• Berita
  • Gema di Taman Film, Aksi Damai Menyuarakan Tuntutan 17+8

Gema di Taman Film, Aksi Damai Menyuarakan Tuntutan 17+8

Aksi damai di Taman Film, Bandung mengingatkan bahwa tuntutan 17+8 sudah jatuh tempo. Menunggu pemenuhan oleh negara.

Aksi damai Deadline Day 17+8 Tuntutan Rakyat Lemonade Party, berkumpul di Taman Film, Kota Bandung, Sabtu, 6 September 2025. (Foto: Nabilah Ayu Lestari/BandungBergerak)

Penulis Iklima Syaira 9 September 2025


BandungBergerak -  Di tengah riuh kritik terhadap kebijakan negara, mahasiswa Unpas dan elemen masyarakat lainnya menggelar aksi damai di taman film dengan tajuk Deadline Day 17+8 Tuntutan Rakyat, Lemonade Party, Taman Film, Bandung, Sabtu, 6 September 2025. Selain menyuarakan tuntutan 17+8tuntutan, aksi ini menekankan semangat kebersamaan dan mengembalikan persatuan rakyat untuk menolak kekerasan yang dilakukan aparat selama aksi akhir Agustus sampai awal September 2025 lalu.

Lewat acara Lemonade Party, aksi damai ini dimulai pukul 1 siang dengan beberapa agenda seperti diskusi, bermain game hingga orasi. Aksi ini dilakukan untuk merangkul kawan-kawan yang merasa resah dan ragu untuk mengikuti aksi, sekaligus merangkul perempuan-perempuan untuk tetap mendapatkan ruang aman dalam bersuara.

Salah satu peserta aksi yang juga dosen Unpas Tino Rila Sebayang dalam orasinya mengatakan, perempuan bisa bersuara, bergerak, dan melawan layaknya laki-laki. Jika dahulu perempuan sering termarjinalkan di ruang politik tapi hari ini mereka telah membuktikan keberadaannya mampu melangkah beriringan dengan laki-laki. Perempuan-perempuan dan kawan-kawan lain yang menghadiri aksi tersebut baginya adalah pertanda Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

“Negeri ini memang sudah zalim bukan hari ini saja, negeri ini sudah zalim dari sejak republik ini ada” ujar Tino.

Aksi Lemonade Party dan dan aksi-aksi sebelumnya membuktikan bahwa rakyat menuntut pembenahan menyeluruh terhadap kebijakan-kebijakan tidak prorakyat. Gelombang aksi yang terjadi sejak 25 Agustus bukan semata-mata karena kecacatan dari satu kebijakan, melainkan sebuah ledakan bom waktu yang dialami masyarakat setelah menahan banyaknya kebobrokan di republik ini.

Levi, peserta aksi lainnya, mengatakan semua kekacauan ini terjadi dari munculnya berbagai regulasi seperti RUU Polri hingga RUU KUHAP.

“Dari 17+8 itu bisa mengantarkan kita untuk menyelesaikan tuntutan-tuntutan yang buat resah masyarakat, tapi kita harus menyelami juga akar-akarnya,” ujar Levi dari UKSK UPI kepada BandungBergerak.

Ia juga menyoroti aksi-aksi demonstrasi yang berujung mendapatkan kekerasan aparat. Peristiwa tersebut menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan masyarakat untuk menyuarakan pendapat di muka umum.

“Kalau ga bisa turun ke jalan, maka beradalah di tengah masyarakat lalu suarakan dengan cara yang kita bisa. Misalkan, para seniman dengan seni-seninya terus orang yang bergiat di sosial media dengan sosial medianya,” ujar Levi.

Aksi damai Deadline Day 17+8 Tuntutan Rakyat Lemonade Party, berkumpul di Taman Film, Kota Bandung, Sabtu, 6 September 2025. (Foto: Nabilah Ayu Lestari/BandungBergerak)
Aksi damai Deadline Day 17+8 Tuntutan Rakyat Lemonade Party, berkumpul di Taman Film, Kota Bandung, Sabtu, 6 September 2025. (Foto: Nabilah Ayu Lestari/BandungBergerak)

Menghargai Perjuangan

Peserta aksi Lemonade Party membentuk lingkaran. Masing-masing peserta memandang mata satu sama lain sambil mengangkat kertas yang berisikan tulisan-tulisan kritis dan sarkas. Semua hadir dengan perasaan yang sama, marah.

“Saya tadinya mau marah seperti orasi-orasi di tempat lain, tapi saya terlalu lucu untuk marah. Tapi juga saya terlalu marah untuk melucu,” ujar Ganda Hutama, dosen Unpas, saat berorasi.

Menurutnya, masalah di republik ini tidak hanya yang tertera pada 17+8 tuntutan rakyat.

“Bayangkan ketika semua orang senang-senang di istana. Di Sukabumi balita tewas bukan karena cacing dan kemiskinan, tapi karena kemiskinan yang diciptakan, yang diikhtiarkan oleh negara,” katanya.

Ia mengingatkan bahwa perlawanan bisa dilakukan dengan cara apa saja tanpa harus menimbulkan kekerasan, kekacauan atau tindakan meresahkan lainnya.

Tri Yoga Wibisino, alumni HI Unpas, mengatakan aksi ini sebagai wujud penghormatan terhadap langkah kawan-kawan yang telah lebih dulu turun ke jalan, yang melawan rasa takut dan membiarkan tetes darahnya mengalir demi menyampaikan apa yang rakyat derita.

“Kita tidak berusaha mereduksi, mendegradasi maupun mengkali nol aksi lainnya. Kita berdampingan memberi aksi, hanya memang konsepnya aja yang bervariatif. Tapi kawalan aksinya tuntutannya sama 17+8 ini,” katanya.

Menurutnya, aksi damai hari ini dapat dibaca sebagai bagian dari rangkaian perlawanan yang berkesinambungan, bukan sebagai tandingan apalagi penyangkalan terhadap aksi-aksi sebelumnya.

Baca Juga: Unisba dan Unpad Bersikap: Menolak Kekerasan oleh Aparat, Menuntut Jaminan Kebebasan Bersuara
Sepuluh Tuntutan Warga Dago Elos: Meminta Negara Mendengarkan Kritik dari Rakyat

Poster aksi damai Deadline Day tuntutan 17+8 di Taman Film, Kota Bandung, Sabtu, 6 September 2025. (Foto: Nabilah Ayu Lestari/BandungBergerak)
Poster aksi damai Deadline Day tuntutan 17+8 di Taman Film, Kota Bandung, Sabtu, 6 September 2025. (Foto: Nabilah Ayu Lestari/BandungBergerak)

Rakyat tidak Melawan Rakyat

Aksi massa perlu dipandang sebagai upaya untuk menyuarakan keresahan yang dirasakan semua elemen masyarakat terhadap kebijakan negara. Bukan untuk menciptakan perpecahan di antar sesama rakyat.

Namun banyak narasi yang muncul seolah-olah demonstrasi hanya menimbulkan keributan di jalan. Hal ini mengaburkan tujuan utama aksi yang semestinya dilayangkan pada pemerintah dan lembaga negara.

Dengan menolak anggapan bahwa unjuk rasa adalah bentuk permusuhan, Yoga menyampaikan dalam situasi ini perlu digaungkan rakyat bantu rakyat.

“Kalau itu masih rakyat ya kita bela, kita bantu. Banyak kekurangannya, pasti. Aksi hari ini pun Lemonade Party gak sempurna tapi ada bare minimum disitu ya rakyat saling bantu rakyat, rakyat jaga rakyat, warga jaga warga,” ujarnya.

Yoga mengatakan, rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi. Rakyat berhak marah, meminta, dan menyuarakan tanggung jawab pemegang kekuasaan yang abai.  

Sebagai pemagang kedaulatan tertinggi, rakyat sudah seharusnya merapatkan barisan untuk satu suara melawan ketidakadilan. 

“Kita sedang tidak melawan rakyat,” kata Yoga.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//