• Opini
  • Absennya Verifikasi Kausalitas Bukti dalam Putusan Praperadilan Depledero Marhaen

Absennya Verifikasi Kausalitas Bukti dalam Putusan Praperadilan Depledero Marhaen

Kasus Delpedro Marhaen merupakan puncak gunung es dari sebuah praktik yang lebih mengancam substansi demokrasi. Wajah baru dari Legal Repression.

Valeri Jehanu

Dosen Hukum Tata Negara dan Anggota Centre for Human Development and Social Justice (ChuDS) Unpar

Alarm untuk demokrasi. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

8 November 2025


BandungBergerak.id – Putusan Praperadilan Nomor 132/Pid.Pra/2025/PN Jkt.Sel menolak gugatan praperadilan aktivis Delpedro Marhaen. Putusan tersebut penanda bahwa tindakan penyidik dalam proses penetapan tersangka Delpedro telah sesuai hukum.

Putusan ini  lantas memicu diskusi lebih lanjut mengenai kecukupan alat bukti versus penilaian atas kualitas alat bukti. Hakim dalam Putusan Delpedro menilai bahwa yang penting adalah kecukupan alat bukti; bagaimana kualitas serta relevansinya adalah urusan pengadilan selanjutnya dan bukan domain Praperadilan untuk menilainya. Sikap ini mengajak kita untuk menoleh ke belakang pada sejarah Praperadilan yang sejak awal memang menimbulkan perdebatan.

Praperadilan di Indonesia, meskipun dikisahkan terpengaruh Habeas Corpus, nyatanya tidak pernah benar-benar mendekati semangat Habeas Corpus itu sendiri. Untuk memahami mengapa Putusan Praperadilan Delpedro mengambil jalur formalistik, kita perlu meninjau kembali DNA historis lembaga ini.

Secara historis, lembaga Praperadilan di Indonesia, yang diatur dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP, diposisikan sebagai fungsi pengawasan (kontrol horizontal) terhadap tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penegak hukum (Polisi dan Jaksa). Di sinilah letak jurang pemisah fundamentalnya. Habeas Corpus berfokus pada pengujian substansi (sufficient cause) –memastikan bahwa alasan penahanan atau pengekangan kebebasan adalah adil dan berdasar secara faktual. Sebaliknya, ketika diadopsi ke dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP Indonesia, fungsi Praperadilan dipersempit menjadi sangat prosedural (formil).

Praperadilan Indonesia hanya berwenang menguji keabsahan: 1) Penangkapan dan Penahanan; 2) Penghentian Penyidikan atau Penuntutan; dan 3) Permintaan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi. Tujuannya tidak lain hanya memastikan prosedur telah dipenuhi (misalnya, apakah surat perintah sah, apakah batas waktu penahanan diikuti), bukan memastikan materi pokok perkara (substansi) sudah benar, apalagi menguji apakah bukti yang disajikan memiliki hubungan kausalitas yang kuat. Hal inilah yang membuat Praperadilan Indonesia tidak pernah benar-benar mendekati semangat Habeas Corpus murni.

Baca Juga: Merayakan Kematian Demokrasi Keterwakilan
Organisasi Masyarakat Sipil Mendesak Hentikan Kriminalisasi terhadap Delpedro Marhaen dan Aktivis Prodemokrasi Lainnya
Jangan Biarkan Demokrasi Indonesia di Tepi Jurang

Dilema Kecukupan Alat Bukti

Kritik terbesar terhadap Praperadilan adalah bahwa ia membiarkan penetapan tersangka hanya berdasarkan kecukupan alat bukti (voldoende bewijs) tanpa adanya penilaian kualitas atau relevansi kausalitas dari bukti tersebut. Dilema ini kemudian mengemuka dalam kasus-kasus besar yang menarik perhatian publik, di mana penetapan tersangka sering kali menjadi alat politik untuk merampas kebebasan. Penyidik hanya perlu menunjukkan dua alat bukti yang sah –meskipun bukti tersebut dipaksakan dan tidak logis secara kausal.

Perdebatan ini kemudian mencapai puncaknya pada 2015 melalui Putusan Praperadilan Nomor 04/Pid.Pra/2015/PN Jkt.Sel oleh Hakim Sarpin Rizaldi yang mengabulkan gugatan Praperadilan dari Komjen Budi Gunawan. Putusan tersebut secara kontroversial memperluas objek Praperadilan ke penetapan tersangka. Meskipun awalnya ditentang (karena memberi ruang bagi koruptor untuk menganulir status tersangka), perluasan ini kemudian dikuatkan secara konstitusional oleh Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014. Secara subtantif, Putusan MK mewajibkan Praperadilan menjadi filter kualitas bukti –bukan sekadar penghitung kecukupan bukti– hal ini penting guna memastikan tidak ada due process yang dilanggar.

