• Opini
  • Unpad dan Orang-orang Kiri

Unpad dan Orang-orang Kiri

Masa antara 1957 hingga sekitar Peristiwa 1965 merupakan era yang amat menarik untuk dicermati terkait hubungan Unpad dan ‘orang-orang kiri’.

Anton Solihin

Penikmat sepak bola dan Persib, mengelola Perpustakaan Batu Api di Jatinangor

Jurnal Penelitian Sejarah, yang pertama setelah Republik berdiri, diinisiasi oleh Iwa Koesoemasoemantri saat menjabat rektor Unpad. (Foto: Anton Solihin)

19 November 2025


BandungBergerak – Kawasan kampus Universitas Padjadjaran di Jatinangor tentu saja sama sekali bukan tempat yang ‘kekiri-kirian’. Justru nyaris setiap sudutnya dipenuhi perlambang kapitalisme teranyar: berbagai franchise ternama termasuk Starbuck dan McDonald. Kesan megah kampus Unpad–atau Unpadj untuk penyingkatan yang benar–dan kampus-kampus lain plus ‘fasilitas pendukung’ di kecamatan ini, dapat dilihat oleh semua orang.

Namun, realitas semu semacam ini sebenarnya berbaur bersama kekumuhan dan ‘kemiskinan’ yang tampak kasat mata, dan itu keruan mengingatkan penulis pada cerita Bank Kaum Miskin di Chittagong, Bangladesh. Dosen Ekonomi bernama Muhammad Yunus begitu gelisah melihat jurang pemisah antara apa yang diberikannya dalam kuliah dengan fenomena kehidupan masyarakat miskin yang dilihatnya sehari-hari di sekitar kampus, yang lalu melahirkan cerita tentang gagasan Grameen yang mendunia.

Chittagong dan Jatinangor nyaris serupa. Namun, kegelisahan yang melahirkan pemikiran revolusioner tentang gerakan Bank Kaum Miskin di Chittagong rupanya sama sekali tidak kita lihat tanda-tandanya di Jatinangor.

Suasana kampus Unpad di Jalan Dipati Ukur, Kota Bandung, tahun 1960-an. (Foto: Anton Solihin)
Suasana kampus Unpad di Jalan Dipati Ukur, Kota Bandung, tahun 1960-an. (Foto: Anton Solihin)

Dari Karya Tulis hingga Film dan Diskusi

Mungkin timbul pertanyaan, dalam konteks tulisan ini, apa itu ‘kiri’? Rewel untuk dikatakan di sini bahwa ‘kiri’ tidak serta merta berarti komunis atau Partai Komunis Indonesia (PKI). ‘Kiri’ berkelindan, bermetamorfosis menjadi budaya popular. Justru yang ditemukan adalah fenomena terkini yang sehari-hari bisa diamati dengan mudah, dan cukup menggelikan. Mudahnya adalah seperti ini: mahasiswa mematut-matut diri memakai pin palu arit, topi bergambar Che Guevara, atau kaus berlambang bintang merah supaya dianggap ‘kiri’ atau agar tampak seksi (Sungguhkah begitu?). Atau ujug-ujug yang aneh belakangan ini: dari siswi SMP hingga mahasiswi cantik nan modis dengan beragam harum parfum sibuk membaca Madilog-nya Tan Malaka yang entah mengapa juga akhir-akhir ini menjadi tren bacaan anak muda berdampingan dengan Laut Bercerita, Filosofi Teras, dan buku serial Tere Liye.

Setidaknya ditemukan satu buku tua karya Lenin di Perpustakaan Pusat kampus Unpad. Meski begitu, selama bertahun-tahun tampaknya sia-sia belaka jika kita berhasrat menemukan mutiara berharga pemikiran Max Horkheimer, Antonio Gramschi, Paul K. Feyerabend, Jacques Derrida, Mohammed Arkoun, Hassan Hanafi, atau Asghar Ali Engineer pada rak-rak buku di kampus yang didirikan pada 11 September 1957 ini.

Apabila penjelasan di atas kurang ilmiah, berikut adalah gambaran secara acak saja karya tulis yang dibuat civitas academica Unpad dalam kurun 30 tahun terakhir, yang bisa dikaitkan dengan fenomena ‘kiri’ yang penulis maksud:

Subhan SD (terakhir wartawan kawakan Harian Kompas, alumnus Jurusan Ilmu Sejarah generasi akhir 1980-an) menulis skripsi yang telah diterbitkan menjadi buku Langkah Merah: Gerakan PKI 1950-195’, diterbitkan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1996).

Muradi (terkini adalah guru besar Fisip) merilis buku Pergerakan Kaum Marxis di Indonesi: Kiprah Sjahrir dan Tan Malaka dalam Pergerakan Nasiona, Cedess: 2004.

