Pahlawan Tanpa Dosa, Korban Tanpa Nama: Komedi Gelap dari Negeri Bernama Indonesia
Kita hidup dalam narasi yang membingungkan, di mana pelaku bisa dijadikan teladan, sementara korban hanya dijadikan simbol belas kasihan.

Herlin Septiani
Warga Bandung yang senang menulis
14 November 2025
BandungBergerak.id – Sejarah Indonesia kembali terasa seperti panggung absurd. Pada 10 November 2025, pemerintah resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, sosok yang selama lebih dari tiga dasawarsa menjadi simbol kekuasaan otoriter dan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dalam daftar penerima yang sama, ada pula nama Marsinah, buruh perempuan yang dibunuh secara keji pada 1993 karena menuntut keadilan bagi rekan-rekannya. Dua nama yang seharusnya terpisah oleh garis moral dan sejarah kini berdiri sejajar di altar penghormatan negara.
Dalam pernyataan resmi, pemerintah menyebut Soeharto sebagai tokoh yang berperan besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan nasional. Namun di balik narasi “pembangunan” itu, jejak kekerasan yang menyertai kekuasaannya sulit dihapus. Berbagai media internasional, seperti The Guardian dan Reuters, mencatat bahwa banyak aktivis serta kelompok HAM menilai keputusan ini sebagai upaya “memutihkan sejarah”. Di Jakarta dan Yogyakarta, kelompok sipil turun ke jalan membawa poster bertuliskan “Hentikan pencucian sejarah” sebuah protes yang terdengar seperti jeritan masa lalu yang belum selesai.
Ironi ini sangat mencolok, di satu sisi, negara memberi mahkota kehormatan pada penguasa yang meninggalkan luka kolektif, tetapi di sisi lain, negara juga memuji korban dari sistem yang ia bangun, seolah-olah dengan memberi gelar “pahlawan” semua dosa telah terhapus. Padahal luka itu tetap menganga dan darahnya belum kering dalam ingatan bangsa.
Baca Juga: Absennya Verifikasi Kausalitas Bukti dalam Putusan Praperadilan Delpedro Marhaen
Cacat Gelar Pahlawan Soeharto
Gelar Pahlawan Nasional Soeharto dan Reformasi 1998
Luka Kolektif yang Belum Disembuhkan
Soeharto naik ke tampuk kekuasaan melalui tragedi 1965, sebuah masa di mana ratusan ribu orang dibunuh atas tuduhan terlibat dalam gerakan komunis. Berbagai penelitian memperkirakan korban mencapai setengah juta jiwa, suatu pembunuhan massal yang dilakukan secara sistematis dengan keterlibatan militer dan aparat negara.
Orang-orang ditangkap tanpa pengadilan, disiksa, dibuang ke penjara atau kamp kerja paksa seperti Pulau Buru. Generasi mereka dicap “eks-tapol”, hidup dalam stigma dan ketakutan selama puluhan tahun.
Luka berikutnya menganga di Timor Timur. Invasi Indonesia pada 1975 di bawah komando Soeharto menewaskan lebih dari seratus ribu warga sipil, sebagaimana tercatat dalam laporan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Timor Timur (CAVR). Pembunuhan, pemerkosaan, kelaparan, dan pengungsian massal menjadi harga yang harus dibayar atas ambisi politik. Namun hingga kini, tak ada satu pun jenderal atau pejabat tinggi yang dimintai pertanggungjawaban.
Memasuki tahun 1990-an, represi terhadap aktivis, buruh, dan mahasiswa semakin keras. Marsinah menjadi salah satu korban yang paling dikenal, ada juga para korban penculikan aktivis 1997–1998, yang mana sebagian masih hilang tanpa kabar. Ada korban kerusuhan Mei 1998, warga keturunan Tionghoa yang diperkosa, dibakar, dan juga dibunuh di tengah kekacauan. Ada petani, jurnalis, dan warga sipil di Aceh dan Papua yang juga menjadi korban kekerasan aparat. Semua itu terjadi di bawah struktur kekuasaan yang sama, di bawah nama stabilitas dan keamanan.
Kini, ketika negara mengangkat Soeharto sebagai pahlawan, apa kabar mereka yang mati tanpa nisan dan yang hidup tanpa keadilan? Apakah penghargaan itu juga ditujukan kepada keluarga korban 1965 yang masih menunggu pengakuan? Atau kepada ibu-ibu di yang kehilangan anaknya dan hanya punya kenangan pada batu nisan tanpa nama?
Antara Penghormatan dan Pengkhianatan Ingatan
Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan bukan sekadar keputusan simbolik, tetapi juga pernyataan politik bahwa kekuasaan bisa menulis ulang sejarah sesuai kehendaknya. Ketika pelaku diangkat dan korban dilupakan, bangsa ini sedang menguji batas kewarasan moralnya sendiri. Negara tampak berusaha menenangkan luka masa lalu bukan dengan kejujuran, melainkan dengan penghormatan palsu.
Pemberian gelar kepada Marsinah tampak seperti upaya menenangkan nurani publik tanpa menghadirkan keadilan yang nyata. Komnas HAM sendiri menyebut bahwa meski Marsinah telah diberi gelar pahlawan, hak atas kebenaran dan keadilan dalam kasusnya belum pernah dipenuhi. Artinya, penghargaan itu tidak menutup luka, justru menegaskan bahwa luka itu masih terbuka.
Paradoks ini menunjukkan betapa mudahnya bangsa ini memaafkan tanpa pernah menuntut tanggung jawab. Soeharto diingat karena pembangunan, tetapi jarang disebut sebagai arsitek ketakutan. Marsinah dan korban lainnya diingat karena keberanian, tapi tidak pernah diberi keadilan yang sepadan. Kita hidup dalam narasi yang membingungkan, di mana pelaku bisa dijadikan teladan, sementara korban hanya dijadikan simbol belas kasihan.
Mungkin inilah ironi paling getir dari republik ini, ketika sejarah dijadikan panggung kosmetik moral, ketika luka dijadikan hiasan kenegaraan, dan ketika bangsa lebih rela melupakan daripada menatap kebenaran yang pahit.
Sebab pada akhirnya, gelar pahlawan tanpa pertanggungjawaban hanyalah nama kosong di atas luka yang belum kering. Selama kebenaran belum diucapkan, bangsa ini tidak sedang menghormati sejarah, melainkan ia sedang mengkhianatinya.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

