• Opini
  • Membangun Tol Dalam Kota Bandung, Mundur Dua Dekade

Membangun Tol Dalam Kota Bandung, Mundur Dua Dekade

Membangun infrastruktur berupa tol dalam kota akan menambah akut kemacetan lalu lintas. Kota Bandung lebih membutuhkan transportasi publik yang bersifat massal.

Jejen Jaelani

Dosen di Institut Teknologi Sumatera, penulis buku Semiotika Kota: Pertarungan Ideologis di Ruang Urban

Kemacetan lalu lintas di Jalan Oto Iskandar Dinata, Kota Bandung, 4 ‎Oktober ‎2022. Setiap tahunnya kemacetan lalu lintas di Bandung dirasakan meningkat. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

5 Maret 2024


BandungBergerak.id – Wacana tentang pembangunan Tol Dalam Kota Bandung ramai diperbincangkan oleh masyarakat. Hal ini setelah berbagai media memberitakan bahwa Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menegaskan pembangunan Tol Dalam Kota Bandung akan dilanjutkan untuk mengatasi kemacetan lalu lintas di Kota Bandung.

Pada awalnya, rencana pembangunan tol dalam kota ini dilakukan dengan skema penyediaan lahan oleh daerah dan konstruksi dari pemerintah pusat. Pemprov Jawa Barat mengungkapkan proyek Tol Dalam Kota Bandung (Bandung Intra Urban Tol Road/BIUTR) mulai dari pembebasan lahan sampai pembangunannya, dilakukan koleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) (ANTARA, 29 Februari 2024).

Di dalam dua dekade, terjadi banyak perubahan signifikan di Kota Bandung, baik dari segi jumlah penduduk, jumlah kendaraan, maupun ruang kota. Lalu, Setelah hampir dua dekade berlalu, apa urgensi pembangunan Tol Dalam Kota Bandung? 

Baca Juga: Rencana Pembangunan Jalan Tol Soreang-Ciwidey-Pangalengan Mengancam Cekungan Bandung
Menghitung Kerugian Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan karena Kemacetan di Kota Bandung
Pembangunan Jalan TOL Dalam Kota Bandung Bukan Solusi Mengatasi Kemacetan

 Dua Dekade

Rencana pembangunan Tol Dalam Kota Bandung mulai digulirkan sekitar dua dekade yang lalu. Rencana ini kemudian tertuang di dalam Peraturan Daerah Nomor 22 TAHUN 2010 tentang RTRW Jawa Barat. Pada pasal 59 disebutkan terdapat tiga pengembangan infrastruktur jalan meliputi pembangunan jalan tol Soreang-Pasirkoja, jalan tol dalam Kota Bandung (Terusan Pasteur-Ujungberung-Cileunyi) dan Ujungberung-Gedebage-Majalaya. Hal ini kemudian ditegaskan ulang pada Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 9 Tahun 2022 tentang RTRW Provinsi Jawa Barat Tahun 2022-2042, disebutkan rencana pembangunan tol yaitu Bandung Inter Urban Toll Road (BIUTR) (JW31), North-South Link Bandung (JW64/ Pengembangan Tol dalam kota Bandung kelanjutan Jalan Tol Soreang – Pasirkoja, dan Lingkar Selatan Bandung (JW66.2).

Pembangunan tiga ruas Jalan Tol di dalam Kota Bandung ini justru akan menjadi masalah baru dibandingkan menjadi solusi kemacetan lalu lintas. Membangun infrastruktur berupa tol dalam kota bukannya meringankan beban Kota Bandung. Sebaliknya, pembangunan ini akan menambah akut kemacetan lalu lintas di kota ini.

Kemacetan lalu lintas yang terjadi saat ini merupakan akumulasi dari berbagai persoalan yang harusnya diselesaikan selama bertahun-tahun lalu. Ketiadaan transportasi publik massal yang memadai menjadi salah satu penyebab tidak terkendalinya jumlah kendaraan di Bandung Raya. Pada tahun 2022, jumlah kendaraan di Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat mencapai 3,59 juta unit (Ritonga dalam Kompas.id, 11 Agustus 2023). Jumlah ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Selain itu, jumlah penduduk Cekungan Bandung yang mencapai 8.764.170 jiwa berdasarkan data BPS Jawa Barat (BPS Jawa Barat, 2024). Kondisi ini berbeda dengan kondisi 20 tahun lalu, penduduk Cekungan Bandung 6.809.840 jiwa (BPS Jawa Barat, 2004) dengan jumlah kendaraan sepertiga jumlah saat ini.

Di samping kemacetan yang menjadi realitas sehari-hari warga Bandung, di saat liburan panjang, puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu kendaraan masuk dari luar kota menjadikan jalan-jalan di Bandung semakin macet parah. Dengan akses tol Pasteur, Pasir Koja, Moh. Toha, dan Buah Batu yang berada di lingkar luar kota, ditambah gerbang kota dari arah timur, barat dan utara, Bandung Raya, terutama Kota Bandung, kewalahan menampung jumlah kendaraan yang masuk. Tidak hanya di gerbang-gerbang kota, kemacetan lalu lintas menjalari berbagai ruas jalan. Kemacetan lalu lintas ini menghabiskan ongkos energi, ekonomi, sosial, dan budaya yang sangat besar.    

Jika Tol Dalam Kota Bandung ini jadi dibangun, puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu kendaraan yang datang dari luar kota ini akan langsung masuk ke jantung kota. Hal ini akan menjadikan lalu lintas di Bandung menjadi semakin parah.

Kebijakan dan Keberpihakan

Pembangunan Tol Dalam Kota Bandung ini dapat dilihat sebagai ambisi Pemerintah Daerah Jawa Barat untuk membangun infrastruktur besar di Bandung. Pembangunan jalan masih menjadi prioritas dibandingkan pengembangan sistem transportasi lain. Padahal jika dilihat, di dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung, selain pembangunan sistem transportasi melalui pembangunan jaringan jalan, sistem transportasi jaringan dapat dilakukan dengan pembangunan lalu lintas dan angkutan jalan, sistem jaringan perkeretaapian, dan sistem jaringan transportasi udara.

Di dalam pembangunan lalu lintas dan angkutan jalan, opsi pembangunan sistem transportasi massal menjadi pilihan yang dapat diwujudkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Pembangunan sistem transportasi massal Pada Pasal 25 Perpres No. 45 Tahun 2018 ini dijelaskan (1) lalu lintas dan angkutan jalan ditetapkan dalam rangka  mewujudkan pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan yang aman, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional dan kesejahteraan masyarakat.

Di samping pembangunan lalu lintas dan angkutan jalan, opsi lain di dalam pembangunan sistem transportasi di Cekungan Bandung adalah pembangunan jaringan jalur kereta api perkotaan. Pada pasal 29 huruf (5) Jaringan jalur kereta api perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b meliputi: a. jalur kereta api Kiaracondong-Ciwidey; b. jalur kereta api Leuwi Panjang-Gedebage-Jatinangor; c. jalur kereta api Leuwi Panjang-Cimahi-Padalarang-Walini; d. jalur kereta api Leuwi Panjang-Soreang; e. jalur kereta api Babakan Siliwangi-Leuwi Panjang; f. jalur kereta api Cimindi-Gedebage; g. jalur kereta api Martadinata-Banjaran; h. jalur kereta api Gedebage-Tegalluar-Majalaya; dan i. jalur kereta api Babakan Siliwangi-Lembang-Maribaya.

Pentingnya pengembangan transportasi massal di dalam Perpres No. 45 Tahun 2018 ini ditegaskan pada Pasal 9 tentang strategi penataan ruang. Dijelaskan bahwa strategi penataan ruang dilakukan dengan b. mengembangkan pusat Kawasan Perkotaan di sekitarnya yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana transportasi dan sistem angkutan massal; c. meningkatkan keterkaitan antara Kawasan Perkotaan Inti dan Kawasan Perkotaan di sekitarnya melalui keterpaduan sistem transportasi dan sistem prasarana lainnya; d. meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan  jaringan transportasi perkotaan yang seimbang dan  terpadu untuk menjamin aksesibilitas yang tinggi antara Kawasan Perkotaan Inti dengan Kawasan Perkotaan di  Sekitarnya serta distribusi kegiatan industri. Sementara itu,  pengembangan jaringan jalan disimpan sebagai strategi nomor terakhir dan hanya berfungsi sebagai pendukung transportasi massal, yaitu pada huruf f. mengembangkan jaringan jalan yang mendukung transportasi massal dengan tetap memperhatikan  pelestarian lingkungan dan Kawasan Hutan. Akan tetapi di dalam praktiknya, rencana pembangunan Tol Dalam Kota Bandung ini malah menggunakan strategi dengan skala prioritas terbalik.  