Meskipun telah ada perluasan wewenang oleh MK yang dapat didayagunakan untuk meninjau kualitas bukti dalam Praperadilan Delpedro, nyatanya jalan yang dipilih justru kembali ke tafsir yang formalistik dan prosedural. Hakim Praperadilan menolak menguji dua hal yang krusial dalam penetapan tersangka Delpedro.

Pertama adalah tentang kausalitas logis dari alat bukti yang digunakan. Praperadilan dalam hal ini menolak menguji relevansi kausalitas logis dari minimal dua alat bukti yang diajukan. Dalih klasiknya: "Ini adalah materi pokok perkara dan bukan kompetensi absolut Praperadilan." Pernyataan ini adalah tragedi hermeneutika di meja hijau. Dalam studi perbandingan hukum menolak uji kausalitas di tahap penetapan adalah bentuk hermeneutika yang kaku –sebuah teknik tafsir yang sempit dan literal terhadap KUHAP– yang secara efektif melucuti substansi Putusan MK.

Kedua adalah pengabaian prosedural. Sikap formalistik juga terlihat dari kegagalan lembaga Praperadilan untuk menuntut akuntabilitas Polisi terhadap persyaratan due process yang diatur oleh Undang-Undang. Dalam putusannya, lembaga Praperadilan telah mengabaikan kritik terhadap urutan penetapan tersangka yang mendahului pemeriksaan sebagai calon tersangka. Lembaga Praperadilan gagal menuntut penjelasan mengenai itikad baik (bona fides) dan urgensi pemangkasan hak Delpedro untuk didengar (audi et alteram partem) sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Kegagalan ini juga tampak dari tidak optimalnya lembaga Praperadilan dalam menuntut akuntabilitas forensik yang ketat atas bukti digital (UU ITE) dan tidak memverifikasi kepatuhan terhadap pendampingan saksi anak (UU SPPA). Kegagalan ini berarti menerima bukti yang cacat formil dan rentan terhadap manipulasi.

Sikap menahan diri Hakim (judicial self-restraint) dalam perkara ini memang dapat dipandang sebagai jalan aman bagi Hakim. Trauma masa lalu (Sarpin Effect yang berujung pada sanksi etik) telah menciptakan budaya di mana penafsiran hukum yang progresif dianggap berisiko terhadap karier. Sebagai konsekuensinya, alih-alih mengambil risiko untuk melindungi hak tersangka, Hakim memilih untuk mengafirmasi temuan penyidik –yaitu bahwa dua alat bukti sudah cukup secara jumlah.

Dengan membatasi diri pada kecukupan alat bukti, Putusan Delpedro secara institusional melegitimasi konstruksi delik dengan penafsiran luas. Putusan tersebut juga membuka pintu bagi perluasan jangkauan penerapan delik yang membahayakan kebebasan berekspresi.

Persidangan Lanjutan: Arena Pragmatisme

Kegagalan di Praperadilan bukan berarti akhir. Persidangan pidana yang akan datang adalah medan pertempuran yang berbeda sekaligus menjadi ujian sesungguhnya bagi independensi dan keberanian Hakim.

Sebagai sebuah arena diskursus, persidangan pidana akan mempertemukan narasi negara (Jaksa) yang menekankan "ketertiban umum" dan narasi pembela (Delpedro) yang menekankan "hak konstitusional". Meski demikian, arena diskursus ini sering kali dikalahkan oleh realitas pahit. Pengalaman kasus-kasus sensitif yang melibatkan kritik dan ekspresi menunjukkan bahwa ada kecenderungan Hakim untuk mengabaikan akar persoalan.

Hakim sering kali memprioritaskan dampak sosial, stabilitas, atau ketertiban umum di atas pengujian niat jahat (mens rea) dan hak konstitusional terdakwa. Sebagai contoh, meskipun kasus Haris Azhar dan Fatiah Maulidiyanti berujung pada pembebasan, perjalanannya yang panjang menunjukkan betapa mudahnya Penuntut Umum (PU) menggunakan pasal karet ITE untuk mengalihkan fokus dari pengawasan publik oleh warga (yang merupakan hak konstitusional) menjadi persoalan pidana. Di tingkat pengadilan, fokus Hakim sering kali bergeser ke pertanyaan: "Apakah kritik ini mengganggu?" daripada "Apakah kritik ini sah secara konstitusional?" Kecenderungan ini akan menjadi tantangan utama persidangan Delpedro sebab Majelis Hakim akan didorong untuk melihat gangguan ketertiban umum (pelajar yang membawa senjata) sebagai justifikasi untuk membenarkan dakwaan.

