• Berita
  • Aksi Kamisan Bandung ke-416: Menolak Gelar Pahlawan Suharto, Mengingat Pelanggaran-pelanggaran HAM di Masa Lalu

Aksi Kamisan Bandung ke-416: Menolak Gelar Pahlawan Suharto, Mengingat Pelanggaran-pelanggaran HAM di Masa Lalu

Aksi Kamisan Bandung ke-416 mengingatkan kembali sederet pelanggaran HAM di masa lalu di masa Orde Baru yang dipimpin Suharto.

Aksi Kamisan Bandung menuntut penegakan HAM di Indonesia, Senin (19/7/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah8 November 2024


BandungBergerak.id - Hampir satu bulan setelah pelantikan Prabowo Subianto sebagai Presiden Indonesia, masyarakat prodemokrasi terus mengingatkan dosa-dosa dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) melalui Aksi Kamisan Bandung ke-416, Kamis, 7 November 2024. Aksi ini juga menolak pemberian gelar pahlawan bagi Suharto.

“Suharto pahlawan bagi mereka, bukan bagi kita bagi korban-korban 65-66, dan masyarakat yang menjadi korban kejahatan Suharto,” demikian orasi peserta Aksi Kamisan Bandung ke-416 yang mengusung tema “Dosa-dosa Prabowo dan Jejak Berdarah Suharto’.

Selama 32 tahun Suharto memimpin, sejumlah pelanggaran berat HAM terus terjadi, mulai dari  genosida 1955-1965, penembakan misterius (Petrus) pada 1981-1985. Tragedi Tanjung Priok 1984, Tragedi Talangsari 1989, DOM Aceh, DOM Papua, penculikan dan penghilangan aktivis, Tragedi Semanggi, Tragedi Trisakti,  dan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), serta masih banyak lagi.

Sementara Prabowo selagi menjabat jenderal diduga terlibat dalam penculikan aktivis 1998, Operasi Militer di Irian 1995, Tragedi Trisakti 1998, dan masih banyak lagi. Hal ini tertuang juga dalam dokumen Dewan Kehormatan Perwira (DKP) nomor KEP/03/VII/1998/DKP tertanggal 24 Juli 1998 yang menyatakan Prabowo bersalah karena memerintahkan penangkapan dan penahanan aktivis. Kemudian empat bulan setelah itu, Presiden B.J.Habibie mengeluarkan surat Keputusan Presiden Nomor 62/ABRI/1998 tentang pemberhentian dengan hormat Prabowo berpangkat Letnan Jenderal dari dinas keprajuritan.

“Dosa-dosa Prabowo ada kesamaan dengan Suharto. Keduanya sama-sama jenderal di masanya, kekuasaanya semakin besar, narasi yang selalu dia gaungkan persatuan rakyat dan sebagainya. Adanya aksi kamisan hari ini merawat ingatan dan menolak lupa terkait pelanggaran HAM yang dilakukan Prabowo dan Suharto,” ujar Fay, aktivis Aksi Kamisan Bandung.

Sama halnya dengan Fay, Nanda, perwakilan mahasiswi, merefleksikan lulusan pendidikan yang kesulitan mencari kerja. Namun anak Joko Widodo, mantan presiden, bisa dengan mudah malenggang ke kursi kekuasaan.

“Keresahan sebagai mahasiswa, lapangan pekerjaan tentang bagaimana sulitnya mencari jobdesk tidak diminimalkan oleh pemerintah. Apakah pemerintahan sudah mengeluarkan kontribusinya dengan baik,” ujar Nanda.

Nanda juga menyayangkan generasi muda yang dianggap oleh pemerintah sebagai pelengkap semata. Menurutnya, orang-orang muda memiliki pandangan-pandangan kritis yang seharusnya didengar oleh pemerintah.-“Kita sudah percaya yang alih fungsi dari tangan oligarki dan kapitalis, kita lihat sekarang dari awal pelantikan, dan lima tahu ke depan,” tutur Nanda.

Baca Juga: Aksi Kamisan Bandung Peringati Kasus Pelanggaran HAM September Hitam
Suara Kritis Aksi Kamisan Bandung terhadap Tiga Pasangan Capres
PAYUNG HITAM #7: 9 Tahun Aksi Kamisan Bandung, Kota Kembang (masih) tidak Ramah HAM

Menolak Suharto Mendapatkan Gelar Pahlawan 

Gerakan Masyarakat Sipil Adili Suharto (Gemas) mengirimkan surat terbuka kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) agar tidak mengusulkan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Suharto, Senin, 4 November 2024.

Desakan tersebut dikarenakan pada 28 September 2024 lalu, Ketua MPR RI periode 2019-2024 mengusulkan kepada pemerintah baru tentang pemberian gelar Pahlawan Nasional tersebut. Hal ini dinilai sebagai upaya penghapusan sejarah dan pemutihan terhadap kejahatan yang dilakukan 32 tahun.

Presiden Suharto dalam catatan Gemas telah melakukan kekerasan terhadap warga sipil, perusakan lingkungan, pelanggaran hak asasi manusia, kekerasan terhadap perempuan, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, serta praktik KKN. Maka, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Suharto harus ditolak.

MPR juga telah mencabut nama Suharto dalam Pasal 4 Ketetapan MPR no.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Gemas menilai, pencabutan nama tersebut merupakan masalah sebab MPR tidak lagi memiliki wewenang untuk mengeluarkan produk hukum setelah adanya Amandemen Undang Undang Dasar (UUD) 1945 setelah reformasi.

“Indonesia tidak akan bisa melangkah maju menjadi lebih baik jika beban dan luka masa lalunya tidak pernah dituntaskan dan diperbaiki,” demikian tulis GEMAS sebagaimana dilansir dari laman resmi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). (https://kontras.org/artikel/tolak-pemberian-gelar-pahlawan-nasional-kepada-soeharto)

Penyerahan surat terbuka oleh Gemas merupakan langkah awal pengawalan demokrasi oleh masyarakat sipil. Pengingkaran kepada kemanusiaan dan demokrasi di Indonesia selama pemerintahan otoriter Orde Baru seharusnya menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia dalam melangkah ke depan.

*Kawan-kawan yang baik silakan membaca tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel tentang Hak Asasi Manusia

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//