• Opini
  • Daulat Rakyat di Dago Elos

Daulat Rakyat di Dago Elos

Di Pengadilan Rakyat Dago Elos, rakyat bukanlah penanda kosong. Rakyat di Dago Elos memiliki keterikatan sejarah, kultural, lahir, dan batin dengan tanah mereka.

Jejen Jaelani

Dosen di Institut Teknologi Sumatera, penulis buku Semiotika Kota: Pertarungan Ideologis di Ruang Urban

Suasana persidangan Pengadilan Rakyat Dago Elos, Bandung, Selasa, 21 Maret 2024. Pengadilan Rakyat menyatakan warga pemilik sah tanah Dago Elos. (Foto: Ryamizar Hutasuhut/BandungBergerak)

31 Mei 2024


BandungBergerak.id – Di dalam banyak kesempatan, sering kita mendengar atau membaca kalimat-kalimat atau slogan seperti “mengabdi untuk rakyat”, “pilihan rakyat”, “membela rakyat kecil”, “bekerja untuk rakyat”, “bersama rakyat membangun negeri”, “berkorban demi rakyat”, “merakyat”, “harapan rakyat”, “membela kepentingan rakyat”, “siap jungkir balik demi rakyat”, “suara rakyat”, dan sebagainya. Kalimat-kalimat atau slogan-slogan ini sangat produktif terutama menjelang dan ketika pemilihan umum, acara-acara yang digelar partai politik, atau acara-acara penggalangan dukungan untuk mendeklarasikan seorang calon kepala daerah/negara.

Para politisi yang akan berkontestasi di dalam pemilihan umum sering menggunakan kata “rakyat” untuk menarik simpati, dukungan, dan membangun branding untuk diri mereka. Para politisi ini menyatakan sebagai bagian dari rakyat, hidup dengan cara merakyat, pro rakyat, membela rakyat, memiliki ideologi kerakyatan, dan sebagainya. Setelah pemilihan umum berlangsung, rakyat kembali diabaikan. Rakyat dilupakan, dianggap tidak penting, atau bahkan dianggap tidak ada.

Kata “rakyat’ sering kali hadir di dalam berbagai peristiwa dan menjadi slogan politik. Para politisi dan partai politik berlomba-lomba menggunakan kata “rakyat” di dalam mempromosikan dirinya untuk kepentingan pemilihan umum atau untuk mendapatkan simpati masyarakat.

Selama itu, kata “rakyat” sering kali hadir sebagai sebuah penanda kosong. Kata rakyat tidak merujuk pada sebuah entitas yang nyata di dalam kehidupan. Kata ini sering kali hanya menjadi alat untuk mendulang suara pada pemilihan umum atau untuk menaikkan popularitas politisi dan partai politik.

Baca Juga: Banjir, Kawasan Bandung Utara, dan Penggusuran
Membangun Tol Dalam Kota Bandung, Mundur Dua Dekade
Braga Beken dan Kemacetan di Kota Bandung

Rakyat sebagai Penanda Kosong

Di dalam wacana yang muncul di kancah politik, kata “rakyat” dan turunannya sering kali menjadi penanda kosong. Penanda kosong (empty signifier) di dalam pandangan Ernesto Laclau di dalam On Populist Reason (Verso, 2018) terjadi ketika muncul representasi hegemonik dari sederet penanda yang berbeda. Penanda kosong merupakan sebuah usaha membuat totalitas atau universalitas dari penanda-penanda yang memiliki perbedaan-perbedaan. Dengan kata lain, penanda kosong meringkas beberapa penanda (kata, gambar) yang mengacu pada rantai ekuivalen menjadi sebuah totalitas.     

Penanda kosong menjadi penanda sesuatu yang lebih luas. Ia meringkas berbagai penanda yang seharusnya berbeda dan kompleks menjadi penanda yang bersifat universal dan total. Ketika universalitas ini muncul, ia memutus hubungan antara penanda dan petanda. Penanda ini merangkum berbagai penanda lain yang berbeda-beda, tertentu, dan kompleks ke dalam sebuah penanda universal. Dengan kata lain, fungsi yang mewakili 'universalitas' relatif dari rantai tersebut akan lebih diutamakan daripada fungsi yang menyatakan klaim tertentu yang merupakan pembawa material dari fungsi tertentu.

Di dalam kasus kata “rakyat”, penanda ini merangkum berbagai penanda lain yang berbeda-beda. Kata “rakyat” merangkum kata “pendukung”, “simpatisan politik”, “kader partai” “konstituen”, “relawan partai”, “masyarakat”, “mahasiswa”, “buruh”, “organisasi masyarakat” dan berbagai penanda lain ke dalam sebuah penanda universal, yaitu kata “rakyat”. Penanda-penanda yang berbeda-beda dengan makna, material, dan fungsi yang berbeda-beda disederhanakan, dirangkum, dipadatkan ke dalam sebuah penanda yang total dan universal.

Di dalam realitas politik di negara kita, penanda-penanda kosong seperti kata “rakyat” ini begitu produktif. Merujuk pada Laclau, setiap identitas populer perlu diringkas pada beberapa penanda sebagai sebuah totalitas. Melalui penanda kosong, pihak-pihak yang menggunakan identitas populer dapat melepaskan diri dari hal-hal yang bersifat tertentu (partikularistik) agar dapat menerima tuntutan-tuntutan sosial yang sangat heterogen. Penanda kosong menjadi hegemonik atas penanda-penanda (signifier) lain dan sekaligus melepaskan diri dari petanda (signified). Penanda kosong ini bersifat kabur dan tidak memiliki rujukan jelas. Penanda ini menjadi sangat mudah digunakan untuk kepentingan apa pun dan dapat dilepaskan dari tuntutan atau tanggung jawab. Oleh sebab itu, penanda kosong ini dapat dengan mudah disalahgunakan untuk mencapai kepentingan tertentu.

