Candu Teknologi dalam Pertunjukan Teater Drastis
Kisah pertunjukkan berjudul Drastis yang dibawakan kelompok teater Lakon menggambarkan negara yang kecanduan teknologi. Potret dari kehidupan digital masa kini.
Penulis Salma Nur Fauziyah28 November 2023
BandungBergerak.id - Drastis. Ketika kemajuan teknologi terpaksa menyatu padu dalam kehidupan manusia. Sudah siapkah masyarakat menggunakannya secara bijaksana?
Novembia. Sebuah negara fiktif dengan kesan futuristik yang kental. Masyarakatnya hidup berdampingan dengan teknologi. Akibat program pemerintah yang mewajibkan seluruh raykat menggunakan Neuronexis, mau tidak mau teknologi itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam setiap lini kehidupan di Novembia. Neuronexis terdiri dari tiga hal; Internet of Things (IoT), Artificial Intelligent (AI), dan Teknologi Robot.
Begitulah kira-kira gambaran besar dari alur pertunjukan Teater Lakon: November Berteater dengan judul Drastis disutradarai oleh Tiara Razak. Pertunjukan ini dihelat selama dua hari (15-16 November), per hari diadakan dua sesi pertunjukan.
Penikmat teater juga dapat mengunjungi bazar di pelataran Gedung Amphitheatre, UPI, Bandung. Sebelum masuk ke dalam gedung, terdapat spanduk besar berisi pengantar dan juga pengenalan para tokoh. Penonton diperkenankan membeli tiket seharga 25.000 rupiah yang juga termasuk satu botol Kopi Kenangan gratis untuk menemani menonton pementasan.
Pentas dibuka dengan koreografi robotik. Suara-suara tiruan mesin dari mulut para pemeran saling sahut-sahutan mengiringi tarian ala robot.
Alur drama yang maju-mundur menampilkan adegan kehidupan warga Novembia yang ketergantungan Neuronexis. Di balik kecanggihannya yang dapat membantu pekerjaan manusia, terselip fakta pahit yang sedikit demi sedikit mulai terkuak. Program pemerintah yang mengharuskan membeli perangkat berbasis Neuronexis merubah banyak aspek kehidupan warga.
Satu per satu adegan memperlihatkan sisi negatif penggunaan Neuronexis. Sebagai contoh, tergantikannya beberapa pekerjaan manusia oleh robot, penyalahgunaan kecerdasan buatan dalam bidang akademik, kasus cyberstalking, kasus pencemaran nama baik menggunakan AI, dan lainnya.
Sena dan Serdadu menjadi tokoh sentral. Mereka digambarkan sebagai mahasiswa yang resah akan anomali yang terjadi di negaranya. Banyak upaya yang mereka lakukan, seperti pergi ke masa lalu dengan harapan dapat mengedukasi warga dan mencegah mereka masuk ke dalam kesesatan penggunaan neuronexis. Namun, sayangnya hal itu hanya membawa hasil kosong. Mereka dikira kerasukan setan.
“Yang tahu masa depan cuman Allah,” ucap Pak Ustadz pada mereka berdua.
Atmosfir segar mengudara. Tidak mengherankan adegan masa lalu ini menimbulkan sisi komedi yang menggelak tawa.
Kegagalan itu tidak membuat kedua lakon penting ini mundur. Sena menyadari bahwa teknologi tidak mesti dilawan, karena perubahan pasti akan terjadi. Sebuah bentuk perlawanan pun terlahir menyesuaikan kondisi yang ada. Sena dan Serdadu menyiapkan aksi massa online, menyebarkan propaganda dan mengumpulkan korban, aktivis serta mahasiswa lainnya.
Pada akhirnya, demonstrasi dilakukan untuk mendesak pemerintah meninjau ulang neuronexis. Pemerintah mendengar aspirasi itu. Massa demonstran menemui kemenangannya. Pentas kemudian ditutup dengan sebuah koreografi dan nyanyian yang menggemakan:
“Perlawanan takkan mati.”
