Menghapus Nama Soeharto dari TAP MPR dan Wacana Gelar Pahlawan Nasional, Romantisisme Sejarah Orde Baru?
Soeharto cukuplah menjadi tokoh sekaligus bagian dari bangsa ini sebagaimana sejarahnya dicatat melalui aksi unjuk rasa Mei 1998. Memorinya tidak perlu dipolitisasi.
Husni Rachmayani Nur Ilahi
Fresh Graduate dari Universitas Padjadjaran .
28 Oktober 2024
BandungBergerak.id – Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI telah memutuskan pergantian isi Ketetapan (TAP) MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang upaya pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang menyebut nama Presiden ke-2 RI Soeharto. Bunyi lengkapnya tercantum dalam Pasal 4 TAP MPR 11/1998.
“Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantap Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia.”
Nama Presiden Soeharto diputuskan untuk dicabut dari bunyi pasal tersebut karena dinyatakan telah meninggal dunia. Keputusan ini diambil dalam Rapat Pimpinan MPR bersama pimpinan fraksi dan DPD pada 23 September 2024. Keputusan ini juga merupakan langkah lanjutan dari surat Fraksi Golkar pada 18 September 2024.
Setelah keputusan tersebut, muncul pula wacana untuk menjadikan Presiden Soeharto sebagai pahlawan nasional. Kedua hal ini menggiring opini publik kepada sebuah upaya manipulasi politik dan sejarah Indonesia.
Baca Juga: Aktivis 1998 Ziarah ke Makam Korban Tragedi Trisakti di Bandung, Mereka Menolak Kebangkitan Orde Baru
Fenomena Antre Beras Mengingatkan pada Reformasi dan Kejatuhan Orde Baru
Mengingat Tragedi Muram Reformasi 1998 Melalui Pertunjukkan Seni Tari di Kampus ISBI Bandung
Sejarah Mencatat Soeharto Memiliki Rapor Merah
Dalam sejarah, Soeharto tercatat sebagai pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan melakukan tindakan KKN. Hal ini salah satunya dapat dilihat melalui peristiwa unjuk rasa 12 Mei 1998 silam yang juga diingat sebagai Gerakan Reformasi 1998. Aksi ini menyuarakan kekecewaan terhadap Presiden Soeharto dan meminta Soeharto diadili, sehingga berujung Soeharto turun dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia pada masa itu.
Soeharto telah tercatat oleh sejarah sebagai tokoh yang demikian. Apabila keputusan pencabutan namanya dalam TAP MPR soal KKN dan menjadikannya pahlawan nasional, maka akan berlawanan dengan catatan sejarah dan akan menjadi kontroversial.
Upaya tersebut tidak lebih dari sebuah cara untuk membersihkan kesalahan-kesalahan Soeharto selama 32 menjabat sebagai Presiden Indonesia. Dengan melakukan upaya tersebut, Soeharto akan terpisah dari sejarah kelamnya yang mana semestinya hal tersebut tidak bisa dilakukan. Bagaimana pun, Soeharto pernah menduduki jabatan penting di negeri ini. Dan jabatan tersebut menjadikannya bagian penting dari Indonesia. Maka dari itu, riwayat hidupnya pun penting.
Kejaksaan Agung sebagai salah satu lembaga yang berwenang memiliki kewajiban untuk menangani kasus Soeharto atas tindakan KKN. Marzuki Darusman, Jaksa Agung pada tahun 1999, menyatakan bahwa Kejaksaan Agung pada saat itu aktif menangani kasus KKN yang dilakukan Soeharto, tetapi Soeharto tidak sempat diadili karena mengalami sakit hingga akhirnya meninggal.
“Kejaksaan Agung menanggapi tekanan masyarakat untuk melakukan penyelidikan KKN, tapi tidak banyak yang bisa digali karena beberapa kali ganti pemerintahan dan Soeharto meninggal. Soeharto juga pada saat itu tidak bisa diadili karena sakit.” Kata Marzuki Darusman dalam Webinar Sejarah Lintas Batas, Sabtu (5/10/2024).
Menutup dan Menghapus Sejarah sebagai Upaya Politik Memori
Upaya pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional bukanlah hal pertama yang terjadi. Jauh sebelum tahun 2024 ini, telah diselenggarakan seminar pada 9 Juli 2009 untuk mengusulkan Soeharto menjadi pahlawan nasional.