Anggota Majelis Dewan Hakim Rakyat Bivitri Susanti menunjukkan dokumen-dokumen sengketa Dago Elos di Pengadilan Rakyat, Dago Elos, Selasa, 22 Mei 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak).
Anggota Majelis Dewan Hakim Rakyat Bivitri Susanti menunjukkan dokumen-dokumen sengketa Dago Elos di Pengadilan Rakyat, Dago Elos, Selasa, 22 Mei 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak).

Pengadilan Rakyat, Daulat Rakyat

Sejak adanya gugatan trio Muller, kehidupan rakyat Dago Elos terganggu. Kepastian akan hak hidup di ruang yang selama ini menghidupi dan dihidupi oleh warga Dago Elos terusik dan terancam. Kondisi ini semakin mengkhawatirkan terutama sejak Mahkamah Agung mengetuk palu kemenangan untuk Muller di dalam Peninjauan Kembali tahun 2022.

Di dalam upaya dan perjuangan yang dilakukan warga, Pengadilan Rakyat di Dago Elos pada tanggal 21 Mei 2024 merupakan sebuah peristiwa penting. Pengadilan Rakyat di Dago Elos tersebut memberikan putusan bahwa keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha bersalah di dalam kasus sengketa tanah di Dago Elos. Selain itu, ada banyak hal penting lain yang dihasilkan dari Pengadilan Rakyat ini.

Pengadilan Rakyat ini menjadi salah satu penanda penting perjuangan tak kenal lelah rakyat Dago Elos yang telah berlangsung sejak tahun 2016. Di sini, rakyat bukanlah penanda kosong yang sering kali dimanfaatkan oleh para elit politik. Di sini rakyat adalah entitas yang hadir secara nyata di dalam perjuangan untuk mempertahankan ruang hidupnya: warga yang sudah berpuluh-puluh tahun hidup dan menghidupi Dago Elos; anak-anak yang membangun mimpi-mimpi mereka; ayah dan ibu yang berjuang menafkahi keluarga dengan berjualan di pasar, menjadi sopir, dan bekerja.

Di samping perjuangan untuk menggerakkan roda kehidupan dan perekonomian keluarga, perjuangan warga semakin berat karena adanya gugatan atas tanah ruang hidup mereka. Di dalam aksi demonstrasi tuntutan warga supaya Pengadilan Negeri Bandung menetapkan objek sengketa Dago Elos sebagai non-executable object pada 7 Maret 2024, misalnya, beberapa warga yang ikut demonstrasi berusaha menahan kantuk dan lelah karena mereka tidak sempat beristirahat setelah semalaman hingga pagi berjualan di pasar. Kondisi seperti ini juga terus terjadi di dalam kehidupan warga dari waktu ke waktu. Selain berjuang mencari nafkah, warga sekarang harus berjuang mempertahankan berbagai upaya mafia tanah yang berusaha merebut tanah mereka.  

Sengketa yang berlangsung sejak 2016 ini mengacaukan kehidupan warga. Warga hidup di dalam bayang-bayang ancaman kehilangan ruang hidup mereka yang bisa kapan saja terjadi. Selain itu, trauma akibat berbagai macam upaya intimidasi terus membayangi warga.  

Pengadilan Rakyat yang berlangsung pada 21 Mei 2024 ini menjadi salah satu langkah perjuangan warga Dago Elos untuk mempertahankan ruang hidupnya. Selain sebagai upaya untuk menggalang dukungan, membuat pernyataan, edukasi, dan pembuktian bahwa rakyat Dago Elos berdaulat di atas tanahnya sendiri, secara sains, Pengadilan Rakyat ini menghasilkan berbagai dokumen, fakta dan bukti penting sebagai amunisi perjuangan warga Dago Elos pada ranah hukum ke depan.

Semua bukti-bukti yang ditunjukkan warga di Pengadilan Rakyat ini merupakan bukti-bukti yang sangat kuat dan serius. Selain itu, Majelis Dewan Hakim Rakyat yang terdiri atas para pakar terdiri atas Siti Rakhma Mary, Asfinawati, Alghiffari Aqsa, Yance Arizona, dan Bivitri Susanti menyatakan bahwa Mahkamah Agung seharusnya membatalkan putusan PK demi melepaskan Indonesia dari rezim agraria kolonial. Melalui putusan PK untuk kemenangan Muller tersebut, hakim PK di Mahkamah Agung berpartisipasi membangkitkan kembali politik Domein Verklaring di Indonesia. 

Produk hukum kolonial tidak seharusnya mendapat tempat di negara merdeka. Negara seharusnya hadir dan memiliki tanggung jawab untuk membasmi mafia tanah dan kejahatan agraria. Negara harus berpihak kepada rakyat dan mewujudkan kesejahteraan rakyat sebesar-besarnya.

Di Pengadilan Rakyat Dago Elos, rakyat bukanlah penanda kosong. Rakyat di Dago Elos memiliki keterikatan sejarah, kultural, lahir, dan batin dengan tanah mereka. Di sini, rakyat hadir dengan keringat, air mata, dan darah perjuangan di dalam mempertahankan ruang hidupnya. Rakyat harus berdaulat atas ruang hidupnya.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Jejen Jaelani, atau artikel-artikel lain tentang Kota Bandung

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//