Baca Juga: Panggung Pengkhianat dan Pahlawan
Merenungkan Pancasila dalam Sebuah Teater Musikal
PROFIL KOMUNITAS CELAH CELAH LANGIT
Penggambaran Fenomena Saat ini
Satu hal menarik dari pementasan teater ini adalah sisi futuristiknya. Digarap sekitar dua bulan setengah, Tiara menyampaikan bahwa mewujudkan kesan futuristik dalam pementasan teater merupakan sebuah tantangan. Berbeda dengan film yang dapat diedit dan ditambahkan CGI supaya sisi futuristiknya terasa, ia merasa belum ada banyak bayangan akan seperti apa konsep seperti ini terwujud dalam pementasan langsung. Namun, menyiasati hal itu, mapping menjadi jawaban perwujudan kesan masa depan teknologi maju.
"Mapping ini salah satu wujud dari upaya kita untuk mewujudkan futuristik gitu," ujarnya.
Selain konsep, alur cerita serasa menyentil penonton dengan menyajikan fenomena-fenomena yang sebenarnya terjadi di dunia nyata. Khususnya adalah penggunaan teknologi mutakhir di kalangan masyarakat.
Ide tercetus dalam sebuah musyawarah besar atau forum awal. Peserta forum yang hadir banyak mengusulkan tema politik, teknologi, dan gender.
“Dari tiga subtema itu, akhirnya saya membungkus itu menjadi bentuk pementasan kemajuan teknologi di sebuah negara,” kata mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia yang baru saja lulus tahun ini.
Penggarapan pun tidak dilakukan secara asal-asalan. Metode riset menjadi landasan bagi pengembangan cerita dan adegan yang ada. Dari membaca jurnal satu ke jurnal lainnya. Dari topik gender, ke politik, hingga bagaimana penggunaan teknologi berakibat pada pergeseran moral seseorang.
Permasalahan kemajuan teknologi nyatanya terletak dari penyalahgunaan oleh manusia. Sebagai pemegang kendali, kebijaksanaan dalam menggunakannya perlu dimiliki. Seperti salah satu adegan, seorang mahasiswa yang ketergantungan Aplikasi Mahasiswa Pintar (plesetan dari Chat GPT). Padahal menurut Aiman Faiz dan Imas Kurniawaty (2023), dalam sisi psikologis penggunaan ChatGPT secara masif akan membuat individu lemah dalam berpikir kritis.
Selain fenomena Chat GPT, salah satu adegan menampilkan penyalahgunaan deepfake. Westerlund (2019) dalam jurnalnya The Emergence of Deepfake Technology: A Review, menjelaskan, kombinasi kata dari deep learning dan fake ini adalah video hiper-realistis yang dimanipulasi secara digital untuk menampilkan seseorang mengatakan dan melakukan sesuatu yang sejatinya tidak pernah orang tersebut lakukan.
Salah satu adegan teater menampilkan sebuah video tersebar dari seorang influencer bernama Fanos yang mendukung salah satu paslon gubernur. Padahal dirinya tidak pernah mau mengendorse hal-hal berbau politik. Hal ini sangatlah merugikan untuknya. Dalam dunia nyata, peristiwa penyalahgunaan deepfake sudah banyak terjadi.
Berbicara mengenai gender, ada salah satu adegan perempuan yang menjadi korban cyberstalking akibat Neuronexis. Cyberstalking sendiri termasuk fenomena Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).
Secara tidak langsung, pementasan ini penuh dengan kritik sosial kepada masyarakat dan pemerintah yang tidak bijak dalam menggunakan teknologi. Tiara sebagai sutradara mempersilakan penonton memetik detail-detail yang disampaikan dan menginterpetasikan sendiri.
"Sebetulnya, entah apa yang diinterpetasikan oleh penonton gitu yah. Perlawanan terhadap siapa. Tapi yang jelas, saya sebagai pekerja seni, saya berpikir bentuk perlawanan saya terhadap kondisi saat ini gitu yah, baik buruknya adalah melalui pertunjukan ini," ujar Tiara Razak.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan lain dari Salma Nur Fauziyah, atau artikel-artikel menarik lain tentang Pertunjukan Teater