• HAM
  • Rencana Pemberian Gelar Pahlawan untuk Suharto Terus Menuai Penolakan dari Aktivis HAM

Rencana Pemberian Gelar Pahlawan untuk Suharto Terus Menuai Penolakan dari Aktivis HAM

Rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Suharto dinilai mengkhianati korban dan melanggengkan budaya kekerasan Orde Baru.

Aksi Kamisan Bandung ke-427 di depan Gedung Sate, Kamis, 4 September 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam6 November 2025


BandungBergerak - Rencana pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Suharto menuai penolakan luas dari aktivis, pegiat HAM, dan korban rezim Orde Baru. Mereka menilai langkah tersebut melanggengkan budaya kekerasan, mengkhianati ingatan korban, serta menyalahi prinsip hak asasi manusia.

Pegiat literasi Deni Rachman mengatakan, rezim Orde Baru mencitrapositifkan dirinya dengan propaganda. Tidak sedikit rakyat yang merasa baik-baik saja karena termakan propaganda yang antara lain disiarkan televisi negara.

Deni menyadari fakta di balik narasi positif Orde Baru ketika merantau ke Bandung pada 1998. Waktu itu pria kelahiran Pandeglang ini menempuh pendidikan di Universitas Padjadjaran (Unpad).

Di masa kuliah, Deni menyaksikan banyak penyitaan dan pelarangan buku, termasuk karya Pramoedya Ananta Toer dan Sukarno. Ia menilai pelarangan buku sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak paling dasar, yaitu membaca.

Namun, selain kebijakan pelarangan buku, Orde Baru membangun kekuasaannya dengan kekerasan. Bagi Deni, satu kasus saja sudah cukup menjadi alasan bahwa Suharto tidak layak disebut pahlawan.

“Saya sangat tidak setuju (pemberian gelar itu), karena saya mengkampanyeukan dari diri sendiri Suharto is not my heroes,” ujarnya, Senin, 3 November 2025.

Ia menegaskan, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto sama dengan merawat kekerasan yang pernah dilakukan. “Karena isu yang paling kuat menurut saya adalah budaya kekerasan yang dirawat dan diternak oleh Suharto.”

Literatur mencatat jejak beradar Orde Baru, dari tragedi 1965 berupa penangkapan, penyiksaan, dan pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dituduh komunis; hingga penembakan misterius (petrus) pada 1982–1985, yaitu operasi pemberantasan para preman tanpa pengadilan.

Dalam buku biografi "Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya" yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan K.H, Suharto menjawab soal operasi petrus.

“Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment, tindakan yang tegas. Tindakan kerasnya bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan.”

Suharto menyebut pemberantasan para preman sebagai bentuk peringatan.

“Itu untuk shock therapy. Supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya.”

Selain petrus, rangkaian tragedi kemanusiaan yang terjadi di masa Orde Baru antara lain tragedi Tanjung Priok (1984), Talangsari di Lampung (1989). Peristiwa Rumoh Geudong (1989-1998), tragedi Santa Cruz di Timor-Timor (1991), kerusuhan Mei disertai penculikan, kekerasan, dan penembakan yang terjadi dari tahun 1997-1998.

“Bertentangan dengan Prinsip HAM”

Direktur LBH Bandung Heri Pramono menilai rencana penyematan gelar pahlawan kepada Soeharto bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia. “Karena kita lihat Suharto punya banyak jejak berdarah,” ujarnya kepada BandungBergerak, Senin, 3 Oktober 2025.

Menurut Heri, pemerintah seharusnya fokus menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, bukan melakukan selebrasi dengan memberi penghargaan kepada pelakunya.

“Itu kan yang menjadi bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Bahkan pelanggaran HAM pun yang terjadi pada Orde Baru gitu, mayoritas,” katanya.

Ia menduga pengangkatan gelar pahlawan bagi Soeharto bertujuan menghapus sejarah kelam Indonesia. Heri mengaitkan hal ini dengan ambisi Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang disebut ingin merevisi sejarah dan menolak fakta pemerkosaan massal saat kerusuhan 1998.

“Korban pelanggaran HAM di masa lalu yang berharap ke negara untuk menyelesaikan pelanggaran malah jadi masalah, semakin jauh menemukan keadilan,” ujarnya.

Heri juga menyoroti rencana penyandingan nama Soeharto dengan aktivis buruh Marsinah.