Staf pengajar di Jurusan Antropologi Fisip, Dede Mulyanto menulis dan menjadi editor beberapa buku dengan kecenderungan ‘kiri’ yang kuat, di antaranya: Kapitalisme: Perspektif Sosio-Historis (Ultimus, 2010), Di Balik Marx: Sosok dan Pemikiran Frederich Engels (Marjin Kiri, 2015), dan Friedrich Engels: Pemikiran dan Kritik (Ultimus, 2020) sebagai editor bersama Fuad Abdul Gani.

Nama Nina Herlina (Lubis) terhubung dengan buku bertajuk G30S Sebelum & Sesudah (2012). Buku ini sangat bermasalah baik secara isi dan teknis penulisan sebagaimana pernah penulis tulis kritiknya dalam media ini juga. Memprihatinkan bahwa buku seperti ini menjadi konsumsi publik, yakni guru-guru sejarah dan pelajar SMA di Jawa Barat.

Kelana Wisnu menulis skripsi yang tidak biasa (untuk lingkup Jurusan Sastra Indonesia), tetapi juga luar biasa: Warisan Semangat Bandung dalam Puisi Solidaritas Transnasional, Konferensi Pengarang Asia Afrika.

Dan pada tahun 2023, muncul dua skripsi menarik: Kajian Pascakolonialisme Puisi Lekra dan Manikebu: Studi Kasus Agam Wispi dan Goenawan Mohamad (M. Dzaki Abdullah, Jurusan Sastra Indonesia) dan Persoalan Pangan dan Makanan Tahanan Politik di Pulau Buru 1969-1979 (Raka Putra Pratama, Jurusan Ilmu Sejarah)

Perlu ditekankan di sini, penyebutan nama-nama di atas sama sekali tidaklah diartikan atau menunjukkan bahwa mereka ‘orang-orang kiri’.

Berikutnya penulis mencatat acara terkait buku dan film ‘kiri’ di Jatinangor era 2000-an:

Sepanjang tahun 2000-an, artinya setelah Orde Baru runtuh, penulis tidak pernah mengetahui ada nonton bareng film Pengkhianatan G30S/PKI, tetapi film-film seperti di bawah ini diputar untuk umum di Jatinangor: Shadow Play, The Years of Living Dangerously, 40 Years of Silence, Jagal, Senyap, Buru Tanah Air Beta, dan terakhir di tahun ini diputar Eksil di Studio XXI Mall Jatos dan full house pula!

Meski pemutaran film ‘kiri’ semarak, acara bertajuk "Seminar Marxisme sebagai Ilmu Pengetahuan" di Fisip Unpad batal diselenggarakan. Ia dianggap hendak menyebarkan ajaran komunisme oleh kelompok intoleran dan pihak kepolisian. Sungguh mengherankan bahwa karena tekanan pihak luar tadi, rektorat kampus membatalkan secara sepihak acara itu pada Rabu, 18 Mei 2016 atau sehari sebelum acara berlangsung.

Buku Tenaga Manusia karya Semaoen ketika menjadi bagian dari staf dosen Unpad. (Foto: Anton Solihin)
Buku Tenaga Manusia karya Semaoen ketika menjadi bagian dari staf dosen Unpad. (Foto: Anton Solihin)

Baca Juga: Cerita Kecil Dunia Buku Bandung Era 1990-an
Bukan Bioskop, Tetapi Komunitas Layar Tancap

Enam Nama di Periode Awal Unpad

Masa antara awal kelahiran Unpad pada 1957 hingga periode di sekitar Peristiwa 1965 merupakan era yang amat menarik untuk dicermati terkait hubungan Unpad dan ‘orang-orang kiri’ yang penulis maksud. Setidaknya penulis mencatat enam nama yang bisa diceritakan.

Nama pertama yang tentu banyak diketahui khalayak adalah Iwa Koesoemasoemantri (IK) (1899-1971). Ia merupakan presiden (atau kemudian disebut rektor) pertama Unpad periode 1958-1961.

Riwayat hidup Iwa banyak ditulis. Bukan hanya otobiografi Sang Pejuang dalam Gejolak Sejarah (2002) yang disunting oleh Nina Herlina (Lubis). Salah bahasan mencakup juga keterkaitannya dengan “cap kiri” yang acapkali disangkal. Edi S. Ejadjati, misalnya, menulis dalam Dari Pentas Sejarah Sunda (Kiblat, 2006): “Ia dituduh golongan Kiri (Komunis) yang terlibat dalam “Peristiwa 3 Juli 1946” bersama Tan Malaka, tetapi dikatakan ia dapat menangkal berbagai tuduhan yang bersifat fitnah itu.” Dikatakan juga oleh Nina Herlina: “Kalaupun IK tercatat sebagai anggota kehormatan Partai Murba, ini tidak berarti bahwa ia menganut murbaisme ataupun faham komunis.”

Sebagai data pengimbang, berikut ini adalah catatan penulis mengenai cap ‘kiri’ IK. Pada tahun 1921, IK tiba di Belanda untuk mengambil sekolah hukum dan dua tahun bersealng ia menjabat ketua Perhimpunan Indonesia (PI). Sebagian besar catatan riwayat IK tidak banyak mengungkap seputar kepergiannya ke USSR (sekarang Rusia). Namun buku terbaru Klaas Stutje bercerita cukup rinci, dan memperkaya celah kosong ulasan Roel Sanre dalam Majalah Prisma No. 5. Mei 1984 terkait watak revolusioner IK dan hubungannya dengan Semaoen.

Begini dikatakan Stutje: “Menjelang akhir 1925 IK pergi ke Moskow bersama Semaoen dan mendaftar atas beasiswa Comintern, lalu masuk Kommunisticheskiy universitet trudyashchikhsya Vostoka (Universitas Komunis Buruh dari Timur) (hal. 158). IK berkembang menjadi propagandis ulung melengkapi garda tua seperti Semaoen, Darsono, Musso, dan Alimin (hal. 236). Semaoen dan IK telah diberi kuasa untuk bertindak atas nama PI di dalam Comintern. Kerja sama erat yang berkembang antara Semaoen dan PI ini penting, karena Semaoen-lah yang mengundang PI hadir dalam Kongres Melawan Imperialisme di Brussel.” (2024: 16)

Catatan berikutnya mengenai IK kita temukan pada buku yang sudah menjadi klasik mengenai sejarah Indonesia: Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Dikatakan oleh Kahin: “IK adalah seorang Marxis yang giat (meskipun bukan anggota PKI). Ia mengajar sejarah di Moskow (1925-1926). Ketika Kembali ke Medan sebagai pengacara ia dituduh sebagai komunis oleh Belanda. Kemudian dia diasingkan ke Pulau Banda dan di sana ia menjadi seorang Muslim.” (2013: 297). Cerita IK ini ibarat contoh kasus yang pas untuk lelucon semacam ini: “Kaum Marxis terbaik ada di luar Partai Komunis, dan yang ada di dalamnya tinggallah yang paling idiot.”

Membaca kembali kisah IK itu, penulis teringat buku The God That Failed (1949) yang kemudian diindonesiakan menjadi Kegagalan Tuhan Komunis: Suatu Pengakuan yang diterbitkan Front Anti Komunis pada tahun 1955. Buku ini berisi semacam pertobatan, lepasnya para pesohor di dunia literatur dari jerat komunisme, termasuk Arthur Koestler, Ignazio Silone, Andre Gide, dan Richard Wright, penulis kulit hitam terkemuka Amerika yang pernah datang ke Bandung meliput Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Terkait konteks buku itu, IK juga dikesankan sebagai orang yang insyaf dari komunis atau digambarkan sebagai seorang Islam ortodoks sepulangnya dari Banda.

Namun simpati Iwa terhadap komunisme tidak pernah luntur, bahkan saat ia menjabat rektor Unpad. Begini ceritanya. Roel Sanre menulis bahwa selama memimpin Unpad, Iwa banyak memperoleh kesempatan pergi ke luar negeri, dan dalam suatu perjalanan mencari tenaga pengajar dari Eropa, Iwa berangkat lewat Peking (sekarang Beijing). Di sana Iwa bertemu kembali dengan Semaoen (Prisma 5, Mei 1984, halaman 78), sahabat lama yang kemudian ia ajak untuk mengajar di Fakultas Ekonomi Unpad. Pada tahun 1961 terbitlah buku karya Semaoen berjudul Tenaga Manusia: Postulat Teori Ekonomi Terpimpin yang dalam prakata-nya tertulis “perlu sekali kepustakaan kita diperkaja dengan pandangan-pandangan ekonomi sosialis…”

Pada tahun 1958, Jozip Broz Tito mendapatkan gelar doktor kehormatan (hc) dalam Ilmu Hukum dari Unpad yang diberikan langsung oleh Iwa Koesoemasoemantri. Tito adalah tokoh besar komunis yang membawa Yugoslavia melewati Perang Dunia II, lepas dari pengaruh Uni Soviet, dan setelah kematiannya, hancur berkeping-keping. Dengan begitu, sejauh yang bisa diketahui, di masa kepemimpinan IK, dua tokoh ‘kiri’ mendapatkan gelar Dr Honoris Causa dari Unpad: Jozip Broz Tito dan Semaoen!

Nama kedua yang perlu dicatat tentang kaitan Unpad dan orang-orang ‘kiri’ tentu saja adalah Semaoen (1899-1971). Ia merupakan orang pertama Indonesia yang memimpin PKI. Sebelum tiba untuk diasingkan di Belanda, Semaoen telah menulis roman bertajuk Hikajat Kadiroen (1919).

