Aku, Kamu, Kalian Adalah Tempo: Diskusi di Bandung yang Ditutup dengan Deklarasi Tim Advokasi Jurnalis Independen (TAJI)
Gugatan Menteri Pertanian Amran Sulaiman terhadap Tempo dinilai sebagai bentuk pembredelan gaya baru dan ancaman serius bagi kebebasan pers di Indonesia.
Penulis Yopi Muharam10 November 2025
BandungBergerak - Gugatan Menteri Pertanian Amran Sulaiman terhadap Tempo dinilai sebagai bentuk pembredelan gaya baru dan ancaman serius bagi kebebasan pers di Indonesia. Perlawanan terhadap upaya ini muncul lewat diskusi bertajuk “Aku, Kamu, Kalian Adalah Tempo” di Bandung, yang ditutup dengan deklarasi Tim Advokasi Jurnalis Independen (TAJI) sebagai bentuk solidaritas dan langkah advokasi bagi jurnalis.
Amran menggugat Tempo secara perdata senilai 200 miliar rupiah, menuduh media itu melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak sepenuhnya menjalankan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers atas sampul berita bertajuk “Poles-Poles Beras Busuk”.
Menanggapi hal itu, para jurnalis menyatakan dukungan bagi Tempo. AJI Bandung bersama LBH Bandung dan LION menggelar diskusi di Kedai Jante, Bandung, Sabtu, 8 November 2025. Diskusi menghadirkan narasumber Ketua AJI Bandung Iqbal Tawakal, Direktur LBH Bandung Heri Pramono, dan Ajat Sudrajat dari LION.
Iqbal menyebut kasus ini menjadi peringatan bagi kebebasan pers. Ia menilai gugatan tersebut sebagai bentuk pembungkaman.
“Karena ini adalah cara baru bagaimana pihak-pihak yang anti-kritik melakukan perlawanan,” ujarnya.
Menurut Iqbal, Tempo telah menjalankan rekomendasi Dewan Pers dengan mengganti tajuk menjadi “Main Serap Gabah Rusak.” Namun Amran tetap melayangkan gugatan perdata. Langkah Amran dinilai sebagai upaya membungkam media.
“Nah, ini adalah pukulan telak bagi industri media, karena mungkin Mentan mengetahui sisi lemah media itu sekarang adalah di sektor ekonominya,” ujarnya.
Baca Juga: Hari Kebebasan Pers Sedunia 2022, Lemahnya Komitmen Negara dalam Melindungi Pers
Solidaritas untuk Tempo Melawan Gugatan 200 Miliar Rupiah oleh Menteri Pertanian Amran Sulaiman

Pembredelan
Heri Pramono menyebut gugatan ini sebagai bentuk pembungkaman oleh pemerintah. Ia menegaskan penyelesaian sengketa berita seharusnya ditempuh melalui Dewan Pers sesuai dengan UU Pers.
“Kalau ketika melihat secara undang-undang tentang Pers segala yang berkaitan dengan pemberitaan yang tidak sesuai dengan faktanya misalkan atau tidak ada kepuasan terhadap pemberitaan tersebut ya seharusnya dilakukan oleh Komisi secara Dewan Pers itu sendiri,” terangnya.
Menurut Heri, langkah hukum yang diambil Menteri Pertanian ini menunjukkan sikap antikritik. Tindakan ini berbahaya bagi demokrasi.
“Ini menjadi alarm dan menjadi preseden buruk ke depannya,” tuturnya. “Ini bakal berpengaruh bagi kebebasan berpendapat dan berekspresi.”
Heri juga menyoroti ancaman terhadap keselamatan jurnalis. Kasus Tempo dikhawatirkan menimpa juga media-media lain yang kritis terhadap pemerintah. Gugatan terhadap media akan berdampak pada para jurnalisnya.
Gugatan ini dinilai akan memperburuk indeks kebebasan pers di Indonesia. Data Reporters Without Borders (RSF) menunjukkan pada 2025 Indonesia turun ke peringkat 127 dari 180 negara, turun dari posisi 111 pada 2024 dan 108 pada 2023. AJI Indonesia juga mencatat hingga 3 Mei 2025 terdapat 38 kasus kekerasan terhadap jurnalis, dengan 75,1 persen jurnalis mengaku pernah mengalami kekerasan fisik maupun digital.
Kasus Tempo Bisa Menimpa Siapa Saja yang Kritis
Kasus gugatan terhadap Tempo mencerminkan pola pembungkaman yang dapat menimpa siapa saja yang bersuara kritis. Hal serupa dialami Ajat Sudrajat, aktivis dari Local Initiative for OSH Network Indonesia (LION), yang digugat oleh Asosiasi Pabrik Semen Fiber atau Asosiasi Manufaktur Fiber Cement Indonesia (FICMA).
Gugatan tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai perbuatan melawan hukum terhadap Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Yasa Nata Budi serta sejumlah aktivis, antara lain Ajat, Leo Yoga Pranata, dan Dhiccy Sandewa.
Perkara ini muncul setelah Mahkamah Agung memenangkan LPKSM Yasa Nata Budi dalam uji materi (judicial review) terhadap Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25 Tahun 2021. Putusan tersebut mewajibkan produk asbes mencantumkan label peringatan bahaya dalam bahasa Indonesia untuk memberi informasi jelas kepada konsumen mengenai risiko kesehatan akibat asbes.
Atas kemenangan itu, Ajat dan rekan-rekannya justru digugat secara perdata senilai 7,98 triliun rupiah. Padahal uji materi tersebut bagian dari hak warga negara untuk mengajukan uji materiil terkait Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1991 tentang Perlindungan Konsumen, namun justru digugat balik.