“Seorang pelaku pelanggaran HAM itu tidak layak disematkan sebagai tokoh. Apalagi ini sebagai pahlawan gitu,” tegasnya. “Sementara kalau Marsinah kan dia punya impak besar terhadap gerakan buruh hingga sekarang.”

Ia mendesak pemerintah mendengar aspirasi masyarakat, terutama keluarga korban. Menurutnya, negara seharusnya menuntaskan tanggung jawab terhadap para korban pelanggaran HAM, bukan memberi penghargaan pada pelaku.

Peserta Aksi Kamisan Bandung mengenakan topeng Munir dalam salah satu aksinya di sekitar kawasan Gedung Sate Bandung, Kamis (10/9/2021) sore. Masih dalam rangkaian September Hitam, aksi ke-361 ini menyuarakan  17 tahun kasus kematian Munir Said Thalib yang belum tuntas terungkap. (Foto: Miftahudin Mulfi/BandungBergerak.id)
Peserta Aksi Kamisan Bandung mengenakan topeng Munir dalam salah satu aksinya di sekitar kawasan Gedung Sate Bandung, Kamis (10/9/2021) sore. Masih dalam rangkaian September Hitam, aksi ke-361 ini menyuarakan 17 tahun kasus kematian Munir Said Thalib yang belum tuntas terungkap. (Foto: Miftahudin Mulfi/BandungBergerak.id)

Aktivis HAM: Penghinaan terhadap Korban Orde Baru

Aliansi Perempuan Indonesia (API) menyatakan rencana pemerintah menjadikan Soeharto sebagai pahlawan merupakan penghinaan terhadap korban Orde Baru. Dalam siaran resminya, API menilai langkah itu bentuk pengingkaran sejarah atas pelanggaran HAM berat yang dilakukan rezim Soeharto.

“Pengabaian sejarah pelanggaran berat HAM, tak lebih dari upaya membungkam korban supaya kasus-kasusnya tidak pernah terungkap,” kata Yolanda Panjaitan dari Cakra Wikara Indonesia.

Diyah WR dari Perkumpulan Kecapi Batara Indonesia menambahkan, pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan juga merupakan kelanjutan dari perampasan hak kelompok minoritas Tionghoa.

“Kami tidak pernah diperhitungkan sebagai warga negara. Banyak kasus-kasus kekerasan yang menimpa masyarakat Tionghoa tapi tidak pernah diusut,” ujarnya.

API menegaskan Soeharto bukan simbol perjuangan bangsa, melainkan simbol represi, kekerasan, dan pembungkaman politik selama lebih dari tiga dekade kekuasaannya. Mereka menyerukan penolakan terhadap rencana pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional serta menuntut negara menuntaskan penyelidikan pelanggaran HAM masa Orde Baru dan menghormati ingatan sejarah korban.

Baca Juga: Pengusulan Suharto sebagai Pahlawan Nasional Melukai Amanat Reformasi 1998
Sukarno dan Suharto Sama-sama Wariskan Buku Masakan di Akhir Kekuasan

“Kebijakan Buta Sejarah”

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga menolak keras usulan pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto. Mereka menyebut kebijakan itu “buta sejarah dan membangkang aturan.”

Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto dianggap menampilkan wajah kekuasaan yang otoriter dan sarat pelanggaran HAM berat. Jejak korupsinya pun tercatat dalam TAP MPR XI/MPR/1998 yang menuding Soeharto sebagai pelaku korupsi, kolusi, dan nepotisme.

“Praktik hukum ‘untouchable’ kepada Soeharto menunjukan bahwa kroni-kroni Soeharto masih kokoh bercokol di kekuasaan meski tuntutan reformasi untuk mengadili Soeharto dan kroninya kencang disuarakan,” tulis LBH-YLBHI dalam siaran pers.

Mereka menegaskan, Indonesia sebagai negara hukum seharusnya menjamin perlindungan hak asasi manusia dan memastikan keadilan bagi korban rezim Soeharto.

“Untuk itu, seharusnya Presiden Prabowo menjamin pemenuhan korban pelanggaran HAM berat masa lalu berupa keadilan dengan menyeret pelaku ke pengadilan,” lanjut pernyataan tersebut.

LBH-YLBHI juga mendesak Presiden Prabowo segera menolak dan menghentikan proses pengusulan Soeharto sebagai pahlawan nasional, meminta DPR RI menolak usulan tersebut, serta memerintahkan penegak hukum menuntaskan kasus pelanggaran HAM dan korupsi yang melibatkan keluarga dan kroni Suharto.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//