• Opini
  • Braga Beken dan Kemacetan di Kota Bandung

Braga Beken dan Kemacetan di Kota Bandung

Program Braga Bebas Kendaraan atau Braga Beken cenderung menjadi sebatas program pariwisata dengan berbagai ekses masalah di belakangnya.

Jejen Jaelani

Dosen di Institut Teknologi Sumatera, penulis buku Semiotika Kota: Pertarungan Ideologis di Ruang Urban

Warga mencari tempat parkir di simpang Jalan Braga Naripan, Bandung, saat diberlakukan Braga Free Vehicle, 5 Mei 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

13 Mei 2024


BandungBergerak.id – Di awal bulan Mei 2024, pemerintah Kota Bandung menyelenggarakan program Braga Bebas Kendaraan. Nama ini kemudian disingkat menjadi Braga Beken. Program ini di antaranya disebutkan sebagai salah satu solusi untuk mengatasi kemacetan di Kota Bandung. Hal ini disampaikan di laman bandung.go.id (3 Mei 2024), “.. untuk mengatasi kemacetan dan memberikan kenyamanan kepada pengunjung Braga, Pemkot Bandung memberlakukan Braga Bebas Kendaraan.”

Penjabat Wali Kota Bandung Bambang Tirtoyuliono menyebutkan bahwa program ini bertujuan untuk memberikan kenyamanan kepada pengunjung Braga dari kemacetan dan kesemrawutan selama ini. “Hampir setiap hari macet, nach di akhir pekan Braga harus Bebas macet sehingga wajah Kota Bandung bisa terlihat,” mengutip bandung.go.id, 3 Mei 2024. Program ini rencananya dilaksanakan setiap akhir pekan, yaitu dimulai Sabtu pukul 00.00 WIB hingga hari Minggu 23.59 WIB.

Sejalan dengan pemerintah Kota Bandung, DPRD Kota Bandung memberikan dukungan terhadap program ini. Di dalam rilis yang sama, disebutkan bahwa Braga bebas kendaraan didukung Ketua DPRD Kota Bandung Teddy Rusmawan. Dia berharap Braga bebas kendaraan bisa membawa kebaikan untuk semua lapisan masyarakat, baik khususnya warga Kota Bandung termasuk para pengusaha. 

Sekilas tidak ada yang salah dengan program ini. Program ini dirancang untuk menjadikan Braga sebagai sebuah ikon wisata. Jalan Braga dijadikan sebagai “wajah” Kota Bandung. Akan tetapi, penyelenggaraan program Braga Beken ini menyisakan setumpuk masalah di Kota Bandung. Dibandingkan menjadi solusi untuk mengatasi kemacetan lalu lintas atau pembenahan ruang-ruang di Kota Bandung, program ini cenderung menjadi sebatas program pariwisata dengan berbagai ekses masalah di belakangnya.

Baca Juga: Problem di Balik Kecantikan Jalan Braga
Braga Free Vehicle atau Car Free Day Sama Saja
Mempertimbangkan Kesulitan Warga Setempat dalam Menghadapi Braga Free Vehicle

Warga antre membeli es krim di Jalan Braga, Bandung saat diberlakukan Braga Free Vehicle, 5 Mei 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Warga antre membeli es krim di Jalan Braga, Bandung saat diberlakukan Braga Free Vehicle, 5 Mei 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Berbagai Masalah

Pada penyelenggaraan program ini, beberapa masalah muncul di sekitar Jalan Braga. Penyediaan lahan parkir menjadi salah satu masalah yang mencuat. Walaupun pemkot Bandung menyediakan beberapa titik lokasi yang direkomendasikan untuk parkir kendaraan pengunjung, kemunculan parkir liar di sekitar Jalan Braga tetap tidak terhindarkan. Parkir liar ini menjadi masalah karena parkir kendaraan ditempatkan di lokasi-lokasi yang tidak seharusnya, tarif parkir yang melambung dan tidak sesuai aturan, masalah keamanan kendaraan, hingga menjadi penyebab kemacetan lalu lintas. Keluhan terkait parkir ini juga disampaikan warga karena sulitnya warga untuk memarkirkan kendaraannya. Banyak warga yang mesti berkeliling hingga beberapa kali untuk dapat memperoleh kesempatan parkir di lokasi parkir resmi.

Jika ditelisik lebih lanjut, program Braga Beken ini justru menunjukkan bagaimana pengelolaan kota, khususnya transportasi, di Kota Bandung. Tidak tersedianya transportasi publik yang layak, menjangkau berbagai lokasi di Kota Bandung, hingga jaminan kepastian waktu dan tarif tetap mendorong warga dan wisatawan yang ingin berkunjung ke Braga Beken untuk tetap menggunakan kendaraan pribadi. Membludaknya jumlah kendaraan di lokasi-lokasi parkir baik resmi atau tidak resmi menjadi salah satu indikator hal tersebut.

