• Berita
  • Mengingat Tragedi Muram Reformasi 1998 Melalui Pertunjukkan Seni Tari di Kampus ISBI Bandung

Mengingat Tragedi Muram Reformasi 1998 Melalui Pertunjukkan Seni Tari di Kampus ISBI Bandung

Tragedi reformasi 1998 menginspirasi Tania Rosmala Dewi menciptakan seni tari 98. Penculikan ditampilkan dalam adegan terbungkus karung.

Pertunjukkan seni tari 98 karya Tania Rosmala Dewi di Gedung Kesenian Sunan Ambu, ISBI Bandung, Jumat, 10 Oktober 2024. (Foto: Reihan Adilfhi Tafta Aunillah)

Penulis Reihan Adilfhi Tafta Aunillah 22 Oktober 2024


BandungBergerak.idLampu merah yang menyoroti panggung membuka pertunjukkan seni tari bertajuk 98. Tak lama, beberapa laki-laki berambut gondrong menyanyikan lagu Buruh Tani. Nyanyian tersebut terasa mencekam dan mengerikan karena dinyanyikan dengan suara serak seperti kesakitan.

Di belakang mereka, ada 4 orang dengan atasan kemeja flanel, celana hitam, dan luka-luka di wajah mereka. Masing-masing dari 4 orang tersebut memegang bendera berwarna hitam yang ditancapkan di tatakan.

Bendera yang dipegang 4 orang tersebut lalu dikibarkan dengan sekuat tenaga, sampai-sampai suara angin dari kibaran bendera terdengar jelas di telinga penonton. Masih menyanyikan lagu Buruh Tani, beberapa laki-laki gondrong tadi berjalan dan tiba-tiba duduk di kursi penata musik, lalu mereka berhenti menyanyi.

Musik kembali bergema seperti dentuman keras yang berkali-kali. Ditambah dengan suara primal scream menambahkan kesan suram yang ada. Di panggung, beberapa orang membawa bendera hitam berlari dan menari dari sudut panggung yang satu ke sudut panggung lainnya. Cahaya lampu berwarna biru dan merah menciptakan suasana yang dramatik.

Sembari berlarian dan menari, mereka yang membawa bendera hitam mengetuk-ngetuk lantai panggung dengan tiang bendera sembari bersenandung lagu Buruh Tani. Ketegangan yang terasa dipanggung diakhiri dengan kata “Indonesia baru tanpa Orba” yang diucapkan secara lantang.

Seakan tak memberi ruang pada ketenangan, musik kembali menderu dengan suara primal scream yang terasa sangat sesak di dada, lebih suram dan mengerikan dari sebelumnya. Tak lama, masuk beberapa orang dengan wajah mereka sepenuhnya tertutup karung, seperti habis diculik dan disekap.

Beberapa orang tersebut berjalan seperti kesakitan dan berlari seperti dikejar oleh sesuatu yang jahat dan mengerikan, sampai ada beberapa yang merangkak. Di sela-sela suara primal scream, muncul teriakan keras seorang wanita yang suaranya sangat melengking di telinga.

Pertunjukkan diakhiri dengan sangat cepat, dengan suara-suara penderitaan yang mengerikan, dengan suara-suara yang seakan-akan bersahutan, dengan suara-suara yang menusuk membuat napas sesak, lalu lampu panggung tiba-tiba dimatikan.

Baca Juga: Lakon Teater Aproksimasi, Potret Gaduh Kehidupan Urban
Mengenal Sugiyati Suyatna Anirun, Tokoh Teater Modern Bandung
Potret Kehidupan Kelas Proletar Lewat Teater Sektor Ketiga

Pertunjukkan seni tari 98 karya Tania Rosmala Dewi di Gedung Kesenian Sunan Ambu, ISBI Bandung, Jumat, 10 Oktober 2024. (Foto:  Reihan Adilfhi Tafta Aunillah)
Pertunjukkan seni tari 98 karya Tania Rosmala Dewi di Gedung Kesenian Sunan Ambu, ISBI Bandung, Jumat, 10 Oktober 2024. (Foto: Reihan Adilfhi Tafta Aunillah)

Mengingatkan Sejarah Kelam

Pertunjukkan seni tari di atas bertajuk “98” karya Tania Rosmala Dewi yang dilaksanakan di Gedung Kesenian Sunan Ambu, ISBI, Bandung, Jumat, 10 Oktober 2024. Tajuk ini diambil karena secara garis besar pertunjukkan tersebut ingin mengingatkan kembali tragedi 1998 yang terjadi di Indonesia.

Seperti yang kita tahu, tragedi 1998 di Indonesia merupakan sebuah rangkaian peristiwa besar yang tak akan pernah hilang dari ingatan masyarakat. Ditandai oleh runtuhnya rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Suharto, peristiwa tersebut dikenal karena mencakup kerusuhan massal, krisis ekonomi, dan gerakan mahasiswa yang menuntut reformasi, yang akhirnya memaksa Suharto mundur setelah 32 tahun berkuasa.

Tania, selaku pencipta dari pertunjukkan seni tari, mengemukakan bahwa karya “98” ini dibuat sebagai wadah untuk mengingat tragedi 1998 di Indonesia yang perlahan mulai dilupakan masyarakat.

“Di zaman sekarang, khususnya di angkatan aku yang seumuran sama aku, masih banyak orang yang gak tahu tentang tragedi 1998. Kebanyakan tuh cuma tahu ada tragedi aja, tapi gak tahu tragedinya seperti apa. Jadi perlu diingatkan juga karena orang-orang sudah mulai melupakan (tragedi tersebut),” ujar Tania saat diwawancara tim Bandungbergerak.id.

Simbol Perjuangan dan Kesakitan

Ada beberapa hal yang menonjol dari pertunjukkan seni tari 98. Dua diantaranya adalah properti bendera hitam dan latar suara yang digunakan, seperti suara dentuman dan primal scream. Bendera hitam adalah sebagai simbol dari perjuangan yang dilakukan oleh orang-orang yang merasakan tragedi 1998.

“Dari beberapa narasumber yang aku temui, kayak Dago Elos atau Taman Sari menggunakan warna hitam sebagai simbol adanya perjuangan,” ujar Tania, menjelaskan tentang warna hitam yang identik dengan perjuangan, mengacu pada kasus sengketa tanah Dago Elos atau kasus penggusuran Tamansari.

Sedangkan untuk latar musik atau suara yang digunakan, Tania menggunakan musik tradisional yang lebih eksperimental, contohnya penggunaan primal scream untuk merepresentasikan luapan emosi para korban tragedi 1998.

Primal scream sendiri itu adalah cara orang mengeluarkan emosi dirinya sendiri, dan di sini dicurahkan ke tragedi 98 untuk membangun suasananya. Aku pengin bawa penonton ikut merasakan tragedi 98. Seperti rasanya diculik itu seperti apa,” ujar Tania.

Selain itu, primal scream Tania gunakan untuk menjelaskan perasaan para korban yang diculik dalam tragedi 1998, di mana mereka dimasukkan ke ruangan gelap, mendengar teriakan-teriakan yang mereka sendiri tak tahu arahnya dari mana.

Sebuah Harapan

Tania berharap, dengan pertunjukkannya bisa membantu menyadarkan masyarakat untuk tidak melupakan sejarah kelam yang pernah terjadi di Indonesia. Ia juga memiliki harapan agar bisa mengembangkan karya-karya lainnya yang berkaitan dengan tragedi 1998.

“Semoga (karya) ini bisa menjadi bahan diskusi, khususnya untuk anak ISBI. Soalnya kita tuh masih terikat sama yang namanya cerita-cerita tradisional. Semoga penonton atau para apresiator lebih peka sama isu-isu yang ada di sekililingnya, karena aku sendiri juga berangat dari Kamisan,” ujar Tania.

Shafa (23 tahun), selaku penonton, juga mengungkapkan perasannya setelah menonton pertunjukkan tari 98. Ia berpendapat, pertunjukkan ini berhasil mempresentasikan tragedi 1998 dengan segala kesuramannya.

“Keren banget, terharu. Pesan-pesan tragedi 98-nya tersampaikan, apalagi pas gerakan dari orang-orang yang kepalanya ditutupin karung,” ujar Shafa.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Reihan Adilfhi Tafta Aunillah, atau artikel-artikel lain tentang Pertunjukan Teater

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//