menyadari kekerasan terhadap anak bisa terjadi di ruang digital. Penguatan dan pengawasan di ranah media sosial itu, baginya harus dibarengi dengan edukasi.

“Perkembangan teknologi harus diimbangi dengan literasi yang baik agar tidak disalahgunakan untuk bullying,” kata Farhan, dalam keterangan resmi.

Untuk memperkuat perlindungan anak secara hukum, Pemerintah Kota Bandung telah menetapkan dua peraturan wali kota (perwal). Peraturan pertama, Perwal Nomor 20 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Penanganan Secara Sinergis terhadap Anak Korban Tindak Kekerasan, Eksploitasi, Perlakuan Salah, dan Penelantaran, bertujuan memastikan pemenuhan hak anak dan perlindungannya dari berbagai bentuk kekerasan.

Peraturan kedua, Perwal Nomor 33 Tahun 2025 tentang Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD), mengatur pembentukan lembaga yang berfungsi mendukung efektivitas pengawasan dan pemenuhan hak anak di daerah.

Perwal yang disahkan pada 5 Juni 2025 itu juga mengatur mekanisme pengaduan langsung ke KPAD. Bab VII Bagian Keenam Pasal 37 menyebutkan bahwa masyarakat—baik individu maupun kelompok—yang memiliki bukti kuat tentang dugaan pelanggaran hak anak dapat mengajukan pengaduan secara tertulis atau lisan kepada KPAD.

Baca Juga: Bahaya Perundungan dalam Dunia Pendidikan
Kasus Perundungan di Bandung Menunjukkan Wajah Buruk Pendidikan

Bagian isi buku Bully, penulis Nissa Rengganis, Toni Handoko, Wanggi Hoediyanto (Raws Syndicate, Bandung, 2023). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Bagian isi buku Bully, penulis Nissa Rengganis, Toni Handoko, Wanggi Hoediyanto (Raws Syndicate, Bandung, 2023). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Data Kekerasan terhadap Anak di Bandung

Kasus kekerasan terhadap anak di Kota Bandung masih menjadi persoalan serius. Berdasarkan data Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kota Bandung periode 2020–2023 (hingga Juni), dua bentuk kekerasan yang paling banyak dialami anak adalah kekerasan psikis dan kekerasan seksual.

Dalam tiga tahun terakhir, kekerasan psikis terhadap anak menunjukkan tren peningkatan. Pada 2020 tercatat 42 kasus, naik menjadi 62 kasus pada 2021, kemudian 74 kasus pada 2022, dan melonjak menjadi 97 kasus pada 2023.

Kekerasan seksual juga masih tinggi meskipun trennya fluktuatif. Pada 2020 tercatat 71 kasus, menurun menjadi 70 kasus pada 2022, namun kembali meningkat drastis menjadi 112 kasus pada 2023.

Sepanjang 2023, UPTD PPA mencatat total 303 kasus kekerasan terhadap anak. Dari jumlah itu, 192 kasus telah ditangani, 78 masih dalam proses, 59 dalam tahap monitoring dan evaluasi, serta 55 kasus telah selesai (terminasi).

Kekerasan seksual terhadap anak perempuan tercatat paling tinggi, mencapai 78,57 persen (88 kasus), sedangkan korban laki-laki sebanyak 21,43 persen (24 kasus).

Data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bandung menunjukkan, Kecamatan Antapani menjadi wilayah dengan kasus kekerasan anak tertinggi, sebanyak 16 kasus. Disusul Kecamatan Regol dengan 11 kasus, serta Kecamatan Sumur Bandung, Batununggal, Kiaracondong, Lengkong, dan Cicendo yang masing-masing mencatat 10 kasus. Kecamatan Andir melaporkan 9 kasus, Rancasari dan Sukasari masing-masing 8 kasus.

Kasus paling sedikit tercatat di Kecamatan Ujungberung (0 kasus), Gedebage (2 kasus), Bandung Kulon dan Cidadap (3 kasus), Sukajadi dan Mandalajati (4 kasus), serta Panyileukan, Bojongloa Kidul, dan Babakan Ciparay masing-masing 5 kasus. Adapun di Bandung Kidul tercatat 6 kasus.

Pada 2024, DP3A merilis data terbaru yang menunjukkan 218 kasus kekerasan anak di Kota Bandung. Dari jumlah itu, 50 persen merupakan kekerasan seksual, diikuti perundungan dan kekerasan fisik. Sementara kekerasan terhadap perempuan mencapai 200 kasus—97 terhadap istri dan 103 terhadap perempuan lainnya—dengan kekerasan psikis menjadi bentuk paling dominan, diikuti kekerasan seksual.

Secara nasional, data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat prevalensi kekerasan terhadap anak pada 2024 mencapai 59,85 persen. Hingga November 2023, terdapat 21.187 korban kekerasan terhadap perempuan, dengan rincian kekerasan seksual (1.751 kasus), fisik (4.631 kasus), dan psikis (3.633 kasus). Total korban laki-laki mencapai 5.540 orang, sementara perempuan 22.433 orang.

Kekerasan Berawal dari Rumah

Penelitian menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak banyak bermula dari lingkungan terdekat, terutama rumah. Sumiadji Asy’ary dalam jurnal "Kekerasan Terhadap Anak" menjelaskan, banyak orang tua belum memahami makna kekerasan terhadap anak.

Dalam Jurnal Keislaman Vol. 2 No. 2, Sumiadji menjelaskan bahwa orang tua sering bersikap keras dengan alasan mendisiplinkan anak, padahal hal itu keliru. “Akibatnya banyak sekali anak-anak yang mengalami trauma dan perkembangan anak menjadi memburuk akibat dari adanya kekerasan yang diberikan sewaktu mereka masih kecil,” tulisnya, Rabu, 29 Oktober 2025.

Sementara itu, Endang Prastin dalam artikelnya berjudul “Kekerasan Terhadap Anak dan Upaya Perlindungan Anak di Indonesia” menyebut sejumlah faktor sosial budaya yang dapat memicu kekerasan terhadap anak.

Faktor-faktor itu antara lain kemiskinan, tekanan nilai materialistis, kondisi sosial ekonomi rendah, pandangan bahwa anak adalah milik orang tua, status perempuan yang rendah, sistem keluarga patriarkal, pengangguran, penyakit, kondisi perumahan buruk, keluarga besar tetapi miskin, keberadaan anggota keluarga dengan disabilitas, dan kematian anggota keluarga.

Endang juga menjelaskan, anak-anak korban kekerasan psikis biasanya menunjukkan perilaku maladaptif seperti menarik diri, pemalu, takut keluar rumah, dan enggan bertemu orang lain.

“Ada juga anak-anak yang tiba-tiba merasa takut, cemas, gemetar, atau tidak menyukai orang atau tempat tertentu, atau mereka tiba-tiba menghindari keluarga, teman, atau aktivitas yang biasa mereka lakukan,” tulisnya dalam Jurnal Citizenship Virtues, 2024.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//