• Opini
  • Kota dan Ruang Bermain

Kota dan Ruang Bermain

Ruang kota seharusnya menjadi ruang yang dapat diakses oleh siapa pun dan kapan pun untuk melakukan berbagai aktivitas.

Jejen Jaelani

Dosen di Institut Teknologi Sumatera, penulis buku Semiotika Kota: Pertarungan Ideologis di Ruang Urban

Aksi para skaters Bandung saat bermain di atas papan beroda, 2024. (Foto: Andi Rafli Alim Rimba Sose/BandungBergerak.id)

11 April 2025


BandungBergerak.id – Di sebuah ruas jalan yang tidak terlalu ramai, anak-anak bermain sepakbola dengan menggunakan bola plastik. Gawang dibuat di dua ujung jalan dengan menggunakan tumpukan sandal. Anak-anak membagi tim menjadi dua sesuai dengan kesepakatan, bisa karena kedekatan personal atau pemerataan ukuran anggota tubuh. Yang penting terdapat dua tim dengan jumlah dan ukuran yang hampir merata.

Di kerumunan tersebut, anak-anak berlari, menendang bola, tertawa, dan saling melemparkan teriakan satu sama lain. Sesekali permainan harus mereka hentikan ketika ada sepeda motor atau gerobak yang melintas. Akan tetapi, sering pula permainan terus berlanjut dengan keriangan yang penuh. Anak-anak mengabaikan apa pun yang melintas di jalanan tersebut.

Sekali-kali tawa menggema ketika ada kawan atau lawan mereka menendang bola jauh dari sasaran. Ejekan demi ejekan pun keluar dan menambah seru permainan. Tidak ada alas kaki yang mereka gunakan. Garis lapangan dibayangkan di dalam imaji diri mereka. Bola dikatakan keluar jika melewati garis imajiner yang mereka bayangkan. Jalanan menjadi ruang permainan yang dipenuhi keriaan, daya imajinasi, persahabatan, dan kebebasan yang sempurna.

Di dalam kehidupan anak-anak, jalanan, gang, lapangan, atau ruang apa pun dapat menjelma sebagai ruang bermain. Di sana mereka berbaur dengan kawan-kawan lama dan baru. Di sana mereka merayakan kehidupan masa kecil yang tidak dapat dibatasi oleh apa pun. Ruang-ruang menjadi arena permainan yang selalu menyenangkan dan dapat dikuasai dengan kegembiraan. Berbagai permainan dapat dimainkan di ruang-ruang ini: sepakbola, sondah, galah, lompat karet, kucing-kucingan, anjangan, petak umpet, boi-boian, kelereng, layang-layang, gobak sodor, dan sebagainya.

Kota secara historis, memainkan peran yang sangat besar sebagai ruang bermain. Kota sebagai ruang bermain ini memiliki peran yang sangat besar di dalam merepresentasikan kondisi sosial dan budaya. Selain itu, kota sebagai ruang bermain juga merefleksikan dimensi-dimensi penting di dalam sebuah kota, termasuk di dalamnya relasi kuasa, politik, dan psikologis. Peran kota sebagai ruang bermain semakin hari semakin sempit. Pertumbuhan kota semakin lama semakin tidak ramah dengan berbagai aktivitas warga di ruang terbuka atau ruang publik, termasuk di dalamnya aktivitas bermain.

Baca Juga: Daulat Rakyat di Dago Elos
Kota yang Jauh
Dua Wajah Kota di Stasiun Bandung

Ruang yang Semakin Sempit

Di dalam perkembangan banyak kota, ruang-ruang terus mengalami perubahan karena pertumbuhan kota. Ruang-ruang lapang berupa ladang, sawah, atau lahan-lahan tidur lainnya di dalam kecepatan yang sangat massif berubah menjadi perumahan-perumahan, kawasan industri, kawasan komersial, atau kawasan-kawasan perkantoran. Perubahan ini terus terjadi karena pertumbuhan kota terus disandarkan pada pertumbuhan ekonomi. Investasi dan pendapatan asli daerah (PAD) menjadi indikator yang sangat penting di dalam ukuran-ukuran keberhasilan pembangunan sebuah kota. Sebuah kota dikategorikan sebagai kota yang tumbuh jika berhasil menyerap investasi sebesar-besarnya dan mendulang pendapatan asli daerah yang meningkat dari tahun ke tahun.

Pola ini kemudian mendorong terjadinya pembangunan secara terus-menerus di ruang-ruang kota. Lahan-lahan persawahan, ladang, dan lahan tidur lainnya dianggap sebagai lahan yang tidak produktif jika dibiarkan begitu saja. Oleh sebab itu, pemerintah membuka jalan sebesar-besarnya kepada investor dan pengembang untuk membangun lahan-lahan ini. Tidak hanya lahan-lahan kosong saja, lahan-lahan yang selama puluhan bahkan ratusan tahun dihuni oleh penduduk juga menjadi lahan yang terus diburu. Permintaan atas tanah terus meningkat seiring dengan terjadinya pembangunan perkotaan, sementara itu ketersediaan lahan sangat terbatas. Hal ini mendorong terjadinya penggusuran, baik yang dilakukan melalui proses peradilan, maupun penggusuran yang dilakukan di luar proses peradilan.

Kota tidak hanya kehilangan ruang-ruang kosong, tetapi kota juga kehilangan penduduk yang selama ini menghidupkan dan menghidupi tanah selama bergenerasi-generasi. Berbagi peristiwa penggusuran dilakukan atas nama pembangunan dan penguasaan aset pemerintah. Ruang-ruang kota kemudian menjadi ruang yang terbatas, tersegmentasi, dan tersegregasi. Ruang-ruang ini diubah menjadi bagian dari pembangunan kota yang tidak lagi ramah terhadap penduduknya.