“Kami sudah melalui jalur legal, tapi kami tiba-tiba digugat ke perdata. Mirip dengan apa yang dialami oleh Tempo,” ujar Ajat.
Selain tuntutan ganti rugi triliunan rupiah, mereka juga diminta menurunkan pemberitaan terkait bahaya asbes yang telah terbit. Para aktivis juga dituntut meminta maaf secara terbuka atas kampanye mereka mengenai bahaya asbes bagi kesehatan.
Ajat menegaskan, kasus yang dihadapinya bisa menimpa siapa pun yang kritis terhadap kebijakan publik.
“Tapi juga kepada semua orang yang ingin mengkampanyekan, memberikan informasi, apalagi kawan-kawan jurnalis memberitakan sebuah kebenaran atau sebuah berita apa pun,” tandasnya.
Maka, Ajat mengajak seluruh elemen masyarakat bersolidaritas atas kasus yang menimpa Tempo, agar bentuk pembungkaman era baru ini tidak terus berulang terhadap warga yang menyuarakan kritik. Dia menekankan pentingnya keberanian publik menghadapi tekanan.
“Karena ketakutan itu menular, begitupun keberanian,” tutupnya.
Deklarasi Tim Advokasi Jurnalis Independen (TAJI)
Diskusi “Aku, Kamu, Kalian Adalah Tempo” ditutup dengan pernyataan sikap solidaritas untuk Tempo sekaligus deklarasi kembali Tim Advokasi Jurnalis Independen (TAJI). Deklarasi ini berupa pernyataan sikap sebagai berikut:
- Gugatan hukum dan serangan digital terhadap Tempo adalah bentuk nyata ancaman terhadap kebebasan pers, yang dapat menimbulkan efek jera (chilling effect) bagi media lain.
- Tindakan ini menciptakan preseden buruk: bahwa pejabat publik dapat menggunakan kekuasaan dan sumber daya negara untuk membungkam kritik dan mengontrol narasi publik.
- Kebebasan pers adalah fondasi demokrasi. Tanpa pers yang bebas dan independen, publik kehilangan hak untuk mengetahui dan menilai kinerja pemerintah.
- Pemerintah seharusnya menghormati mekanisme Dewan Pers, bukan menempuh jalur hukum yang berpotensi mengkriminalisasi kerja jurnalistik.
- Kami menolak segala bentuk intimidasi, pembungkaman, dan upaya memiskinkan media sebagai strategi untuk menghilangkan suara kritis.
- Kami menolak segala bentuk SLAPP terhadap jurnalis, media, maupun masyarakat sipil, karena praktik semacam ini digunakan untuk menekan suara kritis dan mengaburkan akuntabilitas kekuasaan.
Tim Advokasi Jurnalis (TAJI) merupakan wadah advokasi bagi jurnalis yang menghadapi persoalan hukum, kekerasan, ancaman, maupun kriminalisasi dalam menjalankan tugas jurnalistik. Tim ini beranggotakan sejumlah lembaga, di antaranya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Jawa Barat, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Bandung, dan pengacara publik lainnya.
TAJI: Advokasi untuk Kebebasan Pers dan Perlindungan Jurnalis
Sejak terbentuk, TAJI aktif memberikan pendampingan hukum bagi jurnalis dan pekerja media yang mengalami pelanggaran hak atau represi. Sejumlah kasus yang didampingi TAJI di antaranya:
Pada 2017, TAJI menjadi kuasa hukum Zaky Yamani Yamani dalam perkara perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) melawan PT Pikiran Rakyat Bandung. Kasus ini terdaftar dengan Nomor 156/Pdt.Sus-PHI/PN.Bdg/2017 di Pengadilan Hubungan Industrial Bandung (LBH Bandung.
TAJI menilai PHK yang dilakukan perusahaan melanggar hukum karena dilakukan ketika Zaky tengah sakit.
“PT Pikiran Rakyat Bandung telah melakukan alih tugas Zaky Yamani Yamani tanpa adanya pertimbangan kondisi kesehatan dan beban kerja yang harus diterima Zaky Yamani,” demikian keterangan resmi LBH Bandung.
TAJI menilai PHK sepihak tersebut melanggar Pasal 153 dan Pasal 172 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pada 2019, TAJI mendampingi fotografer dan jurnalis lepas di Bandungyang mengalami kekerasan aparat saat meliput perayaan Hari Buruh Internasional di Bandung, 1 Mei 2019. Keduanya melaporkan peristiwa itu ke Propam 2 Mei 2019.
Dalam laporan tersebut, TAJI menilai tindakan aparat yang melakukan kekerasan dan menghapus foto-foto hasil liputan merupakan tindak pidana. TAJI menyebut oknum aparat diduga melanggar Pasal 351 ayat (1) dan (2) KUHP tentang penganiayaan, serta Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang mengatur larangan menghalangi kerja jurnalistik.
Kronologi kasus ini diawali saat kedua jurnalis foro memotret polisi yang memukuli massa di sekitar Jalan Dipatiukur. Ketika memindahkan posisi liputan, salah satu jurnalis “dipiting oleh seorang anggota polisi”. “Sebelum kamera diambil juga udah ditendang-tendang. Saya mempertahankan kamera saya. Sambil bilang saya jurnalis,” kata jurnalis yang mengalami luka memar di kaki.
Jurnalis lainnya disekap oleh tiga polisi dan foto-fotonya dihapus. Salah satu polisi bahkan mengatakan, “Mau diabisin?” demikian dikutip dari laman LBH Bandung.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

