Maraton, Bukan Sprint: Saat Rakyat Bergerak Menuntut Keadilan
Hingga tenggat waktu Tuntutan 17+8 yang ditetapkan pada 5 September 2025, sebagian besar tuntutan yang menyangkut reformasi fundamental diabaikan.

Ilham Muhar Danny
Sarjana Ilmu Politik dari Universitas Pasundan (Unpas)
15 September 2025
BandungBergerak.id – Pada satu hari yang cerah di Bandung, di kuartal akhir tahun 2024, saya berkesempatan menghadiri sebuah acara yang dipimpin oleh seorang jurnalis favorit. Di sana, saya bertanya tentang bagaimana menjaga idealisme di tengah represi. Jawabannya sederhana, namun membekas: "Dalam dunia jurnalisme dan pers, kita maraton, bukan sprint. Di maraton, kita tidak harus selalu sprint. Kita harus siapkan energi dengan lari pelan agar dapat mencapai garis finish. Terkadang kita harus rehat sejenak di checkpoint. Intinya adalah bagaimana kita menang, tanpa harus terburu-buru."
Nyaris setahun berlalu, kata-kata itu terasa begitu relevan dengan apa yang terjadi di negara kita dalam kurun waktu dua minggu terakhir. Kita menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana pemerintah secara terang-terangan mempermainkan rakyat. Mereka berbuat seenaknya, seolah mengindikasikan bahwa seburuk apa pun yang mereka lakukan, rakyat tidak dapat berkutik. Namun, mereka salah besar.
Rakyat dari banyak penjuru di Indonesia bersuara, menuntut keadilan. Mereka meminta pejabat yang menyepelekan rakyat untuk mengundurkan diri dan menuntut aparat yang opresif bertanggung jawab atas segala kekerasan. Kekerasan mengorbankan setidaknya 10 nyawa teman sebangsa, termasuk Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang berjuang di jalanan demi menghidupi keluarganya. Kematian tragisnya menjadi simbol ironi betapa rakyat sipil yang tidak bersalah bisa menjadi korban dari pihak yang seharusnya melindungi. Demonstrasi masif di jalanan dan seruan kencang secara online menunjukkan betapa ketidakpuasan ini tidak bisa lagi dibungkam.
Baca Juga: Kota dan Barakuda: Bagaimana Kekerasan Simbolis Bekerja
Demokrasi Eceran, Elite Grosiran
Demonstran Remaja dan Demokrasi Indonesia
Komunikasi Politik yang Kacau dan Kesenjangan Institusi Ekstraktif
Kegagalan pemerintah dalam menanggapi gelombang protes ini bukan hanya soal ketidakmampuan, melainkan juga masalah mendasar dalam cara mereka mengelola kekuasaan. Menggunakan kacamata komunikasi politik dari Hafied Cangara dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Politik: Konsep, Teori dan Strategi, kita bisa melihat bagaimana pemerintah telah gagal secara fundamental dalam menjalankan fungsinya. Pernyataan yang tidak kredibel dan tidak berempati dari para pejabat menunjukkan ketidakpedulian dan memperlebar jurang kepercayaan. Pola komunikasi yang defensif dan reaksioner ini membuktikan bahwa pemerintah belum siap menghadapi kritik dan tidak memiliki keinginan tulus untuk mendengarkan.
Kegagalan ini juga diperparah oleh praktik pembuatan kebijakan yang tidak transparan dan tidak melibatkan partisipasi publik yang substansial. Pemerintah seolah-olah menganggap kebijakan adalah urusan internal elit, bukan hasil diskusi bersama dengan rakyat yang akan terdampak. Keputusan-keputusan penting dibuat di balik pintu tertutup, menciptakan rasa ketidakpercayaan yang mendalam di kalangan masyarakat. Hal ini menunjukkan pemerintah telah kehilangan akal sehat untuk berdiskusi dengan masyarakat sebagai representasi yang sah.
Puncak dari kesenjangan ini adalah ketidakadilan yang menyakitkan. Di saat kondisi ekonomi melemah dan jutaan rakyat berjuang untuk bertahan hidup, kita justru menyaksikan berita tentang kenaikan tunjangan para anggota DPR –sebuah tindakan yang tidak hanya kontradiktif, tetapi juga melukai hati nurani publik dan memperkuat narasi bahwa para elite hidup dalam gelembung privilese, terlepas dari penderitaan rakyat yang mereka wakili.
Ketidakadilan dan kesenjangan ini membawa kita pada relevansi pemikiran dua ekonom peraih Nobel, Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam buku mereka yang berjudul Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty. Premis utama buku ini menyatakan bahwa negara gagal bukan karena faktor geografis atau budaya, tetapi karena sistem politik dan ekonomi yang bersifat ekstraktif. Sistem ekstraktif adalah sistem yang dirancang untuk menguntungkan segelintir elite dan menindas mayoritas rakyatnya.