Memang, Pemkot Bandung menyediakan beberapa opsi bagi pengunjung yang ingin mendatangi Braga Beken. Salah satu yang disediakan adalah Bandros. Penyediaan Bandros dari beberapa titik hotel sebagai angkutan menuju Braga tentu tidak menyasar warga Kota Bandung sebagai calon penumpangnya. Angkutan ini jelas ditujukan untuk mengangkut para wisatawan. Hal ini dapat dilihat dari titik-titik pemberangkatan yang hanya ditempatkan di hotel-hotel untuk menyasar wisatawan yang menginap di hotel-hotel tersebut. Selain titik pemberangkatan, tarif Rp 20.000,00 per orang yang ditetapkan juga tentu terlalu tinggi untuk warga kota. Untuk wisatawan, tarif ini masih di dalam jangkauan dan bisa ditoleransi karena menjadi bagian dari aktivitas leisure mereka.

Sementara itu, transportasi publik yang ada, baik bus maupun angkot, menjadi pilihan yang sangat sulit diambil untuk warga kota yang berjarak cukup jauh dari pusat kota atau bahkan tidak terjangkau oleh angkutan umum. Selain daya jangkau, berbagai aspek seperti kepastian waktu keberangkatan, kepastian waktu tunggu, kepastian waktu tempuh, hingga kepastian tarif masih menjadi persoalan-persoalan yang menyulitkan warga kota untuk beralih menggunakan transportasi publik. Atas dasar itu, kendaraan pribadi masih tetap menjadi pilihan primadona untuk melakukan mobilitas ke pusat kota.

Pertemuan antara warga dan wisatawan yang ingin berkunjung, penggunaan kendaraan pribadi, masalah parkir, pengalihan rute, dan warga yang melakukan mobilitas untuk menunjang aktivitas (bekerja, berbelanja, berdagang, beribadah, berkesenian, dan lain-lain) ini kemudian memunculkan masalah kemacetan di sekitar lokasi penyelenggaraan Braga Beken. Upaya penyelenggaraan acara bebas kendaraan untuk mengatasi kemacetan di sekitar Jalan Braga, tampaknya menjadi isapan jempol belaka. Kemacetan tidak terjadi di sepanjang Jalan Braga karena memang ditutup untuk kendaraan, tetapi kemacetan beralih ke jalan-jalan lain di sekitar Jalan Braga dan sekitar pusat kota. Warga kota lagi-lagi dirugikan karena harus memutar ke rute yang lebih jauh untuk menghindari Jalan Braga atau jalan lain yang terdampak penutupan Jalan Braga. Selain itu, mobilitas warga Jalan Braga terhambat karena program ini. Penutupan Jalan Braga dilakukan secara tidak memperhatikan kebutuhan warga daerah tersebut. Beberapa warga menyampaikan keluhannya karena mereka tidak dapat mendapatkan akses pulang ke rumah setelah mereka melakukan aktivitas seperti bekerja, berdagang, dan sebagainya. Mereka harus menunggu hingga waktu Braga Beken benar-benar berakhir untuk dapat mengakses rumahnya dengan kendaraan. Aparat yang bertugas di lapangan hanya terpaku pada aturan penyelenggaraan program Braga Beken, daripada memperhatikan kebutuhan warga sekitar.   

Bergeser sedikit menjauh dari pusat kota, kemacetan lalu lintas tetap berjalan sebagai sesuatu yang “normal” bagi warga kota. Serangan puluhan ribu kendaraan wisatawan yang berkunjung dari luar kota bertumpuk dengan kendaraan warga yang melakukan mobilitas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Di daerah Bandung Utara, misalnya, antrean kendaraan menuju dan dari Lembang atau Dago tetap mengular seperti biasa. Di Jalan Soekarno-Hatta, para pengendara masih berkutat dengan antrean panjang dan lampu-lampu merah yang sangat lama. Di Bandung Timur, kemacetan di sekitar Gedebage tetap memuncak di akhir pekan, terutama pada libur panjang. Parade bus, kendaraan odong-odong, dan warga yang berkunjung ke Masjid Al-Jabbar, deretan truk besar, dan kendaraan warga sekitar tetap menjadi masalah yang tidak terpecahkan. Di dalam kondisi demikian, hal ini diperparah dengan kebisingan polusi suara yang diakibatkan klakson basuri yang berasal dari bus pembawa wisatawan, mobil odong-odong, dan kendaraan komunitas telolet. Kebisingan akibat polusi suara ini sudah berada pada tahap yang sangat mengganggu warga. Akan tetapi, tidak ada upaya apa pun dari pemerintah, khususnya dinas perhubungan, untuk menindak perkara ini. 

Kondisi di Kota Bandung ini semakin parah ketika libur panjang, sebagaimana dua libur panjang di bulan Mei ini. Akhir pekan yang dibayangkan sebagai hari bebas kendaraan, pada akhirnya, hanya terjadi di Jalan Braga dan dua lokasi hari bebas kendaraan lainnya saja. Bandung sebagai sebuah kota, tetap dikungkung dengan berbagai permasalahan yang rutin terjadi. Bandung tetap “normal”, macet sebagaimana biasanya.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Jejen Jaelani, atau artikel-artikel lain tentang Kota Bandung

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//