“Ini seminar pertama soal usul Soeharto jadi pahlawan nasional,” kata Asvi Warman Adam, ahli sejarah Indonesia, yang juga menjadi pemantik dalam seminar tersebut, dalam webinar Sejarah Lintas Batas, Sabtu (5/10/2024).
Pada akhirnya, langkah yang dilakukan MPR untuk membersihkan nama Soeharto dan wacana menjadikannya pahlawan nasional menunjukkan upaya politisasi sejarah atau dikenal juga sebagai politik memori. Dan ini keliru. Sebaliknya, yang penting adalah memori politik yang tercatat dengan sendirinya melalui berbagai peristiwa yang terjadi. Bagaimana pun, politik memori dengan memori politik adalah dua hal yang berlawanan. Kadang kala, kedua hal tersebut memunculkan perdebatan antara ingatan kolektif pemerintah vs memori ingatan rakyat.
Pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional terlalu memolitisasi memori Indonesia yang memunculkan kekhawatiran terjadinya pemalsuan sejarah atau penutupan sejarah. Sebab, pada akhirnya, politik memori akan menentukan cara sejarah ditulis dan diwariskan.
Mengingat hal itu pula, lebih baik pemerintah mendorong upaya pengajaran sejarah kepada generasi muda tentang tokoh-tokoh Indonesia, misalnya dengan mendorong penulisan riwayat hidup tokoh tertentu, menjadikannya buku, dan didistribusikan kepada publik.
Lebih dari itu, pemerintah juga perlu memastikan pengajaran sejarah tidak hanya mengharuskan orang menghafal, tetapi juga perlu membuat setiap pembaca sejarah merasakan peristiwa yang pernah terjadi. Ambil contoh, aksi unjuk rasa Mei 1998. Pembaca, pengamat, atau apa pun sebutannya bagi mereka yang tengah mempelajari sejarah, perlu turut memberikan rasa terhadap apa yang dipelajarinya, maka setiap individu dapat merasakan apakah peristiwa Mei 1998 merupakan kesedihan, kekecewaan, atau kemarahan masyarakat pada masa itu. Dengan begitu, sejarah dapat menjalankan fungsinya sebagai sebaik-baiknya pelajaran bagi umat manusia.
Peran Prabowo dan Jokowi dalam Meromantisasi Sejarah Soeharto
Prabowo seringkali dikaitkan dengan Soeharto, termasuk dalam pengangkatan gelar pahlawan nasional untuk Soeharto. Pengangkatan gelar pahlawan nasional tentu memerlukan peran pemerintah. Tahun 2024 ini, yakni tahun yang sama dengan Prabowo Subianto terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia, menunjukkan hal ini bukanlah sebuah kebetulan.
Melansir dari Tempo.co, Prabowo Subianto dalam kontestasi politik tahun 2014 berjanji untuk menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Sebagaimana diketahui, pada masa itu, Prabowo pun mencalonkan diri untuk menjadi Presiden Republik Indonesia. Dan ini pula menunjukkan bahwa Prabowo telah memiliki rencana sejak jauh hari untuk menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Tentu, jabatannya sebagai presiden akan sangat menentukan.
Pada awal tahun 2024, Presiden Jokowi memberikan gelar Jenderal TNI Kehormatan (HOR). Tindakan Jokowi ini dianggap tidak sejalan dengan semangat Reformasi 1998. Sebab, pada 1998, Prabowo berada di bawah Pemerintahan Soeharto sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). Sebelumnya, ia menjadi Komandan Jenderal (Danjen) Pasukan Baret Merah Kopassus pada 1 Desember 1995 – 20 Maret 1998. Maka, namanya seringkali dikaitkan dengan kasus pelanggaran HAM 1998.
Soeharto cukuplah menjadi tokoh sekaligus bagian dari bangsa ini sebagaimana sejarahnya dicatat melalui aksi unjuk rasa Mei 1998. Aksi tersebut merupakan aksi yang kompleks dan dapat melihat jejak Soeharto selama 32 tahun menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Memorinya tidak perlu dipolitisasi agar masyarakat tetap dapat membaca sejarah Indonesia sebagaimana kebenarannya. Alih-alih melakukan politik memori, lebih penting pemerintah mendukung secara aktif pengajaran sejarah kepada seluruh masyarakat Indonesia, termasuk generasi muda, dengan sebaik-baiknya, misalnya membuat buku-buku sejarah yang kredibel, mendukung produksi film sejarah berdasarkan cerita yang benar, atau memodernkan setiap museum di Indonesia.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik tentang politik