Dua Wajah Kota di Stasiun Bandung
Pemisahan penumpang berdasarkan jarak tempuh antara pintu utara dan pintu selatan di Stasiun Bandung merupakan tindakan segregasi sosial yang diskriminatif.
Jejen Jaelani
Dosen di Institut Teknologi Sumatera, penulis buku Semiotika Kota: Pertarungan Ideologis di Ruang Urban
12 November 2024
BandungBergerak.id – Suatu pagi, setibanya perjalanan dari luar kota saya masuk ke Stasiun Bandung melalui pintu utara, di Jalan Kebon Kawung. Saya harus melanjutkan perjalanan menggunakan kereta lokal menuju Bandung Timur. Sebelum masuk ke stasiun, saya membuka aplikasi pembelian tiket kereta api, melihat jadwal terdekat, dan memutuskan segera membeli tiket. Dari pembelian tiket, saya masih memiliki waktu sekitar sepuluh menit sampai kereta yang akan saya tumpangi tiba.
Masuklah saya melalui pemeriksaan tiket di pintu utara Stasiun Bandung. Akan tetapi, petugas menolak saya masuk karena penumpang kereta api lokal hanya bisa masuk melalui pintu selatan Stasiun Bandung. Saya pun bertanya, ke mana akses terdekat untuk menuju pintu selatan. Petugas pun menunjukkan bahwa saya harus keluar stasiun, belok ke kanan.
Dalam kondisi bingung, dengan sisa waktu yang tinggal sedikit, akhirnya saya berlari sekitar satu kilometer menuju pintu selatan Stasiun Bandung. Keluar stasiun utara, saya harus berlari ke arah kanan menyusuri Jalan Kebon Kawung, belok ke Jalan Otto Iskandardinata di depan Gedung Pakuan, naik ke jembatan penyeberangan di Jalan Kebon Jukut, lalu masuk ke Jalan Stasiun Timur, hingga akhirnya masuk melalui pintu Stasiun Selatan. Dengan waktu yang mepet, akhirnya saya bisa sampai ke pintu selatan Stasiun Bandung dengan terengah-engah dan hampir ketinggalan kereta.
Kondisi ini sebenarnya bisa sangat merugikan para calon penumpang, terutama mereka yang membawa banyak barang, membawa anak-anak, berusia lansia, atau memiliki kondisi disabilitas. Pintu selatan dan pintu utara Stasiun Bandung memiliki akses yang cukup jauh dan tidak mudah, terutama untuk mereka yang memiliki kondisi seperti disebutkan. Ada pemisahan sosial antara kedua area di pintu utara dan pintu selatan.
Baca Juga: Braga Beken dan Kemacetan di Kota Bandung
Daulat Rakyat di Dago Elos
Kota yang Jauh
Aksesibilitas
Pengaturan pintu utara untuk kereta jarak jauh tentu saja bukan tanpa alasan. Dengan jumlah penumpang harian yang mencapai ribuan, pengaturan ini tampaknya dianggap sebagai solusi bagi PT KAI. Memisahkan para penumpang jarak jauh dengan jarak dekat dianggap dapat mengurangi tumpukan penumpang. Sekilas hal ini seakan dapat dipahami.
Akan tetapi, jika ditelisik lebih jauh, pemisahan pintu utara dan selatan berdasarkan jarak tempuh penumpang menyimpan banyak masalah. Pertama, aksesibilitas kedua pintu stasiun ini sangat sulit. Jika Anda berjalan kaki, paling tidak Anda harus menempuh jarak sekitar satu kilometer dengan medan tempuh yang cukup menantang, jika tidak dikatakan sulit. Ketiadaan petunjuk jalan menjadi tantangan pertama yang akan Anda hadapi. Untuk orang yang baru ke Stasiun Bandung atau tidak terlalu mengenal daerah di sekitar Stasiun Bandung, hal ini akan sangat menyulitkan. Berikutnya, jika memutar ke arah jalan Otto Iskandardinata depan Gedung Pakuan, Anda akan menghadapi jembatan penyeberangan yang kondisinya sangat terjal. Bagi orang dalam kondisi sehat, jembatan ini sudah dianggap sangat terjal. Terlebih bagi warga yang memiliki kondisi khusus, seperti membawa banyak barang, membawa anak, orang lanjut usia, orang dengan keadaan sakit, atau orang dengan kondisi disabilitas, jembatan penyeberangan ini ada di dalam status tidak mungkin untuk dilalui. Belum lagi jika di dalam kondisi hujan, ketiadaan plafon dan lantai berupa besi di jembatan ini dapat menjadi licin dan mencelakakan.
