Organisasi Masyarakat Sipil Mendesak Hentikan Kriminalisasi terhadap Delpedro Marhaen dan Aktivis Prodemokrasi Lainnya
Delpedro Marhaen dan sejumlah aktivis prodemokrasi ditetapkan sebagai tersangka dengan pasal penghasutan pada pelajar agar demo.
Penulis Yopi Muharam9 September 2025
BandungBergerak - Aktivis prodemokrasi Delpedro Marhaen ditangkap dan dinyatakan sebagai tersangka pasal penghasutan. Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) menyatakan kasus yang menimpa Direktur Eksekutif Lokataru Foundation ini sebagai bentuk kriminalisasi terhadap aktivis yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Penangkapan Delpedro merupakan buntut dari rangkaian demonstrasi sejak 25 Agustus 2025 lalu yang diwarnai kerusuhan. Demonstrasi ini semakin membesar setelah seorang pengemudi ojek online Affan Kurniawan wafat dilindas mobil Brimob.
Setelah sejumlah demonstrasi dan kerusuhan, aparat hukum melakukan sejumlah penangkapan. Fadhil Alfathan, Direktur LBH Jakarta, menyatakan bahwa penegakan hukum terkait demonstrasi bukan upaya murni mencari kebenaran dan keadilan. Menurutnya, ada kepentingan lain untuk menahan para peserta aksi.
“Kami menduga kuat bahwa konstruksi tuduhan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai penghasut, khususnya Delpedro Marhaen dan kawan-kawan, adalah tuduhan yang bersifat konspiratif,” ujar Fadhil, di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) Jakarta, Sabtu, 6 September 2025.
“Pada titik inilah kami sebut sebagai kriminalisasi,” lanjut Fadhil, yang tergabung dengan TAUD.
Ia menilai penyelidikan kasus Delpedro bersifat prematur karena dilakukan secara terburu-buru untuk dijadikan tersangka penghasutan. TAUD mencatat banyak pelanggaran prosedur yang dilakukan oleh kepolisian mulai dari penangkapan sampai dengan penahanan.
Ia juga mengingatkan bahwa terdapat persoalan lebih serius terkait pelanggaran HAM yang dilakukan aparat kepolisian dalam menangani demonstrasi. Masyarakat sipil pun telah mendesak pembentukan tim independen pencari fakta.
“Tapi alih-alih melihat itu sebagai suatu persoalan dan mengusut lebih lanjut, tapi malah menangkap orang-orang yang bersuara di media sosial,” katanya.
Baca Juga: Gema di Taman Film, Aksi Damai Menyuarakan Tuntutan 17+8
Unisba dan Unpad Bersikap: Menolak Kekerasan oleh Aparat, Menuntut Jaminan Kebebasan Bersuara
Diganjar pasal berlapis beserta tersangka lainnya
Delpedro ditangkap pada Senin, 1 September 2025 sekitar pukul 22.45 malam oleh Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya). Amnesty International Indonesia juga merilis bahwa polisi menggeledah ruang kantor Lokataru Foundation tanpa surat penggeledahan.
Salah satu alasan Delpedro ditahan ialah karena unggahan media sosial di akun resmi Lokataru Foundation yang mengimbau pelajar untuk tidak takut untuk melakukan demonstrasi di jalan. Sebelumnya, Delpedro juga aktif mengadvokasi massa aksi yang ditangkap aparat sejak 25 Agustus.
Selain Delpedro, ada lima tersangka lainnya dengan alasan yang sama menyoal penghasutan, yaitu aktivis Syahdan Husein dari gerakan Gejayan Memanggil, mahasiswa Universitas Riau (Unri) dan pegiat media sosial Khariq Anhar, staf Lokataru bernama Muzaffar Salim, serta dua orang lain berinisial RAP dan FL.
Polda Metro Jaya menilai, unggahan yang dilakukan para tersangka sebagai hasutan terhadap anak-anak.
“Ada akun-akun yang mencoba memberikan semangat bahwa anak-anak ini boleh datang ke lapangan, boleh melakukan aksi dan akan dilindungi,” ungkap Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Metro Jaya Ade Ary Syam Indradi, dikutip laman Tempo.
Keenam tersangka dikenakan Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan/atau Pasal 45A ayat 3 juncto Pasal 28 ayat 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan/atau Pasal 76H jo. Pasal 15 jo. Pasal 87 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Penangkapan terhadap Delpedro dan lima aktivis lainnya menambah daftar panjang kriminalisasi aktivis dan peserta aksi unjuk rasa. Per 2 September 2025, LBH-YLBHI mencatat sedikitnya 3.337 orang ditangkap, 1.042 mengalami luka-luka dan dilarikan ke rumah sakit, serta 10 orang meninggal dunia. Data tersebut dihimpun dari berbagai daerah di Indonesia.
Tuntut Pembebasan
Lokataru menyebut penangkapan Delpedro sebagai upaya represif dan mencederai prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Delpedro merupakan warga negara yang memiliki hak konstitusional untuk bersuara, berkumpul, dan menyampaikan pendapatnya.
Lokataru mendesak agar kepolisian membebaskan Delpedro tanpa syarat. Mereka juga mendesak agar aparat menghentikan segala bentuk kriminalisasi, intimidasi, dan kekerasan terhadap warga negara yang menggunakan haknya untuk berekspresi.
“Penangkapan ini menambah daftar panjang praktik represif aparat terhadap masyarakat sipil. Alih-alih menjamin ruang demokrasi, negara justru menggunakan kekuasaan untuk membungkam suara kritis,” demikian siaran pers Lokataru.
Amnesty International Indonesia juga menuntut pembebasan Delpedro beserta sejumlah massa aksi yang ditahan aparat. Amnesty mendesak negara mengoptimalkan pendekatan persuasif dan dialog terhadap pengunjuk rasa, sebagaimana saran Kantor HAM PBB, alih-alih melakukan tindak represif dan penangkapan.
“Kami menyesalkan bertambahnya jumlah kematian terkait unjuk rasa pekan lalu, begitu pula dengan penangkapan Delpedro Marhaen di Jakarta, Khariq Anhar di Banten, Syahdan Husein di Bali dan dua pendamping hukum dari YLBHI masing-masing di Manado dan Samarinda,” ungkap Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia seperti dikutip dari laman resmi.
Namun, Usman menyesalkan negara malah memilih pendekatan otoriter dan represif daripada demokratik dan persuasif. Tuduhan yang dikenakan pun memakai pasal-pasal karet yang selama ini dikenal untuk membubuhkan kritik.
“Ini harus dihentikan. Bebaskanlah mereka,” tandas Usman.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB