• Berita
  • Potret Kehidupan Kelas Proletar Lewat Teater Sektor Ketiga

Potret Kehidupan Kelas Proletar Lewat Teater Sektor Ketiga

Lakon teater Sektor Ketiga di Gedung Kesenian Sunan Ambu ISBI Bandung menggambarkan buih-buih revolusi kaum proletar yang berujung tunduk pada uang.

Para pemeran (di atas tangga) dan tim produksi Sektor Ketiga, Selasa, 16 Juli 2024 di GK. Sunan Ambu, ISBI Bandung. (Foto: Linda Lestari/BandungBergerak)

Penulis R.Sabila Faza Riana 18 Juli 2024


BandungBergerak.id"Kau itu pembantu ilegal, asuransi pun tak punya," ujar Martha kepada Xana dalam pagelaran drama bertajuk Sektor Ketiga, di Gedung Kesenian Sunan Ambu, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Selasa, 16 Juli 2024. 

Keheningan menyelimuti panggung ketika lampu sorot secara perlahan mulai naik ke permukaan. Tampak seorang pembantu yang sedang mengabdi pada nyonya dan tuan di dalam sebuah rumah. 

Sengsara, tak berdaya, dan keputusasaan menggambarkan kondisi para tokoh dalam naskah karya Dea Loher yang diterjemahkan Heliana Sinaga. Anna dan Martha, dua pembantu yang dipenuhi oleh kebencian akibat rasa sakit yang dideritanya, tak mampu mengecap kembali kebebasan yang menjadi dambaan. Meskipun demikian, keduanya kerap kali saling menyakiti baik secara fisik maupun emosional untuk dapat memenangkan persaingan status.

Di sisi lain, Xana, seorang pembantu imigran sebatang kara yang seluruh keluarga telah dijemput oleh ajal, menjadi pembantu yang merasa paling bahagia. Ia menari-nari dengan riang sembari memohon doa kepada Tuhan. Di tengah kehidupannya yang tragis dan dibebani trauma, ia masih tetap mempercayai Tuhan. Namun, pada akhirnya kematian adalah jalan yang ia pilih di tengah kehidupannya yang mencapai titik optimistik.

Di antara semua pembantu, Ludwig atau kerap kali disebut Si Anjing, menjadi representasi obsesi manusia untuk mencapai sesuatu. Ia bukanlah seekor anjing, tetapi bersikap seolah-olah dirinya telah menyatu dengan jiwa anjing. Ludwig bertugas sebagai sopir. Pada kenyataannya sang majikan tak lebih dari memperlakukan Ludwig sebagai binatang pesuruh . Ludwig pun seolah tak peduli dengan status dirinya yang dibinatangkan.

Lakon garapan mahasiswa program studi teater ini berupaya menyuguhkan keresahan-keresahan yang terjadi di kalangan pekerja. Upah tak layak, perlakuan buruk terhadap kaum proletar, dan keresahan-keresahan lainnya.

Warna-warni lampu sorotan menggugah beragam emosi penonton. Saat sampu berwarna hijau, Ludwig muncul dengan perilaku khas anjing yang menggambarkan hal mistis, atau pada sorotan lampu merah menandai adegan penuh ketegangan. Penonton seolah terbawa oleh alur yang terasa mencekam dan menguras emosi.

Sektor Ketiga merupakan naskah drama yang lahir di Jerman. Mengisahkan pertentangan ideologi kapitalisme dan komunisme di masa itu. Sektor Ketiga menyoroti konflik kepentingan antara kelas pemodal dan kelas buruh. Ada kebangkrutan narasi kemanusiaan yang luput dari narasi sejarah yang disebut oleh Dea Loher sebagai manusia-manusia ‘sektor ketiga’.

Baca Juga: Panggung Pengkhianat dan Pahlawan
Praktik Kotor Calon Kepala Daerah dalam Lakon Teater Awal Bandung
Candu Teknologi dalam Pertunjukan Teater Drastis

Relevansi Sektor Ketiga

“Naskah ini (Sektor Ketiga) baru sekali dipentaskan di Indonesia, kalau tidak salah untuk tugas akhir juga oleh angkatan terdahulu di ISBI Bandung,” kisah Tifanny Elviana Moelyanto, pemeran Anna dalam pagelaran teater Sektor Ketiga.

Minimnya dokumentasi dan publikasi, juga sedikitnya laman Berbahasa Indonesia yang mengulas naskah ini, membuat Tifany tertarik untuk mementaskan Sektor Ketiga. Belum lagi karena penafsiran teater Sektor Ketiga di tiap negara sering kali berbeda-beda.

“Selain itu, persoalan yang diangkat juga kompleks. Perbedaan kelas, ekonomi, tentunya sosial-politik, feminisme, cinta, dan sebagainya,” katanya.

Sektor Ketiga erat kaitannya dengan perlawanan buruh terhadap kaum borjuis. Para tokoh yang berada di kelas terbawah merupakan kaum-kaum yang tertindas yang memperjuangkan keadilan. Di dalam dramanya, terdapat banyak pecahan adegan yang memiliki judul dan klimaksnya tersendiri.

Dalam proses penggarapannya, ia menemukan berbagai tantangan terutama karena minimnya referensi yang membahas tentang naskah ini. Ia perlu banyak berdiskusi dengan pembimbing maupun tim. Belum lagi karena aktor yang berganti-ganti ataupun kesulitan mencari tim.

Mulanya, naskah awal yang ditemukan oleh Tifany berjudul Kelas Ketiga meskipun dalam bahasa Jerman berjudul Der Dritte Sektor atau yang berarti sektor ketiga. Namun pada akhirnya setelah berdiskusi, ia sepakat untuk membawakannya dengan judul Sektor Ketiga karena kisah yang disuguhkan tidak hanya soal pertentangan kelas yang digambarkan oleh Karl Marx, melainkan tentang eksistensi manusia yang dianggap seolah ‘sampah’.

Ia menirukan ungkapan yang diucapkan oleh karakter Martha, “uanglah yang membuat revolusi, bukan kita” yang menjadi pusat kegagalan perjuangan kaum marjinal untuk mencapai revolusi. 

“Bukankah ini topik yang relevan dengan zaman dan tidak akan lekang oleh waktu? Karena permasalahan kita, masyarakat, selalu berujung pada ekonomi,” ungkap Tifany.

*Kawan-kawan bisa membaca lebih lanjut tulisan-tulisan lain dari R.Sabila Faza Riana atau artikel-artikel lain tentang Lakon Teater Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//