Kota yang Jauh
Kita layak tinggal di kota yang serba dekat karena kemudahan mobilitas melalui transportasi publik yang layak.
Jejen Jaelani
Dosen di Institut Teknologi Sumatera, penulis buku Semiotika Kota: Pertarungan Ideologis di Ruang Urban
19 September 2024
BandungBergerak.id – Jarak di dalam sebuah ruang bisa jadi hal yang relatif bagi banyak orang. Di kota dengan lalu lintas lancar, misalnya, jarak 10 kilometer dapat dianggap dekat. Akan tetapi, di kota dengan kemacetan lalu lintas yang parah, 10 kilometer bisa jadi jarak yang terlampau jauh. Tentu saja, jarak ini menjadi berbeda bukan di dalam arti jarak dalam hitungan kilometer, tetapi di dalam perhitungan waktu tempuh dan usaha yang harus dikerahkan untuk mencapainya.
Bandung merupakan kawasan perkotaan yang kondisi kemacetan yang sangat parah. Kondisi ini tidak hanya terjadi di wilayah Kota Bandung, tetapi di Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, dan sebagian Kabupaten Sumedang. Seperti pernah disinggung di dalam tulisan saya Membangun Tol Dalam Kota Bandung, Mundur Dua Dekade | BandungBergerak.id, Pada tahun 2022, jumlah kendaraan di Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat mencapai 3,59 juta unit (Ritonga dalam Kompas.id, 11 Agustus 2023). Jumlah ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Selain itu, jumlah penduduk Cekungan Bandung yang mencapai 8.764.170 jiwa berdasarkan data BPS Jawa Barat (BPS Jawa Barat, 2024). Kondisi ini berbeda dengan kondisi 20 tahun lalu, penduduk Cekungan Bandung 6.809.840 jiwa (BPS Jawa Barat, 2004) dengan jumlah kendaraan sepertiga jumlah saat ini.
Pertumbuhan angka penduduk dan jumlah kendaraan penduduk tidak disertai dengan kebijakan mobilitas penduduk yang terencana, baik pada tingkat pemerintah kabupaten/kota maupun pada tingkat Provinsi Jawa Barat. Hasilnya, hambatan mobilitas penduduk di dalam wujud kemacetan lalu lintas menjadi masalah serius yang dihadapi Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung saat ini.
Selain meledaknya jumlah penduduk dan kendaraan, masalah kronis yang dihadapi oleh Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung ini adalah tidak adanya sistem transportasi publik massal yang terintegrasi. Padahal jika dilihat, Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2018
tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung mengamanatkan pengembangan pusat Kawasan Perkotaan di Sekitarnya yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana transportasi dan sistem angkutan massal, peningkatan keterkaitan antara Kawasan Perkotaan di Sekitarnya melalui keterpaduan sistem transportasi dan sistem prasarana lainnya, dan meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan transportasi perkotaan yang seimbang dan terpadu untuk menjamin aksesibilitas yang tinggi antara Kawasan Perkotaan Inti dengan Kawasan Perkotaan di Sekitarnya serta distribusi kegiatan industri.
Baca Juga: Membangun Tol Dalam Kota Bandung, Mundur Dua Dekade
Braga Beken dan Kemacetan di Kota Bandung
Daulat Rakyat di Dago Elos
Perpres Cekungan Bandung
Merespons Perpres ini, Gubernur Jawa Barat kemudian menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Jawa Barat Nomor 86 Tahun 2020 tentang Badan Pengelolaan Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung. Di dalam Pergub ini, ada kejanggalan. Pada Bagian Ketiga, disebutkan bahwa Gubernur Jawa Barat, Bupati Bandung Barat, Bupati Bandung, Bupati Sumedang, Wali Kota Bandung, dan Wali Kota Cimahi diposisikan sebagai Dewan Pengarah. Sementara itu, Pelaksana hanya disebutkan dengan nama posisi jabatan, yaitu Kepala Pelaksana, Sekretariat Pelaksana, dan Divisi yang meliputi: 1. Divisi Penataan Ruang, Divisi Transportasi, Divisi Sumber Daya Air, dan Divisi Persampahan.
Penempatan para kepala daerah sebagai dewan pengarah ini memunculkan pertanyaan, bukankah para kepala daerah ini seharusnya bertindak sebagai pelaksana karena mereka merupakan eksekutif di daerah yang mereka pimpin? Jangan-jangan sulitnya koordinasi yang sering dikeluhkan oleh para kepala daerah di Kawasan Cekungan Bandung ini disebabkan oleh penempatan para eksekutif ini sebatas Dewan Pengarah? Apakah posisi ini kemudian menyebabkan birokasi menjadi penghambat karena tugas pengelolaan Kawasan Cekungan Bandung diserahkan kepada pelaksana yang bukan para pengambil keputusan? Dan sejumlah pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Alhasil, enam tahun sejak Peraturan Presiden tersebut diterbitkan, kondisi transportasi publik dan berbagai permasalahan lain di Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung masih jalan di tempat, kalau tidak dikatakan semakin terpuruk. Sebagaimana diketahui, selain kemacetan lalu lintas, masalah banjir, sampah, bencana alam, kerusakan lingkungan, dan berbagai masalah lainnya masih menjadi fenomena keseharian yang dialami warga. Dan di antara penyebabnya adalah sulitnya koordinasi antarkepala daerah karena kewenangan wilayah kabupaten/kota dipegang oleh para kepala daerah masing-masing.
