Cacat Gelar Pahlawan Soeharto
Memberi gelar pahlawan kepada Soeharto bukanlah tindakan menghargai sejarah, melainkan mengubur luka sejarah dengan batu nisan yang bertuliskan “lupa”.

Fathan Muslimin Alhaq
Penulis konten lepas asal Jakarta
10 November 2025
BandungBergerak.id – Jejak sejarah Soeharto tidak pernah berwarna tunggal. Ia bukan sosok yang mudah dikategorikan antara hitam dan putih. Tapi justru karena itu, menempatkannya di posisi “pahlawan” adalah tindakan yang berbahaya bagi ingatan bangsa. Sebab sejarah Soeharto bukan sekadar catatan keberhasilan pembangunan, melainkan juga kisah tentang darah, represi, dan manipulasi kekuasaan yang mengubah wajah Indonesia selama lebih dari tiga dekade.
Soeharto sering dikenang sebagai “Bapak Pembangunan”. Di bawah rezim Orde Baru, ekonomi Indonesia memang tumbuh pesat, infrastruktur dibangun, dan stabilitas politik seolah terjaga. Namun, stabilitas yang dimaksud hanyalah nama lain dari ketakutan massal yang diselimuti propaganda. Di balik jalan tol, bendungan, dan pabrik yang berdiri, ada jerit pelan rakyat yang dikorbankan atas nama kemajuan. Ada buku-buku yang dibakar, suara yang dibungkam, dan sejarah yang disunting sepihak agar tampak indah di layar televisi milik negara. Sebelum mengangkat Soeharto ke panggung “pahlawan”, bangsa ini wajib menatap lurus ke masa lalu yang belum selesai.
Tahun 1965 adalah luka besar yang belum sembuh, dan di sanalah nama Soeharto muncul sebagai tokoh sentral. Ia mengambil alih kendali setelah peristiwa yang disebut G30S, namun kebenaran tentang tragedi itu masih diselimuti kabut manipulasi. Jutaan orang dituduh komunis tanpa bukti dan dibantai secara sistematis. Ribuan lainnya mendekam di penjara tanpa proses hukum. Di bawah komando Soeharto, operasi militer dilakukan di banyak daerah –dari Jawa hingga Sumatra, dari Bali hingga Kalimantan– dengan dalih menumpas bahaya laten. Tapi sesungguhnya, yang dibasmi adalah keberagaman pikiran dan perbedaan pandangan politik.
Bagaimana mungkin seseorang yang naik ke tampuk kekuasaan di atas kuburan massal bisa disebut pahlawan nasional? Kata “pahlawan” seharusnya berarti pengorbanan demi kemanusiaan, bukan pengorbanan manusia demi kekuasaan. Tak berhenti di situ, selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru, Soeharto menanamkan sistem yang mematikan daya kritis bangsa. Media dibungkam dengan tangan besi, pers hanya boleh menulis yang “aman”, dan mahasiswa dipaksa diam melalui ancaman. Rakyat yang berani melawan, dicap subversif. Mereka yang bersuara dianggap ancaman bagi stabilitas nasional. Ribuan aktivis menghilang, terutama menjelang kejatuhannya pada 1998. Banyak keluarga masih menunggu kabar anak-anak mereka yang tak pernah kembali. Di antara mereka, ada yang hanya mendapat sepasang sepatu, sehelai jaket, atau berita samar dari saksi yang tak berani bicara.
Soeharto juga mewariskan budaya korupsi yang begitu sistemik. Rezimnya mengakar dengan kolusi dan nepotisme, menempatkan keluarga Cendana di pusat ekonomi nasional. Dari minyak, tambang, hingga perbankan, semua dikuasai lingkaran dalamnya. Sementara rakyat kecil dibebani harga pangan tinggi dan akses pendidikan yang terbatas. Selama Soeharto berkuasa, pembangunan memang berjalan, tapi arah pembangunan itu lebih banyak menguntungkan elite ketimbang rakyat. Apa arti jalan raya mulus jika hanya dilewati mobil pejabat? Apa arti pertumbuhan ekonomi jika kesejahteraan tidak dirasakan secara merata?