Opsi pengembangan sistem angkutan jalan massal serta sistem jaringan lalu lintas berbasis rel tentu menjadi pilihan yang paling masuk akal dibandingkan pembangunan infrastruktur jalan tol. Akan tetapi, tidak ada upaya serius pemerintah untuk mengembangkan angkutan massal, terintegrasi, terkoneksi, memiliki sistem kontrol yang baik, waktu tunggu dan perjalanan yang pasti, dengan tarif terjangkau, dan menjangkau berbagai pelosok perkotaan di Cekungan Bandung.

Pengembangan transportasi publik yang bersifat massal menjadi sebuah keniscayaan untuk menyelamatkan Kota Bandung dari katastrofe lalu lintas. Jika pemerintah sensitif dan mau mendengarkan aspirasi warga, kebutuhan akan transportasi publik ini merupakan hal yang selalu ramai diperbincangkan dari tahun ke tahun, dari era satu kepala daerah ke kepala daerah berikutnya. Akan tetapi, suara masyarakat ini tenggelam oleh berbagai gimik yang dilakukan oleh para kepala daerah yang menjabat.

Jika merujuk pada Edward Soja, seorang urbanis terkemuka Amerika, di dalam kajiannya tentang aglomerasi Los Angeles di dalam Seeking Spatial Justice (2010), diskriminasi di dalam memenuhi kebutuhan angkutan massal berakar dari investasi diskriminatif yang lebih besar yang membentuk geografi dan lingkungan. Menurutnya, kesenjangan investasi yang nyata antara pembangunan dan pemeliharaan jalan raya dan jalan bebas hambatan di satu sisi dan pembangunan sarana angkutan massal lainnya di sisi lain terus terjadi. Pembangunan hanya menguntungkan masyarakat yang lebih kaya dan memiliki banyak mobil dibandingkan dengan aglomerasi besar-besaran imigran dan pekerja miskin yang sangat bergantung pada transit di wilayah pusat kota (Soja, 2010: x). Terjadi bias bukan hanya karena terlalu menekankan pada analisis untung-untungan sederhana. Namun, lebih pada hakikatnya memberikan hak istimewa kepada pengemudi mobil yang tidak miskin, dan oleh karena itu, secara aktif melakukan diskriminasi terhadap penduduk yang tidak mempunyai pilihan lain selain menggunakan angkutan umum untuk melakukan perjalanan ke kota, pekerjaan, sekolah, layanan kesehatan, belanja, dan hiburan (Soja, 2010: xv). Di dalam konteks Bandung, pembangunan jalan tol dalam kota ini bukan hanya berpihak pada masyarakat bermobil, tetapi memberi karpet merah kepada para wisatawan. Selama ini, pembangunan di Bandung lebih sering ditujukan untuk kepentingan wisatawan dibandingkan warganya sendiri.

Dilihat di dalam perspektif ini, pembangunan Tol Dalam Kota Bandung bersifat diskriminatif dan tidak memperhatikan asas keadilan bagi warga. Migrasi mobilitas warga dari transportasi pribadi ke transportasi publik bukan hanya perkara pilihan yang bersifat personal. Hal ini menyangkut bagaimana negara hadir dan membangun fasilitas yang dapat digunakan oleh semua golongan masyarakat dan dari kelas sosial apa pun. Selain itu, Bandung menjadi kota yang berlawanan arah dengan tren kota-kota modern di dunia berlomba-lomba mengubah jalan-jalan menjadi ruang publik bagi aktivitas warga dan mengalihkan mobilitas warga ke transportasi massal atau transportasi ramah lingkungan seperti sepeda.

Dengan kondisi berbagai perubahan yang terjadi di cekungan Bandung selama dua dekade terakhir, muncul pertanyaan, apakah rencana pembangunan tiga ruas Jalan Tol Dalam Kota Bandung masih relevan? Berbagai perubahan kondisi masyarakat, sosial budaya, jumlah kendaraan, dan ruang kota seharusnya menjadi pertimbangan untuk meninjau kembali berbagai rencana pembangunan yang dulu dicanangkan. Rencana-rencana yang dicanangkan dua dekade yang lalu, bisa jadi malah menjadi racun yang mematikan dibandingkan menjadi obat bagi kondisi Bandung hari ini. Dan yang tidak boleh dilupakan, warga sebagai pemilik kota memiliki hak untuk terlibat di dalam menentukan apa yang layak dan apa yang tidak layak untuk kota mereka.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//