Jangan Biarkan Demokrasi Indonesia di Tepi Jurang
Legitimasi politik tidak hanya ditentukan oleh siapa yang berkuasa, tetapi juga oleh seberapa besar kepercayaan rakyat pada institusi negara.

Herlin Septiani
Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Universitas Pasundan (Unpas) Bandung
16 September 2025
BandungBergerak.id – Indonesia sedang menghadapi krisis kepercayaan yang serius. Korupsi merajalela, lembaga pengawas dilemahkan, dan militer tetap berada di bawah kendali penuh presiden tanpa mekanisme pengawasan yang memadai. Di saat yang sama, rakyat Nepal menunjukkan dinamika yang berbeda, pejabat mundur karena tekanan publik, dan banyak rakyat yang melihat keterlibatan militer sebagai hal yang lebih baik dibanding dipimpin oleh pejabat korup, setidaknya untuk sementara waktu sebagai peredam kekacauan dan peluang perubahan. Perbandingan ini memberi pelajaran penting, yaitu tanpa perbaikan sistem, demokrasi Indonesia dapat kehilangan arah dan kembali ke masa kelam.
Indeks Persepsi Korupsi 2024 menempatkan Indonesia pada skor 37/100 dengan peringkat 99 dari 180 negara. Data ini sejalan dengan kenyataan di lapangan, seperti kasus pengadaan Chromebook di Kementerian Pendidikan yang merugikan negara miliaran rupiah dan dugaan korupsi triliunan rupiah di sektor energi menunjukkan pola berulang dalam pengelolaan proyek publik.
Kondisi ini menandakan bahwa korupsi di Indonesia tidak lagi bersifat individual, melainkan sistemik. Mekanisme pengadaan barang dan jasa hingga pengelolaan BUMN kerap menjadi sarana memperkaya elite. Dalam pandangan saya, korupsi yang sistemik ini membuat rakyat menanggung dua kali kerugian, pertama, melalui uang pajak yang hilang dan kedua, melalui layanan publik yang buruk. Selama praktik ini dianggap “normal” dalam politik, pembangunan hanya akan menjadi jargon yang kosong.
KPK pernah menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi, membongkar kasus besar seperti e-KTP dan operasi tangkap tangan kepala daerah. Namun, setelah revisi UU No.19 Tahun 2019, independensi KPK melemah. Penyadapan harus mendapat izin Dewan Pengawas, pegawai dijadikan ASN, dan ruang geraknya semakin terbatas.
Dampaknya nyata, kasus-kasus besar jarang lagi terungkap, sementara kepercayaan publik terhadap lembaga ini menurun.
Pelemahan KPK adalah langkah sadar dari elite politik untuk mengendalikan lembaga yang semula menjadi ancaman bagi kepentingan mereka. Jika kondisi ini dibiarkan, KPK hanya akan menjadi simbol formal, tanpa kapasitas substantif untuk memberantas korupsi. Hal ini sama saja dengan melemahkan benteng terakhir rakyat terhadap perampokan uang negara.
Konstitusi menegaskan bahwa Presiden adalah Panglima Tertinggi TNI hal ini terdapat dalam Pasal 10 UUD 1945, sebagaimana diatur lebih lanjut dalam UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI. Struktur ini menempatkan kendali penuh militer di tangan Presiden. Dalam keadaan darurat, keputusan penggunaan TNI sepenuhnya bergantung pada eksekutif, dengan mekanisme pengawasan yang lemah.
Sejarah membuktikan potensi bahayanya. Peristiwa 1998 meninggalkan trauma mendalam, ketika aparat bersenjata digunakan untuk menekan rakyat yang menuntut perubahan. Posisi militer yang sepenuhnya di bawah kendali Presiden tanpa keseimbangan kekuasaan merupakan risiko serius bagi demokrasi. Tanpa check and balance yang kuat dari parlemen maupun lembaga yudikatif, peluang penyalahgunaan wewenang akan selalu terbuka.
Baca Juga: Demokrasi Eceran, Elite Grosiran
Demonstran Remaja dan Demokrasi Indonesia
Maraton, Bukan Sprint: Saat Rakyat Bergerak Menuntut Keadilan
Belajar dari Situasi di Nepal
Apa yang terjadi di Nepal, menjadi cermin bagi Indonesia. Nepal pada 2025 menghadapi krisis politik besar. Pejabat tinggi mengundurkan diri akibat tekanan publik, dan militer turun ke jalan. Anehnya, rakyat tidak gentar, karena tentara dianggap berada di pihak mereka, bukan rezim. Untuk sementara, hal ini menenangkan situasi, meski risiko intervensi militer terhadap politik tetap ada.
Bukti terkini menunjukkan bahwa Gen Z di Nepal mengorganisir demonstrasi hebat menolak korupsi, nepotisme, dan pembatasan akses media sosial. Demonstrasi ini menyebabkan ratusan cedera, puluhan tewas, dan pengunduran diri Perdana Menteri KP Sharma Oli. Angkatan Darat Nepal kemudian mengerahkan pasukan dan memberlakukan jam malam serta larangan berkumpul untuk memulihkan keamanan, sambil menjalin dialog dengan para pemimpin protes, termasuk kesiapan untuk mendukung pembentukan pemerintahan sementara yang dianggap representatif. Banyak pemrotes, meskipun muak dengan penggunaan kekerasan sebelumnya, melihat keterlibatan militer sebagai penyelamat sementara yang menghentikan kekacauan dan memberi ruang bagi aspirasi publik untuk didengar.
Perbandingan ini memberi pelajaran bahwa dalam situasi di mana pejabat korup gagal menjalankan amanah dan menimbulkan kerusuhan, kehadiran militer –meskipun dianggap kontroversial– bisa menawarkan alternatif sementara yang relatif lebih stabil dibanding terus diperintah oleh elite yang mencuri kepercayaan publik. Contoh Nepal memperlihatkan bahwa ketika korupsi sudah sistemik dan pejabat menolak mundur, militer bisa menjadi aktor yang dipandang lebih netral oleh rakyat jika memang di tengah kehancuran moral pemerintahan sipil. Namun tentu bukan solusi permanen, karena legitimasi hanya datang jika militer menjauh dari politik setelah restore order, dan bukan sebaliknya.
Bagi Indonesia, pelajaran yang bisa dipetik jelas, yaitu legitimasi politik tidak hanya ditentukan oleh siapa yang berkuasa, tetapi juga oleh seberapa besar kepercayaan rakyat pada institusi negara. Bedanya, rakyat Indonesia masih trauma terhadap militer akibat represi 1998. Oleh karena itu, menyerahkan peran politik kepada TNI bukanlah pilihan.
Solusi bagi Indonesia adalah memperkuat demokrasi sipil, mengembalikan independensi KPK, membuka transparansi penuh dalam pengelolaan anggaran, menindak koruptor tanpa kompromi, dan memastikan militer hanya menjalankan fungsi pertahanan negara. Jika langkah-langkah ini tidak ditempuh, demokrasi Indonesia akan terus terkikis, dan tragedi 1998 bukan lagi sekadar kenangan sejarah, melainkan ancaman nyata yang bisa terulang.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB