• Berita
  • Linger: Ketika Keheningan Foto Cibadak Menyimpan Jejak

Linger: Ketika Keheningan Foto Cibadak Menyimpan Jejak

Pameran dan zine foto Linger merekam pagar, pintu, dan warna-warna yang menyala di Bandung. Jejak ujian bagi kemanusiaan yang tumbuh kembali.

Pameran dan Presentasi Seniman Residensi Bandung Photography Month 10 di Red Raws Center, Pasar Antik Cikapundung, Minggu, 26 Oktober 2025. (Foto: Riyan D Aprillyana/BandungBergerak)

Penulis Ryan D.Afriliyana 11 November 2025


BandungBergerak - Foto-foto bertajuk Linger menempel di dinding pameran. Pengunjung diajak menyaksikan pemukiman etnis Tionghoa di Bandung, terutama di kawasan Cibadak. Tampak pagar-pagar tinggi berujung tajam, beberapa bahkan berkawat berduri, dan pintu-pintu rapat yang digembok.

Linger menunjukkan keheningan tak kasat mata tentang ikatan kemanusiaan yang pernah retak di suatu masa, meski kemudian tumbuh kembali seperti tercermin dalam warna-warna kontras merah dan kuning. Menyala.

Tahun 1963 dan 1973, krisis ekonomi menerjang tanah air. Bandung terkena imbasnya. Di saat orang-orang mengalami kesulitan finansial secara massal, sebuah kesalahpahaman bisa memicu ledakan. Di tahun tersebut kekerasan rasial terhadap warga Tionghoa pecah.

Namun “Linger” tidak hendak menyorot luka di masa lalu. Ia menghadirkan daya tahan manusia dengan ingatan dan kebersamaannya di kampung kota yang penuh keberagaman.

Fitri Amanda, salah seorang fotografer dalam proyek ini, menjelaskan bahwa Linger berusaha mengangkat jejak-jejak peristiwa kekerasan terhadap Tionghoa di masa lalu melalui potret kekinian. Foto ini hasil kerja kolaboratif dengan Annisa Rahma Putri, M Aldy Fahriansyah, dan Amanda sendiri.

Amanda dkk telah melakukan observasi lapangan untuk menggarap Linger. Mereka mendatangi kawasan etnis Tionghoa di Bandung dan menemukan pola permukiman yang khas, seperti pagar tinggi sebagaimana terekam dalam foto-foto mereka.

"Hal ini memunculkan pertanyaan. Apakah si pagar-pagar rumah ini memang bentuk respons dari dua peristiwa sebelumnya atau ya memang ada alasan lain gitu," tutur Amanda, di acara diskusi pameran di Red Raws Center, Pasar Antik Cikapundung, Minggu, 26 Oktober 2025.

Aldy menambahkan, Linger menggambarkan simbol-simbol yang ditafsirkan terkait dengan masa lalu. Menurutnya, kawat berduri, misalnya merepresentasikan memori dan trauma. Begitu juga dengan warna merah dan kuning.

"Warna merah pada karya melambangkan sakit. Dan juga rasa trauma masa lalu yang tergambarkan dari duri-duri tersebut," ungkap Aldy.

Warna kuning, lanjut Aldy, menggambarkan rasa tidak aman dan nyaman. Ini dipertegas dengan foto pintu-pintu yang tertutup.

Fotografer lainnya, Annisa menimpali, foto-foto Linger mengingatkan pada leluhurnya. Mereka membangun rumah dengan pagar tinggi-tinggi.

"Nenek aku itu orang Tionghoa, lalu nikah dengan kakek aku yang orang Jawa. Nah, rumah-rumah kakek aku tuh dibikinin pagar-pagar tinggi gitu," ucap Annisa.

Diskusi tentang Pameran dan Presentasi Seniman Residensi Bandung Photography Month 10 di Red Raws Center, Pasar Antik Cikapundung, Minggu, 26 Oktober 2025. (Foto: Riyan D Aprillyana/BandungBergerak)
Diskusi tentang Pameran dan Presentasi Seniman Residensi Bandung Photography Month 10 di Red Raws Center, Pasar Antik Cikapundung, Minggu, 26 Oktober 2025. (Foto: Riyan D Aprillyana/BandungBergerak)

Krisis Ekonomi

Selain dipamerankan, “Linger” juga dicetak dalam bentuk zine fotografi. Zine ini memaparkan latar belakang krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia era 1960. Harga bahan pokok melambung, pekerjaan sulit, dan ketimpangan sosial tampak begitu nyata.

Dalam situasi itu, satu kesalahpahaman dan prasangka bisa menyalakan api yang menguji sendi-sendi kemanusiaan. Kehidupan orang Tionghoa dianggap lebih makmur dengan usaha dagangnya, meski ada fakta bahwa tidak semua orang Tionghoa kaya. Mereka juga menjadi korban kebijakan diskriminatif sehingga hanya bisa bergerak di sektor perdagangan.

Zine Linger mencatat, kekerasan terhadap Tionghoa di Bandung yang terjadi pada Mei 1963 dipicu oleh perkelahian kecil antarmahasiswa. Kesalahpaham ini kemudian berembus dan membesar. Permukiman Tionghoa pun menjadi sasaran amuk. Peristiwa serupa terjadi sepuluh tahun kemudian, 5 Agustus 1973 di Jalan Astanaanyar.

Untuk Diingat

Ryzka, salah satu pengunjung pameran, mengaku ini kali pertamanya menghadiri pameran fotografi. Ia tertarik pada konsep pameran yang sejak awal membuatnya penasaran. Setelah membaca penjelasan karya, ia menyadari bahwa foto-foto yang dipamerkan menyinggung peristiwa-peristiwa masa lalu yang sensitif.

"Terus aku mulai mikir kayak apa itu ada beberapa foto yang memang di-blur dan tidak dapat dilihat tapi kita tuh harus selalu mengingat hal tersebut gitu. Harus kayak dulu tuh ada insiden ini loh gitu," ujarnya.

Pengunjung lain, Dinan, juga mengaku baru pertama kali datang ke pameran fotografi. Ia menilai konsep pameran ini unik dan menyentuh isu lama yang masih relevan.

“Isunya udah lama dilupain juga, tapi bagi sebagian orang itu masih menjadi luka. Apalagi yang kejadian tahun 63 dan 73 itu,” ujarnya.

Baca Juga: Bandung Photography Month 2024, Memaknai Tanah Air dalam Bingkai Fotografi
Pameran Bandung Photography Month 2025

Realitas Publik dari Kacamata Pejalan Kaki

Selain dipamerankan, “Linger” juga dicetak dalam bentuk zine fotografi. Proyek ini bagian dari Bandung Photography Month edisi ke-10 bertajuk "absen". Praktik dari Bandung Photography Month berupa program residensi secara mandiri. Peserta residensi, Amanda dkk diberi kesempatan untuk mengeksplorasi isu-isu sosial yang relevan melalui medium fotografi.

Puncak residensi adalah Pameran dan Presentasi Seniman Residensi Bandung Photography Month #10 di Red Raws Center, Pasar Antik Cikapundung. Ada dua proyek residensi yang ditampilkan, yakni "Linger" dan "Today I Walked, But Damn" karya Hanna Mariam, seniman dari Yogyakarta.

Hanna menghadirkan proyek "Today I Walked, But Damn" yang merespons komunitas atau beberapa orang yang sering membagikan foto-foto pemandangan kaki yang estetik dan tanpa cela. Melalui karyanya Hanna merasa foto-foto tersebut tidak merepresentasikan realitas ruang publik yang sebenarnya.

"Mungkin kalau teman-teman yang pernah main Twitter atau X, kalian bisa melihat pemandangan dan kaki dari teman-teman berbagai belahan dunia dan terlihat estetik," tutur Hanna.

Sebagai seorang pejalan kaki yang sering menggunakan transportasi umum, Hanna sering menemukan hal-hal yang tidak menyenangkan. Proyek ini melibatkan riset dan pengalaman pribadi yang dikerjakan sejak Maret hingga September, dengan mengambil foto pada tujuh titik di Yogyakarta, termasuk tempat-tempat wisata seperti Malioboro.

Hanna membutuhkan 7.000 langkah per hari selama dua minggu untuk mengumpulkan materi. Karyanya disajikan dalam bentuk zine yang mencoba menggunakan pendekatan X di mana pengunjung dapat memberikan komentar langsung pada karyanya.

"Nanti kalau kalian lihat karyanya itu bisa di-scroll gitu, mungkin kalau teman-teman pengin komen tinggal ditulis aja, misalkan pakai username apa kayak ngarang juga enggak apa-apa," ungkap Hanna.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//