• Opini
  • Kota dan Barakuda: Bagaimana Kekerasan Simbolis Bekerja

Kota dan Barakuda: Bagaimana Kekerasan Simbolis Bekerja

Kekerasan simbolis adalah pemaksaan sistem makna oleh kelompok dominan sehingga kelompok subordinat menerimanya sebagai sesuatu yang sah, bahkan alamiah.

Jejen Jaelani

Dosen di Institut Teknologi Sumatera, penulis buku Semiotika Kota: Pertarungan Ideologis di Ruang Urban

Menggunakan instrumen militer untuk membina warga sipil adalah langkah mundur demokrasi. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

8 September 2025


BandungBergerak - Malam mencekam. Kota seakan-akan sedang di dalam kondisi perang. Kendaraan taktis militer semacam barakuda, yang selama ini tidak pernah muncul di ruang kot, tiba-tiba dikerahkan untuk berkeliling kota. Aparat bersenjata berduyun-duyun melakukan patroli. Mereka dilengkapi senjata dan alat perlindungan tubuh yang asing dan menakutkan bagi warga sipil. Apel dan patroli pasukan gabungan secara masif dilakukan dengan dalih untuk mengantisipasi potensi aksi “anarkis”.

Kota menjadi arena parade kekuatan atas nama upaya untuk memberikan rasa aman bagi warga. Aparat dapat mengusir, membubarkan, dan bahkan menahan siapa saja warga yang berada di jalan-jalan atau di ruang-ruang publik kota. Tindak represif dapat dilakukan kepada warga sipil yang beraktivitas di ruang-ruang kota.

Parade aparat keamanan secara besar-besaran di ruang kota dan pendefinisian ulang apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan warga sipil di ruang kota, merupakan bentuk kekerasan simbolis. Rasa aman didefinsikan berdasarkan standar dan cara pandang aparat keamanan. Warga sipil dianggap sebagai gangguan dan ancaman. Warga dianggap tidak seharusnya berada di jalan-jalan atau ruang-ruang publik kota.

Patroli sebagai Kekerasan Simbolis

Selama ini, kekerasan seringkali diasosiasikan dengan tindak refresif yang bersifat fisik. Kekerasan seringkali dipersepsi atau bahkan ditempatkan sebagai tindakan aktif berupa sanksi, hukuman, atau intervensi yang melibatkan fisik. Kekerasan direduksi menjadi hanya sebatas kekerasan fisik yang berbekas, memiliki bukti, dan bahkan harus ada saksi.  

Kekerasan yang bersifat simbolis seringkali luput dari perhatian. Kekerasan jenis ini kemudian menjadi sangat sulit untuk diproses secara hukum. Kekerasan simbolis adalah pemaksaan sistem makna (nilai, norma, harapan) oleh kelompok dominan terhadap kelompok subordinat sehingga kelompok yang didominasi menerima dominasi tersebut sebagai sesuatu yang sah, bahkan alamiah. Thompson di dalam Studies in the Theory of Ideologis (1984) menjelaskan bahwa seluruh bentuk “dominasi simbolik” mensyaratkan sejenis keterlibatan baik berupa ketundukan pasif dari paksaan internal atau kebebasan mengadopsi nilai-nilai dominan.

Dengan menggunakan konsep Pierre Bourdieu tentang kekerasan simbolis, kita dapat melihat bahwa keberadaan patroli kendaraan militer dan personel aparat keamanan di ruang kota merupakan satu bentuk kekerasan simbolis. Kekerasan simbolis patroli militer di ruang kota ini mengacu pada cara-cara dan upaya-upaya untuk menghadirkan kekuatan militer di ruang publik kota yang berupaya dinormalisasi dan dilegitimasi sebagai cara untuk memberikan rasa aman kepada warga. Jika dibaca menggunakan konsep Bourdieu, kehadiran angkatan bersenjata di lingkungan perkotaan ini merupakan upaya untuk mengomunikasikan dominasi, kontrol, dan eksklusi, bahkan tanpa harus melibatkan kekerasan fisik. Aparat keamanan mendefinisikan ulang bagaimana ruang kota yang dianggap aman, siapa saja yang berhak beraktivitas di ruang kota, siapa saja yang dianggap sebagai ancaman, dan apa yang dianggap normal atau tidak normal di ruang-ruang tersebut.

Pengerahan kekuatan aparat keamanan di ruang kota ini membentuk persepsi, perilaku, dan makna ruang kota bagi warga. Otoritas keamanan bersama-sama dengan otoritas pemerintahan melakukan legitimasi bahwa keberadaan kekuatan aparat keamanan di ruang kota ini merupakan hal yang "normal", "perlu", dan bahkan “niscaya”. Keberadaan kekuatan aparat keamanan ini kemudian pada titik tertentu membentuk ketakutan bagi warga. Akan tetapi, ketakutan ini kemudian diinternalisasi sebagai bagian dari dinamika kehidupan kota oleh warga karena warga takut mengalami konfrontasi berupa kekerasan represif atau bahkan penangkapan secara acak.