Dalam hampir satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, tanda-tanda kemunduran demokrasi dan ekonomi semakin tampak. Alih-alih membangun sistem yang inklusif dan berbasis transparansi, pemerintahan saat ini justru mengambil langkah-langkah yang menguatkan oligarki dan memperlemah kontrol publik terhadap kebijakan negara. Pemotongan anggaran publik yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas, pembentukan badan investasi kontroversial yang transparansinya diperdebatkan, penguatan elite ekonomi-politik melalui kebijakan sektoral, hingga tindakan represif terhadap suara kritis –semuanya semakin menyeret Indonesia ke dalam pola negara dengan institusi ekstraktif, relevan dengan pemaparan Acemoglu dan Robinson.
Kriminalisasi, Represi dan Tuntutan yang Diabaikan
Di tengah gelombang protes, respons pemerintah semakin represif. Kita melihat puncak dari arogansi kekuasaan: kriminalisasi terhadap aktivis dan pembela hak asasi manusia. Kasus Delpedro Marhaen, Direktur Lokataru Foundation, adalah contoh paling nyata. Ia ditangkap dan dijadikan tersangka dengan tuduhan "penghasutan" hanya karena mengunggah sebuah poster di media sosial yang menawarkan dukungan bagi pelajar yang diancam sanksi karena ikut demonstrasi. Ini adalah tindakan yang mengkhawatirkan, di mana pembelaan terhadap hak sipil justru dianggap sebagai kejahatan.
Tidak hanya kriminalisasi, represi aparat juga mencapai tingkat yang meresahkan dan tidak masuk akal. Kasus penembakan gas air mata di kampus Unisba dan Unpas adalah contoh terang-terangan dari hal ini. Meskipun kampus adalah area bebas dari tindakan kekerasan, aparat justru melakukan penyerangan dengan menembakkan gas air mata. Yang lebih ironis dan menunjukkan arogansi kekuasaan adalah klaim polisi bahwa gas air mata tersebut masuk ke dalam kampus karena "tertiup angin," padahal banyak rekaman video yang jelas-jelas menunjukkan aparat menembakkan gas air mata secara langsung ke arah pintu gerbang dan dalam lingkungan kampus. Pernyataan ini tidak hanya menunjukkan kebohongan publik, tetapi juga ketiadaan akuntabilitas dan rasa malu dari pihak berwenang.
Lebih dari itu, kita juga menyaksikan bagaimana demonstran diculik, ditangkap dan dipukuli secara brutal. Para demonstran yang hanya ingin menyuarakan aspirasi mereka diperlakukan layaknya penjahat. Mereka diseret, dipukuli dan disekap, seolah-olah hak untuk berpendapat adalah sebuah kejahatan. Peristiwa-peristiwa ini, bersamaan dengan kekerasan yang mengakibatkan korban jiwa, adalah bukti nyata bahwa pemerintah telah gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai pelindung rakyat.
Pada akhirnya, hingga tenggat waktu Tuntutan Rakyat 17+8 yang ditetapkan pada 5 September 2025, kita tidak mendapatkan keadilan itu secara utuh. Waktu yang diberikan oleh rakyat seolah-olah hanya cubitan kecil bagi seekor gajah. Tuntutan-tuntutan vital yang menyangkut reformasi fundamental sebagian besar diabaikan. Presiden belum menarik TNI dari pengamanan sipil, polisi belum membebaskan demonstran yang ditahan, dan tidak ada sanksi hukum bagi pelaku pelanggaran HAM. Sementara itu, tuntutan yang dikabulkan seperti pembekuan kenaikan gaji anggota DPR dan publikasi anggaran dewan hanyalah respons simbolis yang tidak menyentuh akar masalah. Ini adalah bukti nyata bahwa para pemegang kekuasaan hanya bersedia memberikan konsesi kecil demi meredam amarah, sementara tuntutan substansial yang dapat mengikis kekuasaan mereka sama sekali diabaikan.
Meskipun respons pemerintah mengecewakan, ini bukanlah akhir dari perjuangan. Ini adalah pertanda baik –kita melihat rakyat yang peduli dan cinta dengan tanah airnya bersatu untuk membela kemaslahatan bersama. Sudah sepatutnya kita menuntut keadilan. Sudah sepatutnya kita menuntut agar dapat merasakan rasa aman.
Perjuangan kita tidak berhenti di sini: kita sedang dalam maraton, bukan sprint. Jalan kita masih panjang. Jangan menyerah. Jangan merasa ini sudah usai. Mari kita tetap tuntut dan awasi kinerja pemerintah. Sampai menang!
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB