• Kampus
  • Fenomena Antre Beras Mengingatkan pada Reformasi dan Kejatuhan Orde Baru

Fenomena Antre Beras Mengingatkan pada Reformasi dan Kejatuhan Orde Baru

Harga beras masih terus bergejolak di dalam maupun di luar Bandung. Gejolak ini menimbulkan fenomena antre beras, seperti yang terjadi di akhir kekuasaan Orde Baru.

Warga antre beras saat penyaluran bantuan pangan beras di Kantor Pos Bandung, 29 Februari 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana1 Maret 2024


BandungBergerak.idHarga sejumlah komoditas pangan mengalami kenaikan sejak awal tahun 2024 menjelang Pilpres 2024. Harga telur, cabai, minyak goreng, hingga beras bergejolak di sebagian besar wilayah Indonesia. Pascapemilu 2024, harga beras semakin ugal-ugalan hingga tembus mencapai angka 18 ribu rupiah, kenaikan tertinggi dalam sejarah di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Di era Jokowi ini juga rakyat mengalami antre beras seperti yang pernah terjadi pada zaman reformasi atau runtuhnya kekuasaan Orde Baru. Di Bandung, fenomena antre beras sudah sering terjadi. Terbaru, warga antre beras saat penyaluran bantuan di Kantor Pos Bandung, Kamis, 29 Februari 2024. Bantuan ini bersumber dari Badan Pangan Nasional dan Perum Bulog untuk 22.004.007 Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dengan besaran 10 kilogram beras per KPM.

Arin Setyowati, pakar ekonomi Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya mengatakan, kenaikan harga dipicu oleh berkurangnya jumlah pasokan, sementara permintaan konsumen tinggi. Mengapa demikian? Pertama, faktor cuaca ekstrem atau El Nino yang menimbulkan kekeringan dan berdampak pada pertanian. Salah satu pengaruh El Nino adalah bergesernya musim tanam dan panen.

Meskipun saat ini sudah masuk musim hujan tetapi baru di sekitar 70 persen wilayah Indonesia yang mengalami musim basah. Arin memperkirakan, besar kemungkinan akan ada pergeseran musim panen ke bulan Mei.

Kedua, kata Arin, faktor miss management, di mana pemerintah secara besar-besaran dalam mendistribusikan bantuan sosial (bansos) beras 10 kilogram menjelang Pilpres 2024. Kebijakan ini menimbulkan tarik-menarik dengan stok beras di pasar. Selain itu, pendistribusiannya yang tidak sesuai jadwal dan bias peruntukan hingga berujung terjadi lonjakan harga hingga kelangkaan.

“Hal tersebut tentu menyalahi manajemen sederhana antara pasokan dan permintaan, berakibat pada stok di gudang Bulog menipis sebelum waktunya,” ujar Arin, diakses dari laman UM Surabaya, Selasa, 27 Februari 2024. 

Tercatat, lonjakan harga beras per tanggal 23 Februari 2024 berdasar Pusat Informasi Harga Pangan Strategi Nasional (PIHPS), beras kualitas medium dipatok 15.500-15.650 rupiah per kg; beras kualitas super 16.500-17.000 rupiah per kg.

Lonjakan harga beras tersebut jauh di atas HET (Harga Eceran Tertinggi). Sebagaimana Peraturan Badan Pangan Nasional No 7 Tahun 2023, HET beras yang berlaku sejak Maret 2023 adalah 10.900 rupiah per kg medium, sedangkan beras premium 13.900 rupiah per kg untuk zona 1 yang meliputi Jawa, Lampung, Sumsel, Bali, NTB, dan Sulawesi.

HET beras di zona 2 meliputi Sumatera selain Lampung dan Sumsel, NTT, dan Kalimantan dipatok 11.500 rupiah per kg medium dan beras premium 14.400 rupiah per kg. Di zona ke 3 meliputi Maluku dan Papua, HET beras medium sebesar 11.800 rupiah per kg, beras premium sebesar 14.800 rupiah per kg.

Di luar harga itu, ugal-ugalan harga beras terjadi di wilayah Sulawesi Tenggara. Di Wakatobi, beras mencapai harga tertinggi, yaitu 21.000 rupiah per kilogram atau kisaran 1 juta rupiah per karung isi 50 kilogram, seperti diberitakan kompas.id (https://www.kompas.id/baca/nusantara/2024/02/27/harga-tidak-terkendali-beras-di-wakatobi-capai-rp-1-juta-per-karung).

Arin menegaskan, lonjakan harga beras ini menjadi alarm bagi pemerintah guna segera melakukan skema mitigasi dan perbaikan tata niaga pangan supaya tidak memicu harga-harga lainnya ikut melonjak tinggi.

“Akibatnya tentu akan semakin memberatkan daya beli masyarakat dan berujung pada peningkatan inflasi dan kondisi ekonomi yang tidak stabil. Terlebih lagi, ke depan jumlah permintaan pangan akan semakin banyak karena memasuki Ramadan dan lebaran,” kata Arin.

Fenomena Antre Beras dan Keruntuhan Orde Baru

Fenomena antre beras pernah terjadi pada akhir kekuasaan Orde Baru yang otoriter selama 32 tahun. Tahun 1998, Indonesia mengalami krisis multidimensi. Basuki Agus Suparno dalam bukunya “Reformasi dan Jatuhnya Soeharto” (Kompas, 2012), kejatuhan Suharto ditandai dengan antre beras, antre kain, angkutan yang sulit, listrik yang redup dan sering padam, harga yang melonjak dari hari ke hari, pertentangan politik yang tajam antara golongan satu dan golongan lain.

Padahal sebelumnya, pada tahun 1984 Orde Baru meraih surplus produksi beras dan swasembada pangan dan mengantarkan Indonesia mendapatkan penghargaan dari FAO sebagai badan dunia PBB untuk urusan pangan dan pertanian. Namun di tengah kemapanan ekonomi yang dibangun Orde Baru pada tahun 80-an, kesadaran politik rakyat mulai tumbuh. Ditambah lagi terjadi kesenjangan ekonomi di mana kekayaan menumpuk pada kelompok tertentu saja.

Agus Suparno menyatakan, ketika kesadaran politik telah merata, ketimpangan ekonomi dapat memicu gejolak dan ketidakpuasan. Dengan perkataan lain, corak pembangunan yang dilakukan berhasil membawa perbaikan dalam bidang ekonomi dan pendidikan. Tetapi hasil perbaikan itu menjadi penyebab faktor jatuhnya kekuasaan.

“Mereka memiliki kesadaran tentang hak-hak politik yang dirampas pemerintah. Belum lagi dihadapkan pada wacana dan isu serta hasutan yang berkembang. Misalnya, aksi corat-coret yang berisi hasutan memboikot pemilu, mendiskreditkan pemerintah dan mengecam Dwifungsi ABRI. Corak kekuasaan Orde Baru tak urung memunculkan pihak-pihak yang tidak puas terhadap kinerja pemerintah,” tulis Agus Suparno.

Di ujung kekuasaannya, Orde Baru berusaha mempertahankan kontrolnya. Pemerintah meminta agar tidak membesar-besarkan kesenjangan sosial, agar pemberitaan tidak mengganggu stabilitas sosial. Terjadi juga penangkapan mahasiswa yang menghasut pemboikotan pemilihan umum 1997. Langkah ini malah semakin memperbesar krisis yang melahirkan gerakan reformasi 1998.

Baca Juga: Aktivis 1998 Ziarah ke Makam Korban Tragedi Trisakti di Bandung, Mereka Menolak Kebangkitan Orde Baru
Kisah Jin dalam Botol dan Pilgub Jabar Pascaruntuhnya Orde Baru
Ketakutan Rezim Orde Baru pada Musik dan Pemuda Berambut Gondrong

Gejolak Harga Beras 1998

Laporan Konsultan The World Bank berjudul “Gejolak Harga Beras Agustus - September 1998: Penelusuran Sebab dan Akibat” yang disusun Syaikhu Usman dan M. Sulton Mawardi (Jakarta, Oktober 1998) memaparkan bagaimana situasi harga beras pada tahun keruntuhan Orde Baru. Berikut ini ringkasannya:

Pada medio Agustus 1998 terjadi lonjakan harga beras yang tidak terduga yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia dan telah mendorong perlunya campur tangan pemerintah secepat mungkin. Bank Dunia kemudian menugaskan tim untuk memahami sebab akibat gejolak harga beras. Pada akhir September 1998, tim melakukan perjalanan menelusuri Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Semula lonjakan harga beras diduga disebabkan oleh merosotnya atau menghilangnya beras dari pasar. Namun hasil penelusuran Tim Bank Dunia tidak menemukan indikasi dari segi produksi yang berpotensi dapat membuat pasokan beras anjlok. Hasil panen musim hujan yang lalu memang menurun sebagai akibat kemarau panjang dan kenaikan harga pupuk dan pestisida.

Kenyataannya beras memang tersedia dalam jumlah yang cukup di pasar-pasar, di warung-warung di perdesaan, dan di gudang-gudang Dolog. Hasil investigasi menunjukkan bahwa lonjakan harga itu disebabkan oleh faktorfaktor lain, yaitu:

Ketidakpastian situasi politik pada awal Agustus 1998 yang diiringi dengan tersebarnya berbagai isu kerusuhan; keengganan pedagang dan pemilik penggilingan menangani beras dalam jumlah besar, di satu pihak mereka takut dituduh sebagai penimbun, di pihak lain khawatir dijarah; keengganan petani menjual hasil panennya, khawatir harga akan terus meningkat di masa paceklik nanti; dan kegagalan Dolog untuk bereaksi tepat waktu dalam memasok beras, ketika harga meroket.

Menjelang peringatan 17 Agustus merebak isu akan terjadi lagi kerusuhan sosial sebagaimana pada pertengahan Mei 1998. Isu-isu itu membuat resah masyarakat, khususnya masyarakat Cina. Akibatnya banyak pedagang besar beras di Surabaya dan kota-kota lain pergi ke luar kota bahkan ke luar negeri. Oleh karena itu, selama beberapa hari kegiatan perdagangan mereka terhenti, aktivitas bongkar muat di pelabuhan Tanjung Perak diberitakan tertunda.

Meskipun situasi itu hanya berlangsung beberapa hari, ternyata berdampak sangat besar pada perdagangan beras di hari-hari berikutnya. Faktor-faktor tersebut di atas terjadi secara bersamaan dan mengakibatkan pasokan beras di pasar normal menipis.

Namun tidak ada satupun dari faktor-faktor itu yang menyebabkan anjloknya pasokan beras. Dalam kenyataannya tidak ada satu hari pun di bulan Agustus yang menunjukkan bahwa beras menghilang dari pasar dan warung.

Pada saat tim mengakhiri penelusurannya, harga beras bergerak turun, terutama setelah Dolog melakukan operasi pasar besar-besaran. Bersamaan dengan itu daya beli masyarakat yang merosot (akibat krisis ekonomi), membuat sebagian besar mereka beralih mengkonsumsi beras (murah) Dolog.

Kalau keadaan ini berlangsung lama dikhawatirkan akan menyebabkan harga beras lokal terus menurun, pada waktu bersamaan harga pupuk dan pestisida terus meningkat yang pada gilirannya akan mengurangi margin keuntungan petani sebagai produsennya.

*Kawan-kawan bisa mengakses tulisan tentang Zaman Orde Baru dalam tautan ini

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//