Keberadaan aparat keamanan yang menggunakan seragam, senjata, kendaraan taktis, dan menunjukkan formasi di ruang publik menandakan bagaimana kekuasaan dan hierarki secara simbolis berupaya dibentuk di ruang kota. Patroli aparat keamanan di ruang sipil, baik di masa damai ataupun pada masa terjadinya unjuk rasa, bukan sekadar langkah pengerahan logistik atau keamanan. Patroli aparat keamanan ini merupakan tindakan simbolis yang berupaya mendefinisikan atau meredefinsikan ruang kota sebagai zona pengawasan, disiplin, dan potensi konflik.

Tentu keberadaan kekuatan aparat keamanan di ruang-ruang publik kota mengganggu dan mengubah ritme kehidupan dan aktivitas warga sipil. Warga yang seharusnya bebas melakukan berbagai aktivitas untuk memenuhi kebutuhan pokok, pendidikan, psikologis, hiburan, olahraga, dan berbagai aktivitas lainnya didorong untuk mengubah ritme aktivitas mereka. Orang-orang yang memiliki mata penghidupan di malam hari harus mengatur ulang bagaimana mereka melakukan usaha atau aktivitas kerja mereka. Mereka harus menghindari beraktivitas di ruang-ruang yang didefinisikan sebagai wilayah rawan konflik atau wilayah rawan tindakan anarkis oleh aparat keamanan. Dengan demikian, penggunaan ruang di wilayah-wilayah kota berubah. Selain itu, bahkan di dalam kondisi tidak terjadi apa-apa, warga merasa diawasi dan takut.

Patroli yang dilakukan secara rutin di wilayah-wilayah tertentu di ruang kota menciptakan kesan bahwa kehadiran aparat keamanan secara besar-besaran adalah hal yang diperlukan atau bahkan keharusan sebagai upaya untuk menciptakan rasa aman bagi warga kota. Kondisi ini mengaburkan batas antara kondisi kacau dan damai. Secara visual, keberadaan pengerahan aparat keamanan secara besar-besaran dengan menggunakan kendaraan taktis, senjata lengkap, dan jumlah yang banyak menciptakan dampak psikologis yang besar. Dominasi visual seragam, senjata, dan formasi menimbulkan rasa takut atau kepatuhan. Warga pada akhirnya tidak memiliki pilihan lain selain apa yang telah didefinisikan oleh aparat keamanan.

Pada masa terjadinya unjuk rasa, para pengunjuk rasa dibingkai sebagai ancaman terhadap ketertiban dan keamanan. Keberadaan para pengunjuk rasa yang berasal dari berbagai elemen direduksi hanya sebatas untuk mahasiswa saja. Aparat keamanan mendefinisikan ulang bahwa unjuk rasa hanya diperbolehkan untuk mahasiswa dan hanya mahasiswa yang boleh melakukan unjuk rasa. Hal ini mereduksi keberadaan berbagai elemen yang menjadi bagian penting di dalam aksi-aksi penyampaian pendapat.

Reduksi ini mengakibatkan penyampaian pendapat di ruang publik menjadi aktivitas yang hanya dapat dilakukan hanya oleh mahasiswa dengan waktu dan ruang yang juga ditentukan. Padahal undang-undang menjamin bahwa setiap warga negara berhak untuk berkumpul dan menyampaikan pendapatnya di ruang demokrasi dengan ruang dan waktu yang juga tidak terbatas. Kehadiran pasukan aparat keamanan juga menandakan bahwa perbedaan pendapat tidak hanya tidak diinginkan, tetapi juga juga berbahaya.

Baca Juga: Lupakan Teras Cihampelas
Kota dan Ruang Bermain

Propaganda

Di dalam kondisi seperti ini, terdapat kuasa simbolis bahwa negara memiliki kota, dan tantangan apa pun terhadap otoritasnya akan dihadapi bukan hanya dengan kekerasan, tetapi dengan pendefinisian ulang fungsi ruang publik. Pesan ini kemudian direplikasi dan disebarluaskan melalui propaganda yang dilakukan melalui berbagai saluran, seperti obrolan-obrolan, media konvensional, media sosial, dan berbagai saluran lain. Propaganda ini berupaya mengondisikan bahwa kota berada di dalam kondisi gawat atau darurat, bahwa kekerasan dan kekacauan dilakukan oleh kelompok-kelompok anarkis, bahwa ada kekuatan dan aliran dana asing yang membiayai terjadinya aksi unjuk rasa, dan bahwa aparat keamanan datang sebagai juru selamat yang akan menstabilkan kondisi kota. Aparat keamanan ditempatkan sebagai juru selamat yang akan memberikan rasa aman kepada warga.

Propaganda diproduksi dan direproduksi untuk mengondisikan ruang kota seakan-akan di dalam kondisi yang gawat. Kondisi ini kemudian menjadi legitimasi untuk keberadaan aparat gabungan dengan kekuatan besar di ruang-ruang kota. Lambat laun hal ini akan diinternalisasi seakan-akan ini adalah hal yang normal bagi ruang kota. Demikianlah kekerasan simbolis terjadi dan mengubah konfigurasi ruang kota kita.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//