SABTU SORE 32#: Setelah Deklarasi Zero Bullying, Lalu Apa?
Mengurai benang kusut masalah perundungan di Kota Bandung. Ada masalah sistem pendidikan yang harus dibenahi.
Penulis Iklima Syaira 14 November 2025
BandungBergerak - Perundungan (bullying) di Kota Bandung masih menjadi persoalan serius. Pemerintah Kota Bandung memang telah mendeklarasikan “Zero Bullying” yang dihadiri 75 kepala sekolah dan 16 SMP. Namun muncul pertanyaan penting: Setelah deklarasi, lalu apa?
Pertanyaan tersebut menjadi tema diskusi publik di Perpustakaan Bunga di Tembok, Sabtu, 8 November 2025. Hadir sebagai narasumber: Anggi Meilani (Great UPI), Sely Martini (Yayasan JaRI), dan Catur Ratna (DigitalMama.ID). Mereka sepakat bahwa deklarasi saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah perundungan.
Dalam diskusi, para pembicara menekankan bahwa bullying tidak hanya berdampak pada anak-anak, tetapi juga mencerminkan lemahnya sistem perlindungan di sekolah. Upaya pencegahan seharusnya dilakukan sejak tingkat taman kanak-kanak hingga SMA.
Namun, tidak semua sekolah di Kota Bandung memiliki fasilitas memadai untuk mendukung pencegahan ini. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran para orang tua.
“Meskipun pemerintah kota sudah deklarasi, bagaimana sekolah menerjemahkannya? Kita belum tahu akan seperti apa,” ujar Ratna, CEO DigitalMama.is sekaligus seorang ibu rumah tangga.
Ratna menambahkan bahwa setiap sekolah idealnya memiliki guru BK atau psikolog sekolah. Faktanya, banyak sekolah di Kota Bandung belum memiliki psikolog; jika pun ada, mereka tidak selalu hadir di sekolah. Menurutnya, inilah sistem yang perlu diperbaiki oleh pemerintah kota.
“Support system untuk menangani bullying belum sesuai standar,” tegasnya.
Ratna memandang sekolah sebagai rumah kedua bagi anak, tempat mereka seharusnya merasa aman. Ia menilai banyak kasus perundungan membesar karena konflik kecil tidak segera diselesaikan.
Ia menegaskan pentingnya sekolah menerapkan sistem yang mendengarkan dan mempercayai anak terlebih dahulu, bukan justru meragukan mereka. Jika suara anak, terutama korban, tidak didengar, kepekaan sosial mereka dapat menurun.
Ratna juga menyoroti risiko ketika anak tidak mendapatkan pendampingan yang memadai. Tanpa arahan orang dewasa, mereka bisa mengambil keputusan keliru berdasarkan informasi yang mereka serap dari berbagai sumber, termasuk media sosial. Di tengah perkembangan teknologi, menurutnya, sikap anak sangat dipengaruhi oleh sikap orang dewasa di sekitar mereka.
“Anak-anak pada dasarnya memiliki sifat baik, tetapi orang dewasalah yang bisa mengubah itu,” ujarnya.
Anggi sependapat bahwa kasus bullying merupakan masalah struktural, salah satunya karena peran guru BK di sekolah belum maksimal. Ia menilai sekolah harus memandang serius persoalan ini dan tidak mengecualikan pihak mana pun yang berada dalam lingkungan sekolah.
Menurut Anggi, seluruh pihak di sekolah perlu mendapatkan pelatihan pencegahan dan penanganan perundungan. Selain pelatihan, diperlukan aturan atau standar yang jelas terkait bullying.
“Siapa pun yang masuk ke lingkungan sekolah, bahkan tamu, harus mendapatkan pelatihan atau setidaknya mematuhi code of conduct yang berlaku,” ujarnya.
Anggi menegaskan bahwa bullying bukan sekadar persoalan personal antara pelaku dan korban, melainkan persoalan struktural. Selama struktur sosial dan kebijakan di sekolah tidak kuat, kasus bullying akan terus berulang.
“Harus ada kebijakan yang menyeluruh dan menguatkan struktur,” tambahnya.
Baca Juga: SABTU SORE #31: Lembang Kehilangan Rumput dan Sejarahnya, Mengapa Dataran Tinggi Ini Sekarang Dirundung Banjir?
SABTU SORE #30: Pemerintah Didesak Mengatur Cukai Minuman Berpemanis agar Sama Ketatnya Dengan Regulasi Rokok dan Alkohol
Peran Orang Dewasa
Sely menjelaskan bahwa trauma pada anak dapat muncul dengan cara berbeda-beda, layaknya tubuh yang merespons susu: bagi sebagian orang tidak bermasalah, tetapi bagi yang alergi bisa menimbulkan dampak serius. Anak-anak masa kini memiliki kepekaan tinggi terhadap sikap orang lain. Hal yang tampak sepele bagi orang dewasa, misalnya ajakan bermain yang ditolak, ini dapat membekas di pikiran mereka sepanjang hari.
Sely menekankan bahwa bila trauma atau pengalaman negatif tersebut tidak disadari oleh orang dewasa, baik di sekolah maupun di rumah, anak dapat mengambil tindakan sendiri di luar kendali orang dewasa.
“Orang tua, guru, kakak, atau bahkan teman harus aware. Kita tidak boleh jadi bystander,” ujar Sely.
Ia menambahkan bahwa fenomena bullying jauh lebih kompleks daripada sekadar menyebutnya sebagai ulah “anak nakal”. Perilaku bullying bukan muncul spontan, melainkan didorong oleh niat. Niat itu terbentuk dari cara anak memandang suatu tindakan. Ada tiga bentuk niat yang memengaruhi perilaku bullying:
Attitude. Pada tahap ini, anak belajar menilai apakah tindakan menyakiti orang lain dianggap wajar. Jika mengejek dianggap hal biasa, niat melakukan perundungan akan semakin kuat.
Subjective Norm. Lingkungan sosial sangat memengaruhi perilaku anak. Ketika anak menunjukkan tanda-tanda bullying dan orang dewasa, guru maupun orang tua, tidak memberikan teguran atau tekanan moral, perilaku tersebut akan meningkat.
“Gak apa-apa saya melakukan itu,’ karena tidak ada batasan moral yang membuat dia takut melakukannya,” jelas Sely.
Control. Anak yang merasa bebas dari pengawasan atau tidak takut konsekuensi akan lebih mudah melakukan bullying. Sely menyatakan bahwa hal ini berkaitan dengan interaksi antara kondisi pribadi anak dan sistem. Bila sistem tidak memberi batas jelas, anak akan merasa bahwa tindakannya wajar.
“Kalau sistem bilang, ‘oh itu mah anak-anak,’ maka masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya oleh orang tua, guru, atau menegur anak. Kita semua harus mengubah norma itu,” tutup Sely.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