Konstruksi dakwaan dari Penuntut Umum (PU) kemungkinan besar akan bersandar pada legalitas formal yang telah diamini oleh Putusan Praperadilan. Artinya, PU akan berargumen bahwa kecukupan minimal dua alat bukti telah terpenuhi dan fokus harus segera bergeser pada dampak (keonaran, hasutan) yang terjadi di lapangan.

Di sinilah ujian bagi Majelis Hakim kelak. Satu sisi, formalisme memang harus dihormati, namun di lain sisi tugas Hakim adalah menafsirkan aturan formal secara substantif –menggunakan legal reasoning yang baik dan konsisten. Dalam kasus yang mengancam kebebasan berekspresi seperti kasus Delpedro, penafsiran substantif menuntut agar Hakim menguji kualitas dan kausalitas bukti dan terpenuhinya delik secara ketat.

Untuk mencapai keadilan substantif, Hakim dituntut menguji dua pilar kelemahan fundamental dalam pasal yang dikenakan pada Delpedro.

Pertama, ada tidaknya niat jahat (Mens Rea). Hakim harus berfokus pada esensi niat, alih-alih hanya terpaku pada dampak yang dipermudah oleh konstruksi dakwaan yang menggunakan pasal karet. Dengan kata lain, Hakim harus didorong untuk menggali apakah konten Delpedro berada dalam koridor hak berpendapat, dan bahwa niat kriminal –baik untuk hasutan, keonaran, maupun eksploitasi anak– tidak pernah secara sah terpenuhi.

Kedua, putusnya tali kausalitas pidana. Hakim wajib didorong untuk menimbang dan membuktikan secara meyakinkan bahwa tindakan kriminal spesifik yang dilakukan oleh para pelajar dalam aksi demonstrasi adalah variabel yang independen dan tidak memiliki hubungan kausalitas langsung yang sah dengan konten yang dipublikasikan Delpedro. Tugas Hakim adalah menolak asumsi simplistis yang disajikan penyidik demi merangkai sebuah sangkaan, dan sebaliknya menuntut pembuktian kausalitas yang ketat.

Persidangan Delpedro selanjutnya adalah pertarungan untuk membuktikan apakah badan peradilan mampu menjalankan tugas konstitusionalnya: menggunakan formalisme sebagai jembatan menuju keadilan substantif, bukan sebagai tembok penghalang.

Kemunduran Demokrasi

Kasus Delpedro, bersama kasus-kasus lain di mana postingan media sosial menjadi dasar penetapan tersangka, sejatinya merupakan puncak gunung es dari sebuah praktik yang lebih mengancam substansi demokrasi. Fenomena ini adalah wajah baru dari Legal Repression.

Dalam negara yang baru mekar dari otoritarianisme, represi tidak lagi tampil dengan tank dan peluru, melainkan bersembunyi di balik lembaran undang-undang dan palu sidang. Praktik ini menunjukkan bagaimana aparat penegak hukum menetapkan seseorang sebagai tersangka melalui patroli siber –bermodalkan bukti yang kausalitasnya belum teruji, dan diikat pada delik pidana yang multi-tafsir– yang pada dasarnya bermaksud membaca kritik sebagai kejahatan. Inilah bentuk penyalahgunaan hukum yang paling berbahaya: menggunakan keabsahan proses pidana untuk tujuan yang tidak adil.

Pengalaman negara-negara pasca-otoriter seperti yang terjadi di Eropa Timur atau Amerika Latin menunjukkan bahwa proses ini adalah metode paling efektif untuk mencapai penyempitan ruang sipil (Civic Space Shrinkage). Hukum dalam situasi itu tidak lagi berfungsi sebagai pagar pelindung hak warga negara, melainkan beralih menjadi alat tempur yang senyap, ditembakkan ke jantung kebebasan berekspresi untuk menciptakan efek mencekik (Chilling Effect). Ruang untuk berpendapat dan mengkritik, yang merupakan oksigen bagi demokrasi, kian terkikis di bawah bayang-bayang ancaman pidana.

Kasus Delpedro dengan demikian adalah penanda bagi fase ketika demokrasi kita yang masih rentan dan mulai menunjukkan gejala kemunduran (Democratic Backsliding). Dalam situasi ini, lembaga peradilan ditantang untuk berjuang melawan insting pragmatisme yang mematikan keadilan.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//