Pengusulan Suharto sebagai Pahlawan Nasional Melukai Amanat Reformasi 1998
Pemerintah telah memiliki daftar 40 nama calon Pahlawan Nasional yang akan diumumkan 10 November. Suharto salah satu kandidat penerima gelar Pahlawan Nasional.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah1 November 2025
BandungBergerak – Pengusulan Suharto sebagai pahlawan nasional menjadi sorotan publik. Banyak alasan kuat yang membuat pengusulan penguasa Orde Baru 32 tahun sebagai pahlawan nasional tidak bisa diterima. Antara lain soal moral dan amanat reformasi 1998.
Muflih Hasbullah, dosen sejarah di Universitas Islam Bandung (UIN) Sunan Gunung Gunung Djati Bandung, mengatakan pengusulan itu tidak layak. Menurutnya, klasifikasi pahlawan harus memenuhi syarat jasa. Syarat ini harus memenuhi unsur keikhlasan atau ketulusan dalam berbakti kepada negara.
"Kalau sudah tulus dan ikhlas, artinya tidak ada hubungan dengan jabatan, dan tanpa pamrih," kata Muflih ditemui BandungBergerak, Rabu, 29 Oktober 2025.
Pahlawan, kata Muflih, harus besar jasanya di luar tugas-tugas formalnya sebagai pejabat publik. Jika yang dianggap jasa itu masih dalam lingkup tugas kewenangannya, maka itu bukan jasa melainkan kewajiban.
Muflih mengatakan, jasa Suharto memang besar dalam pembangunan. Namun hal itu dilakukan dalam kapasitasnya sebagai presiden.
Di sisi lain, pembangunan yang dijalankan Suharto memiliki sisi yang bermasalah. Meski ada kemajuan dalam ekonomi, utang negara juga tak kalah besar. Belum lagi korupsi di lingkar keluarganya.
Ketika massa reformasi, korupsi menyebar ke berbagai lini. Sebelumnya, korupsi hanya terpusat di lingkar keluarga istana, sehingga tidak ada yang berani melawan kekuasaan.
Oleh karena itu, Muflih menegaskan, pahlawan tidak boleh memiliki masalah moral. Kenyataannya, Suharto diturunkan dari kekuasaannya karena terkait dengan moral.
"Itu menandakan adanya masalah moral dan etika. Kalau seseorang turun karena penjajahan atau wafat dalam perjuangan, itu lain. Tapi Suharto turun karena krisis kepercayaan," jelasnya. "Jadi, walau jasanya banyak, tetap ada cacat besar yang tidak pantas bagi seorang pahlawan."
Diketahui, Menteri Sosial Saifullah Yusuf menyerahkan dokumen berisi daftar 40 nama calon Pahlawan Nasional kepada Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang juga Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK). Di antara puluhan nama itu terdapat Presiden kedua RI Suharto.
Selain Suharto, daftar tersebut memuat nama-nama di antaranya aktivis buruh Marsinah, Presiden ke-4 Republik Indonesia Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, mantan Menteri Pertahanan Keamanan M Jusuf, serta mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Beberapa ulama juga masuk dalam daftar, di antaranya ulama asal Bangkalan Syaikhona Muhammad Kholil, mantan Rais Aam PBNU KH Bisri Syansuri, dan KH Muhammad Yusuf Hasyim dari Tebuireng, Jombang.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengatakan, 40 nama yang masuk sebagai calon pahlawan nasional telah melalui proses sidang tim GTK. Selanjutnya daftar 40 nama calon pahlawan nasional akan diserahkan kepada Presiden Prabowo Subianto. Rencananya, proses penetapan pahlawan nasional akan tuntas sebelum Hari Pahlawan 10 November.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Mengkritisi Usulan Pemberian Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto
Aksi Kamisan Bandung ke-416: Menolak Gelar Pahlawan Suharto, Mengingat Pelanggaran-pelanggaran HAM di Masa Lalu
Mengkhianati Reformasi 1998
Penolakan usulan Pahlawan Nasional untuk Suharto datang dari koalisi masyarakat sipil. Koalisi menilai, di masa kepemimpinan Suharto selama 32 tahun telah terjadi berbagai pelanggaran hak asasi manusia.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, menjadikan Suharto sebagai pahlawan nasional merupakan bentuk pengkhianatan terbesar atas mandat rakyat 1998.
“Jika usulan ini terus dilanjutkan, reformasi berpotensi berakhir di tangan pemerintahan Prabowo. Suharto jatuh akibat protes publik yang melahirkan reformasi. Oleh karena itu menganugerahi Suharto gelar pahlawan nasional bisa dipandang sebagai akhir dari reformasi itu sendiri," kata Usman, dikutip dari keterangan resmi.
Usman juga mengatakan, usulan ini sebagai upaya sistematis untuk mencuci dosa rezim otoriter Suharto yang selama berkuasa marak dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta pelanggaran hak asasi manusia.
Menurutnya, selama 32 tahun berkuasa Suharto memimpin secara otoriter, mengekang kebebasan berekspresi, membungkam oposisi, serta menormalisasi praktik pelanggaran HAM secara sistematis.
"Mengusulkan Suharto sebagai pahlawan berarti mengabaikan penderitaan para korban dan keluarga mereka yang hingga kini belum mendapatkan keadilan," jelas Usman Hamid.
Ia menuturkan berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di bawah kekuasaan rezim Orde Baru, yaitu pembantaian massal 1965–1966, penembakan misterius (Petrus) 1982–1985, tragedi Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, kekerasan di Aceh, Timor Timur, dan Papua, hingga penghilangan paksa aktivis menjelang kejatuhannya pada 1997–1998.
Usman Hamid mengatakan, negara telah mengakui peristiwa pelanggaran HAM berat tersebut. Namun, hingga kini tidak ada satu aktor utama yang dimintai pertanggungjawaban.
Ia mengatakan, pemerintah semestinya memprioritaskan penyelesaian yudisial dan non-yudisial atas pelanggaran HAM berat masa lalu, bukan justru memberi penghargaan kepada pelaku yang bertanggung jawab atas kasus-kasus itu.
Ia mendesak pemerintah harus mengeluarkan Suharto dari daftar nama-nama yang diusulkan untuk mendapatkan gelar Pahlawan Nasional.
"Suharto tidak layak berada di daftar itu, apalagi diberi gelar pahlawan. Hentikan upaya pemutarbalikan sejarah ini," tegasnya.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

