• Berita
  • Kamisan Mahasiswa UIN SGD Bandung Menolak Rencana Pemberian Gelar Pahlawan Nasional Kepada Suharto

Kamisan Mahasiswa UIN SGD Bandung Menolak Rencana Pemberian Gelar Pahlawan Nasional Kepada Suharto

Rencana pemerintah memberi gelar pahlawan kepada Suharto menuai penolakan luas dari mahasiswa yang menilai rekam jejaknya sarat pelanggaran HAM.

Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati menggelar aksi Kamisan di Tugu Kujang, Kamis, 6 November 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam8 November 2025


BandungBergerakRencana pemerintah untuk menyematkan gelar pahlawan kepada Suharto, Presiden ke-2 Republik Indonesia yang memimpin selama 32 tahun dalam rezim Orde Baru, menuai penolakan keras dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa. Mereka menilai gelar tersebut tidak pantas disandang, mengingat rekam jejak Suharto yang dinilai penuh dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Di Bandung, mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati menggelar aksi Kamisan di Tugu Kujang, Kamis, 6 November 2025. Aksi ini diisi orasi dan pembacaan puisi yang mengecam rencana pemberian gelar pahlawan kepada Suharto.

Aprilia Ajeng, mahasiswi jurusan Aqidah Filsafat, menilai Suharto yang kekuasaannya dibangun di atas darah rakyat kini justru dijadikan teladan. Baginya, ini adalah langkah mundur karena negara justru memberi penghormatan kepada pelaku kekerasan, sementara para korban dibiarkan hidup dalam kesengsaraan dan pengabaian.

“Sejarah dimanipulasi, luka dibungkus dengan upacara, dan kejahatan dinormalisasi sebagai bagian dari masa lalu yang harus dimaafkan,” ungkapnya.

Aprilia lebih memilih untuk menyerukan pencabutan rencana pemberian gelar pahlawan kepada Suharto dan mendesak aparat untuk membebaskan seluruh tahanan politik serta menghentikan perampasan ruang hidup rakyat.

Alex (bukan nama asli) juga turut membacakan puisi tentang penolakannya terhadap Suharto sebagai pahlawan. Dalam puisinya, Alex menekankan bahwa seorang pelaku pelanggaran HAM tidak layak mendapat gelar pahlawan.

“Ruang hidup mereka diberangus di balik kata pembersihan pikiran. Tolak Suharto menjadi pahlawan nasional,” ujar Alex.

Ia menegaskan, Suharto bertanggung jawab atas genosida terhadap rakyat yang dituduh komunis pasca-Gerakan 30 September 1965. Suharto juga dinilai tidak memenuhi syarat yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Dalam pasal 3, pemberian gelar pahlawan dimaksudkan untuk menghargai jasa seseorang yang mendarmabaktikan diri, menumbuhkan semangat kepahlawanan, dan meneladankan perjuangan bagi masyarakat.

“Dia (Suharto) menghilangkan secara paksa, membungkam, dan membunuh banyak masyarakat Indonesia,” tegasnya.

Baca Juga: Rencana Pemberian Gelar Pahlawan untuk Suharto Terus Menuai Penolakan dari Aktivis HAM
Pengusulan Suharto sebagai Pahlawan Nasional Melukai Amanat Reformasi 1998

Tragedi Dianggap Angka

Rencana pemberian gelar pahlawan kepada Suharto bertolak belakang dengan peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu, salah satunya tentang tragedi 1965. Fay, mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara, menilai korban genosida hanya dianggap sebagai angka, bukan sebagai manusia dengan hak yang harus dihormati.

“Semenjak tragedi genosida 1965 hingga detik ini, lagi-lagi hanya dianggap angka, bukan nyawa manusia,” ujar Fay.

Diva Raya, mahasiswa Ilmu Hukum, juga menyatakan ketidaksetujuannya terhadap rencana tersebut. Ia menyoroti banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi selama masa Orde Baru yang hingga kini belum diselesaikan, seperti kasus perkosaan massal yang terjadi sebelum runtuhnya rezim Suharto.

“Aku sangat amat tidak setuju dengan tegas tentang penyematan gelar pahlawan itu. Karena kita tahu sendiri rezim Suharto itu seperti apa dulu, kediktatorannya, terus pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di masa dia menjabat gitu,” kata Diva.

Ia menambahkan, kasus perkosaan massal yang tak terungkap hingga kini menjadi salah satu alasan besar penolakannya terhadap pemberian gelar pahlawan kepada Suharto.

Mahasiswa lainnya, Ditha Maharani, mengungkapkan bahwa pemberian gelar tersebut sama halnya dengan memperpanjang impunitas di Indonesia. Suharto tidak pernah diadili atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi selama masa pemerintahannya.

“Disayangkan dan juga miris,” ujar Ditha.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//