Jika Anda mau memutar ke arah Jalan Pasir Kaliki, kondisinya tidak lebih baik. Selain jarak tempuh yang semakin jauh, kondisi jalan dan keamanan menjadi masalah yang juga mengintai para calon penumpang. Bahkan jika Anda menggunakan kendaraan, jalan memutar ke arah pintu selatan atau sebaliknya ini cukup membingungkan.
Segregasi Sosial
Masalah kedua, pemisahan penumpang berdasarkan jarak tempuh ini merupakan tindakan segregasi sosial yang diskriminatif. Pemisahan ruang yang terjadi di Stasiun Bandung, antara pintu utara untuk penumpang jarak jauh dan pintu selatan untuk penumpang jarak dekat merupakan upaya untuk memisahkan kelas sosial. Penumpang jarak jauh ditempatkan sebagai penumpang dengan status “istimewa” sehingga perlu diperlakukan dengan cara istimewa pula.
Kedua area di pintu utara dan selatan ini seakan menyuguhkan dua wajah kota yang berbeda. Secara visual, kondisi kedua area di pintu utara dan selatan ini memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Di pintu utara, Anda akan menemukan informasi, loket, ruang tunggu, lobi, hingga fasilitas pendukung seperti gerai makanan, minimarket, dan musala yang representatif. Selain itu, di area setelah memasuki peron, kondisi fasilitas ruang tunggu yang disediakan pun sangat nyaman. Ditambah, untuk masuk ke area platform kereta, penumpang sudah disediakan jembatan dengan fasilitas yang memadai dan ramah bagi lansia atau penumpang dengan disabilitas.
Sementara itu, di pintu selatan, fasilitas yang disediakan sangat berbeda. Fasilitas ruang tunggu yang disediakan memang ada, tetapi tidak sebagaimana fasilitas ruang tunggu yang ada di pintu utara. Fasilitas-fasilitas pendukung dan penataan lokasi di pintu selatan ini cukup minim.
Faktor kelengkapan dan kenyamanan fasilitas menjadi pembeda utama antara pintu utara dan pintu selatan Stasiun Bandung. Selain itu, hal yang sangat krusial adalah aksesibilitas antara pintu utara dan pintu selatan.
Tidak samanya fasilitas yang diberikan ini menyisakan banyak pertanyaan tentang bagaimana kedua jenis penumpang diperlakukan secara sosial. Pemisahan kedua jenis penumpang melalui pintu stasiun yang berbeda dapat dikategorikan ke dalam segregasi sosial. Bourdieu (2018) menjelaskan bahwa segregasi sosial merupakan penyebab dan akibat dari penggunaan ruang secara eksklusif dan fasilitas yang diperlukan untuk praktik dan reproduksi kelompok yang menempatinya. Menurut Bourdieu, dominasi ruang adalah salah satu bentuk istimewa dari pelaksanaan dominasi, dan manipulasi distribusi kelompok di seluruh ruang selalu melayani manipulasi kelompok.
Penumpang jarak jauh yang dilayani melalui pintu utara diperlakukan secara istimewa. Keistimewaan ini diwujudkan melalui pelayanan, fasilitas, dan kenyamanan yang berbeda. Secara sosial, kelompok penumpang yang dilayani di pintu utara ditempatkan di dalam posisi yang lebih tinggi dan lebih terhormat dibandingkan penumpang kereta lokal yang ditempatkan di pintu selatan. Sementara itu, penumpang kereta api lokal ditempatkan sebagai warga kelas dua dengan kondisi pelayanan yang jauh berbeda dibandingkan di area pintu utara.
Stasiun Bandung seharunya menjadi tempat bagi pelayanan penumpang yang inklusif dan tidak diskriminatif. Baik pintu utara maupun pintu selatan seharusnya dapat digunakan ketika penumpang tiba dan menuju kereta api yang mereka tuju, apakah itu kereta api jarak jauh maupun jarak dekat. PT KAI seharusnya menyediakan akses yang lebih manusiawi dan lebih dapat dijangkau untuk menghubungkan seluruh area di stasiun ini. Adanya skybridge sebagaimana diperuntukkan bagi penumpang jarak jauh seharusnya menjadi solusi untuk menghubungkan kedua area ini. Selain itu, penyediaan fasilitas dengan kualitas yang sama di dua area ini menjadi sebuah keniscayaan karena penumpang, ke mana pun tujuannya, mesti diperlakukan secara istimewa. Penumpang kereta api lokal tidak semestinya diperlakukan sebagai warga kelas dua.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Jejen Jaelani, atau artikel-artikel lain tentang Kota Bandung