• Opini
  • Gelar Pahlawan Nasional Soeharto dan Reformasi 1998

Gelar Pahlawan Nasional Soeharto dan Reformasi 1998

Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan nasional, sama dengan memberikan cap penjahat kepada reformis yang telah menurunkan Soeharto dari kursi kekuasaannya.

Rihan Pratama

Sarjana Hukum Tata Negara

Soeharto, Presiden kedua RI, dalam film Exile tentang tragedi 1965 di SMA Negeri 3 Bandung, Selasa, 10 September 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

11 November 2025


BandungBergerak.id – Ketika pengusulan pemberian gelar pahlawan nasional pada Presiden ke-2 RI Soeharto kembali dilemparkan oleh Kementerian Sosial, saya baru saja menyelesaikan novel The Old Man and The Sea, karya Ernest Hemingway. Di novel itu, Hemingway menceritakan seorang kakek bernama Santiago yang berprofesi sebagai nelayan. Selama delapan puluh empat hari berlayar, Santiago tidak sekalipun berhasil menangkap ikan. Namun, di hari ke delapan puluh lima, yang dia yakini sebagai angka keberuntungan, dia mendapatkan seekor ikan marlin yang besarnya melebihi perahunya.

Menghadapi ikan marlin yang begitu besar, Santiago membutuhkan waktu tiga hari tiga malam untuk menaklukkannya. Setelah berhasil menaklukkan marlin, Santiago menempatkan ikan besar itu di samping kapalnya dan berlayar dengan rasa bangga. Akan tetapi, sebelum menyentuh daratan, perahu Santiago berkali-kali didatangi oleh ikan hiu yang memangsa marlin tangkapannya sampai habis dan hanya menyisakan tulang saja. Santiago dalam hal ini merasa kalah.

Apa yang diceritakan Hemingway dalam novel itu, membuat saya kembali mengingat Reformasi 1998. Saat itu para reformis yang terdiri dari masyarakat, mahasiswa, dan akademisi berhasil menurunkan rezim otoritarianisme Orde Baru Soeharto.

Reformis, tidak hanya fokus menurunkan Soeharto dari kursi kepresidenan. Mereka juga mencantumkan beberapa tuntutan seperti adili Soeharto dan kroni-kroninya, ciptakan pemerintah yang bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), hapuskan Dwifungsi ABRI, tegakkan supremasi hukum, dll.

Tuntutan tersebut tidak sepenuhnya dilaksanakan pemerintah, beberapa saja yang dilaksanakan seperti penghapusan Dwifungsi ABRI, pembentukan KPK sebagai wujud serius untuk menciptakan pemerintah yang bersih dari KKN, melaksanakan amandemen UUD 1945, dan menegakkan supremasi hukum.

Namun, menginjak dua puluh tujuh tahun, tuntutan Reformasi 1998 hampir semuanya ditelanjangi oleh rezim penguasa. Mulai dari pelemahan KPK, kembalinya Dwifungsi TNI, hingga puncaknya pengusulan pemberian gelar pahlawan nasional pada Soeharto.

Pelemahan KPK dan kembalinya Dwifungsi TNI, sudah dilegitimasi dengan UU No. 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan UU No. 3 tahun 2005 tentang Tentara Nasional Indonesia. Sekarang permasalahan baru muncul, Kementerian Sosial mengusulkan Soeharto menjadi Pahlawan Nasional.

Baca Juga: Menghapus Nama Soeharto dari TAP MPR dan Wacana Gelar Pahlawan Nasional, Romantisisme Sejarah Orde Baru?
Pengusulan Suharto sebagai Pahlawan Nasional Melukai Amanat Reformasi 1998
Cacat Gelar Pahlawan Soeharto

Gelar Pahlawan Nasional

Menurut saya, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Soeharto harus ditolak. Berdasarkan pasal 2, UU No. 20 tahun 2009, Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan diberikan berdasarkan asas: kebangsaan, kemanusiaan, kerakyatan, keadilan, keteladanan, kehati-hatian, keobjektifan, keterbukaan, kesetaraan, dan timbal balik.

Dari asas-asas ini, jelas Presiden Soeharto tidak memenuhi beberapa asas. Tapi yang paling jelas, Presiden Soeharto tidak memenuhi dua asas yang mendasar, pertama, kemanusiaan dan kedua, keteladanan.

Dalam pasal tersebut disebutkan adanya asas kemanusiaan. Kita ketahui bersama bahwa di era Soeharto, terjadi banyak kasus pelanggaran HAM. Soeharto misalnya, memimpin operasi penumpasan PKI saat masih berpangkat Mayor Jenderal yang memakan ratusan ribu korban jiwa. John Roosa menuliskannya dalam Dalih Pembunuhan Masal, “Seth King dari New York Times, pada Mei 1966, mengajukan angka perkiraan moderat, yaitu 300.000 korban tewas. Seymour Topping dari koran yang sama – menyimpulkan bahwa jumlah korban mati seluruhnya bahkan dapat lebih dari setengah juta orang.”

Menurut Amnesty Indonesia, ketika Soeharto menjabat sebagai Presiden Indonesia selama 32 tahun, terjadi beberapa kasus pelanggaran HAM berat seperti Peristiwa Penembakan Misterius (1982-1985), Peristiwa Tanjung Priok (1984), Peristiwa Talangsari (1989), Peristiwa Rumah Geudong Dan Pos Sattis (1989-1998), Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa (1997-1998), Peristiwa Trisakti (1998), Peristiwa Semanggi I (1998), Peristiwa Semanggi II (1999), Peristiwa Mei (1998) Dan Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet (1998-1999).

Selain tidak memenuhi asas kemanusiaan, Presiden Soeharto pun tidak memenuhi unsur keteladanan. Putusan No. 140 PK/Pdt/2015 pada kasus Yayasan Supersemar menyebutkan: “Bahwa Tergugat I (Presiden Soeharto) walaupun dapat dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum, namun perbuatan tersebut dilakukan atas nama Tergugat II (Yayasan Supersemar), sehingga segala alasan dari perbuatan melawan hukum tersebut dibebankan kepada Tergugat II – Bahwa berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan Tergugat II terbukti melakukan perbuatan melawan hukum, oleh karena itu harus bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat (Negara Republik Indonesia).”

Berdasarkan putusan tersebut Soeharto terbukti melakukan penyalahgunaan keuangan negara (korupsi), yang menyebabkan negara merugi miliaran rupiah. Kasus korupsi yang dilakukan oleh Soeharto selama menjadi presiden, bukanlah “debat kusir” belaka. Sebaliknya, praktik korupsi yang dilakukan oleh Soeharto sudah berkekuatan hukum tetap.

Selain putusan ini, menurut Indonesia Corruption Watch (1998), Kejaksaan Agung mengungkap adanya indikasi penyimpangan dana yayasan yang dipimpin oleh Soeharto, seperti Yayasan Dana Mandiri, Dharmais, Dakab, dll. Dugaan KKN muncul karena yayasan ini menyimpan dana dari negara.

Sehingga, asas keteladanan yang merupakan asas mendasar, tidak terpenuhi dalam diri Presiden Soeharto. Seperti yang dituliskan oleh Project Multatuli dalam media sosialnya, “Apakah koruptor pantas menjadi pahlawan nasional?”

Dengan catatan kelam seperti itu, tetap memaksakan Presiden Soeharto sebagai pahlawan nasional, merupakan tindakan yang tidak bijaksana. Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan nasional, sama dengan memberikan cap penjahat kepada reformis yang telah menurunkan Soeharto dari kursi kekuasaannya.

Ini menjadikan perjuangan Reformasi 1998 bagaikan perjuangan Santiago menaklukkan marlin. Sama-sama bersusah payah, bertaruh nyawa, tapi akhirnya kalah juga.

“Akhirnya, seekor hiu menyerang kepala ikannya dan tahulah ia bahwa kini semua selesai sudah –sekarang ia tahu bahwa akhirnya ia kalah dan tak tertolong lagi.”

Begitulah Hemingway menggambarkan Santiago, ketika ia kehilangan Marlin yang ia tangkap hingga hampir mati habis dimakan hiu hanya menyisakan tulang. Demikian juga Reformasi, susah payah menurunkan Soeharto yang tangannya penuh dengan darah, tapi Soeharto yang mereka turunkan malah mendapat gelar “Pahlawan Nasional”.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//