Kemacetan lalu lintas masih merupakan permasalahan akut yang dialami oleh Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung. Sering kali, solusi untuk mengatasi persoalan kemacetan ini masih berkutat pada program gimik, seperti hari bebas kendaraan, Braga Beken, hari bebas kendaraan di perkantoran pemerintah, atau peluncuran bus yang kemudian tidak jelas juntrungannya. Hari bebas kendaraan di kawasan perkantoran pemerintah, misalnya, sering hanya menjadi program pindah parkir. Kendaraan yang tadinya parkir di kawasan perkantoran, kemudian berpindah menjadi parkir di pinggir jalan atau kawasan lain di sekitar perkantoran tersebut. Lebih parah, pemerintah membuat program kerja sama dengan perusahaan taksi daring untuk membuat program berangkat ke kantor menggunakan taksi daring. Di dalam konteks mengatasi kemacetan, program-program seperti ini sama sekali tidak menyelesaikan permasalahan apa pun.
Di dalam konteks pemilihan kepala daerah yang akan datang, sangat penting bagi warga untuk melihat sejauh mana visi dan misi para calon kepala daerah terkait dengan penyelesaian masalah kemacetan lalu lintas ini. Sejauh mana visi dan misi mereka mengenai sistem transportasi publik massal seperti apa yang akan mereka kembangkan di dalam masa kepemimpinan mereka kelak. Warga mesti menuntut dengan kritis hak mereka terkait dengan mobilitas yang aman, nyaman, dan terukur ini.
Transportasi Publik Masih Menjadi Masalah
Di masa-masa kepemimpinan yang telah berlalu, tidak banyak perubahan yang dilakukan oleh para kepala daerah ini terkait dengan transportasi publik di Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung ini. Warga selalu menjadi pihak yang menderita karena mobilitas mereka untuk beraktivitas sekolah, kuliah, kerja, bisnis, dan sebagainya terus terhambat masalah kemacetan yang parah. Lokasi-lokasi yang sebenarnya dapat dijangkau dengan cepat jika tersedia transportasi publik massal yang layak, masih terasa begitu jauh dan membutuhkan perjuangan karena warga harus menempuhnya dengan kendaraan pribadi di tengah kemacetan. Kemacetan lalu lintas ini bahkan tidak hanya terjadi di jam-jam tertentu, tetapi sudah menjadi rutinitas yang berlangsung sepanjang hari. Ongkos kemacetan lalu lintas ini sangat mahal jika dilihat dari aspek biaya lingkungan, ekonomi, psikologi, dan sosial budaya.
Sebagai contoh, warga yang akan bepergian dari Cibiru menuju Cibeureum sebenarnya hanya perlu menempuh satu ruas jalan saja, yaitu Jalan Soekarno-Hatta. Akan tetapi, bentangan jalan ini menjadi terasa begitu jauh dan melelahkan karena situasi di jalan yang macet, dan waktu tunggu di perempatan yang sangat lama. Warga yang tinggal di Ciwastra dan hendak beraktivitas di kawasan Dago memerlukan waktu tempuh yang tidak pasti dan sangat melelahkan karena persoalan kemacetan ini. Warga yang tinggal di Ujung Berung dan hendak beraktivitas di kawasan Alun-alun Bandung akan menempuh durasi perjalanan yang sangat lama, terutama pada waktu-waktu puncak kemacetan lalu lintas. Demikian juga warga yang datang dari luar kota ke Terminal Leuwipanjang atau Stasiun Bandung, misalnya, sering kali mereka kebingungan harus menggunakan transportasi apa ke tempat tujuan mereka selanjutnya.
Tuntutan warga kepada pemerintah untuk pelayanan transportasi publik massal yang layak, aman, nyaman, dan terukur ini harus terus disuarakan dan diteriakkan. Tuntutan ini tidak hanya berlaku bagi masyarakat kelas sosial tertentu, ini adalah tuntutan yang harus terus diperjuangkan oleh setiap warga kota, tidak melihat kelas sosial, ekonomi, dan aspek-aspek lainnya. Kita layak tinggal di kota yang serba dekat karena kemudahan mobilitas melalui transportasi publik yang layak ini. Kita tidak ingin, kota kita menjadi kota yang semakin jauh dan menyiksa.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Jejen Jaelani, atau artikel-artikel lain tentang Kota Bandung