Kota sebagai Ruang Bermain

Keberadaan ruang-ruang yang dapat diakses kapan pun oleh warga, termasuk oleh anak-anak, menjadi semakin terbatas. Perubahan ruang-ruang di perkotaan menjadikan ruang-ruang semakin berjarak dengan penduduknya. Berbagai batasan untuk mengakses, beraktivitas, dan menggunakan ruang semakin sempit di bawah penguasaan pengembang, investor, rezim keamanan, dan bahkan rezim pemerintahan.

Di sebuah bukit di kawasan Dago, misalnya, bahkan warga harus membayar kepada pihak swasta hanya untuk melintasi sebuah jalan yang menghubungkan satu kawasan kampung dengan kawasan kampung lainnya. Sekitar tahun 2012, warga sempat terlibat konflik dengan pengembang swasta karena jalan kampung yang selama ini dibangun oleh dana pemerintah dan digunakan sehari-hari oleh warga ditutup oleh pengembang swasta. Jalan milik kampung dan selama berpuluh-puluh tahun digunakan oleh warga, tiba-tiba saja ditutup dan diklaim milik pengembang swasta.

Di ruang-ruang yang lain, warga kehilangan akses dan kehilangan jaminan keamanan untuk melakukan aktivitas dengan bebas dan merdeka di ruang kota sepanjang waktu. Sebagai contoh, upaya-upaya warga untuk melakukan aktivitas seperti membuka lapak perpustakaan jalanan, pasar gratis, acara amal, kumpul warga, acara musik dan kesenian, olah raga bersama, dan berbagai aktivitas sosial di ruang publik lainnya, sering kali mendapatkan hambatan, larangan, bahkan pembubaran oleh aparat keamanan. Ruang publik seperti ruang kota menjadi ruang-ruang yang tidak sepenuhnya menjadi milik publik. Berbagai aktivitas warga di ruang-ruang publik ini hampir sepanjang waktu berada di dalam mode pengawasan (surveillance). Warga yang ingin melakukan aktivitas di ruang-ruang publik ini selalu dihadapkan dengan pembatasan oleh aparat keamanan dan pemerintahan yang menanyakan izin formal berkegiatan di ruang publik. Aparat keamanan dan pemerintahan selalu merasa memiliki wewenang luar biasa besar untuk menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan warga di ruang-ruang publik kota mereka sendiri.

Pembubaran Perpustakaan Jalanan Bandung pada tahun 2017 oleh tentara di Taman Cikapayang, misalnya, merupakan salah satu contoh bagaimana pemberangusan aktivitas warga di ruang publik terjadi oleh aparat keamanan. Peristiwa pembubaran seperti ini terus terjadi di dalam berbagai skala. Misalnya, anak-anak muda yang sedang menikmati suasana malam minggu di Kota Bandung, dibubarkan paksa oleh kepolisian karena dianggap mengganggu keamanan dan ketertiban umum. Anak-anak muda yang bermain skateboard di berbagai ruang kota juga mengalami tindakan yang hampir serupa dari waktu ke waktu. Aktivitas mereka bermain di ruang publik kerap kali dikategorikan sebagai tindakan ilegal dan bahkan kriminal. Acara diskusi intelektual atau bedah buku pun sering kali dianggap sebagai acara kumpul yang dianggap mengganggu ketertiban dan keamanan di ruang publik.

Di dalam konteks ini, beraktivitas di ruang publik kota –termasuk bermain– bukan lagi menjadi perkara sederhana. Melakukan aktivitas kapan pun, di mana pun, di ruang publik, menjadi hal yang sangat serius. Flanagan di dalam Critical play: Radical game design (2009) menjelaskan bahwa bermain merupakan aktivitas yang kritis, serius, dan subversif. Kegiatan bermain dan berkegiatan di ruang publik dianggap sebagai ancaman oleh rezim keamanan dan rezim pemerintahan. Warga didesak untuk tetap bertahan dan beraktivitas di ruang-ruang privat di balik-balik tembok rumah atau perkampungan. Berbagai acara yang menghadirkan kerumunan atau aktivitas orang-orang di ruang publik dianggap sebagai sebuah subversi. Ruang kota seharusnya menjadi ruang yang dapat diakses oleh siapa pun dan kapan pun untuk melakukan berbagai aktivitas. Anak-anak sudah seharusnya dapat bermain di lapangan-lapangan, jalan-jalan, gang-gang, pelataran-pelataran, plaza-plaza dan berbagai ruang lainnya. Warga pada umumnya pun sudah seharusnya mendapat jaminan hak untuk menggunakan ruang publik sebagai ruang bermain dan beraktivitas. Adanya jaminan keamanan dan jaminan untuk melakukan berbagai aktivitas di ruang publik menjadi indikator penting bagi sehat atau tidaknya sebuah kota. Semakin warga mendapat jaminan untuk menggunakan berbagai ruang ini, semakin kota ini menjadi kota yang sehat dan inklusif. Akan tetapi, sebaliknya, semakin warga terancam dari berbagai aktivitas di ruang publik, semakin kota ini menjadi kota yang sakit dan mengancam. Ruang-ruang kota adalah ruang bagi siapa pun, warga kota, untuk bermain, hidup, dan berbahagia!

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Jejen Jaelani, atau artikel-artikel lain tentang Kota Bandung

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//