Bahkan hingga akhir hayatnya, Soeharto tak pernah benar-benar mempertanggungjawabkan dosa politiknya. Kasus korupsi triliunan rupiah yang menjeratnya tak pernah selesai di pengadilan, karena alasan “kesehatan”. Sementara korban-korban kebijakannya tak pernah mendapat keadilan yang setimpal. Tidak ada permintaan maaf, tidak ada pengakuan, tidak ada penyesalan. Ia meninggal sebagai mantan penguasa yang dilindungi oleh ingatan setengah matang bangsa ini –ingatannya yang mudah lupa, mudah dimaafkan, tapi jarang belajar.
Baca Juga: Menghapus Nama Soeharto dari TAP MPR dan Wacana Gelar Pahlawan Nasional, Romantisisme Sejarah Orde Baru?
Pengusulan Suharto sebagai Pahlawan Nasional Melukai Amanat Reformasi 1998
Rencana Pemberian Gelar Pahlawan untuk Suharto Terus Menuai Penolakan dari Aktivis HAM
Makna Kepahlawanan
Lalu, ketika wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto muncul, pertanyaan moral pun menggelora: apa makna kepahlawanan di negeri ini? Apakah pahlawan hanya dilihat dari beton dan statistik ekonomi, bukan dari nurani dan kemanusiaan? Jika demikian, maka kita sedang mengkhianati nilai-nilai yang diperjuangkan para pahlawan sejati –mereka yang berani melawan ketidakadilan, bukan yang menciptakannya. Memberi gelar pahlawan kepada Soeharto bukanlah tindakan menghargai sejarah, melainkan mengubur luka sejarah dengan batu nisan yang bertuliskan “lupa”. Ia adalah simbol bagaimana bangsa ini kerap berusaha menormalisasi trauma, seolah dengan memutihkan nama, semua dosa bisa dihapus. Tapi sejarah tidak bekerja seperti itu. Sejarah tidak bisa disterilkan dari penderitaan mereka yang menjadi korban.
Mereka yang dituduh komunis tanpa bukti, para wartawan yang dipenjara, mahasiswa yang diculik, petani yang tanahnya dirampas, aktivis yang disiksa, dan keluarga yang ditinggalkan –semua punya hak untuk didengar sebelum negara memberi penghormatan pada seseorang yang pernah membuat mereka menderita. Kepahlawanan seharusnya datang dari keberanian melawan arus kekuasaan, bukan dari tangan yang memegang kekuasaan terlalu lama Jika Soeharto dijadikan pahlawan, maka pesan moral yang dikirim pada generasi muda sangat berbahaya: bahwa kekuasaan yang panjang bisa menutupi kekejaman, bahwa pembangunan bisa membenarkan represi, bahwa penguasa boleh salah selama meninggalkan gedung dan jalan tol. Inilah bentuk banalitas moral yang perlahan mengikis logika keadilan.
Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang cepat memaafkan tanpa memahami. Bangsa yang besar adalah bangsa yang berani mengakui luka, menatap masa lalunya tanpa filter propaganda, dan belajar agar kesalahan tak terulang. Soeharto bukan hanya sosok dalam buku sejarah, ia adalah cermin dari bagaimana kekuasaan bisa menggoda nurani bangsa hingga buta arah. Maka sebelum kata “pahlawan” disematkan di depan namanya, mari kita bertanya lagi: untuk siapa Soeharto menjadi pahlawan? Untuk rakyat yang kehilangan suara, atau untuk mereka yang pernah menikmati manisnya kekuasaan di bawah bayangannya? Sejarah bukan soal siapa yang menang, tapi siapa yang berani mengingat. Dan ingatan itu tidak boleh dipalsukan dengan penghargaan yang menodai luka bangsa sendiri.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