Semaoen kemudian pergi ke Uni Sovyet, dan tinggal di sana selama lebih dari 30 tahun dan melakukan beragam aktivitas hingga diangkat oleh Stalin menjadi pimpinan Badan Perancang Negara (Gozplan) di Tajikistan. Kepulangan Semaoen ke Indonesia pada tahun 1953 merupakan inisiatif Iwa Koesoemasoemantri. Semaoen, Iwa, dan Sekjen Partai Komunis Iran menikahi tiga putri kakak-adik yang saat itu bekerja dalam Comintern. Pada tahun 1950-an itu bisa dikatakan Semaoen telah terputus dari PKI, partai yang ia dirikan, sehingga dia bisa terhindar dari masalah akibat tragedi 1965.

Nama ketiga yakni R. Moh. Ali (1912-1974). Ia adalah Ketua Jurusan Sejarah pertama di Unpad (1958-1960, 1960-1962), (Dienaputra, 1999: 26-27). Merujuk Projectsenandika.com, 29 April 2018, yang ditulis Dhani Kurniawan, terungkap dengan cara yang meragukan bahwa hilangnya nama R. Moh. Ali dari orbit keilmuan sejarah Indonesia di akhir rezim Soekarno kemungkinan terkait erat dengan pemikiran dan pilihan politiknya. Argumen itu diungkapkan dengan kenyataan bahwa buku-bukunya di tahun 1960-an diterbitkan oleh Bhratara yang pernah mendapat cap penerbit komunis. Berikutnya dikatakan pada tulisan itu: “Bahkan sejarawan Bambang Purwanto dalam sebuah seminar nasional mengatakan bahwa dahulu karya-karya R. Moh. Ali terlarang untuk dibaca.”

Patut direnungkan bahwa R. Moh. Ali merupakan sejarawan terpenting yang pernah dimiliki Unpad, dan kenyataan itu sepertinya dinafikan oleh Unpad sendiri. Arti penting R. Moh. Ali misalnya tercatat sebagaimana yang terungkap pada seminar yang dilangsungkan di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2024 lalu, atau juga dalam buku yang sekarang sudah menjadi klasik: Historiografi Indonesia: Suatu Pengantar (1995: 371). Sejarah Nasional, buku 20 jilid tanpa mencantumkan nama penulisnya, merupakan karya R. Moh. Ali. Karya yang diterbitkan oleh IKIP Bandung ini “menggunakan sejarah Indonesia sebagai alat untuk mendidik para calon guru desa untuk membebaskan diri dari dunia feodal dan untuk menanmkan konsep nasionalis modern”.

Penekanan kata feodal–secara sederhana diartikan sebagai sistem sosial, ekonomi, dan politik yang didominasi oleh hierarki yang sangat kuat–pada kalimat “menggunakan sejarah Indonesia sebagai alat untuk mendidik para calon guru desa untuk membebaskan diri dari dunia feodal” di atas, di tahun 1950-1960-an adalah diksi umum yang kerap dipakai untuk membangun argumen sebagaimana bisa dibaca pada tulisan-tulisan orang-orang yang dicap ‘kiri’ seperti Pramoedya Ananta Toer atau Semaoen. Dengan begitu, apakah R. Moh Ali bisa dianggap ‘orang kiri’?

Penjelasan yang mungkin mendekati “spirit Madilog”-nya Tan Malaka mengapa R. Moh. Ali disangkutpautkan sebagai ‘orang kiri’ kita temukan dalam tulisan Parlindungan Peranan Bangsa Indonesia Dalam Sedjarah Asia Tenggara, yakni penekanan untuk meninggalkan takhayul dan menulis sejarah dengan logika berpikir rasional, sebagai berikut:

Drs. R. Moh. Ali sama djitu seperti Resident Portman didalam hal menggunakan Sistim Max Weber (=Sistim Methodology didalam analysa sedjarah). Pada buku itulah pertama kali seorang Ahli Sedjarah/Orang Djawa sanggup melepaskan diri dari Hindu-mania ad absurdum men-tjungkil2 peninggalan2 Kafir berupa epics dan tjandi2 Hindu/Djawa. Bravo!!

Mudah-mudahanlah new generations Ahli2 Sedjarah, Orang2 Indonesia jang mentjapai Academic Degrees sesudah PD/II, suka mengikuti djedjak dari Drs. R. Moh Ali. Agar supaja as long last dapatlah berdasarkan Sistim Methodology diadakan Analisa sedjarah…” (Tuanku Rao, 1964: 684)

Sampul buku kumpulan sajak Dodong Djiwapradja. (Foto: Anton Solihin)
Sampul buku kumpulan sajak Dodong Djiwapradja. (Foto: Anton Solihin)

Nama keempat yang menarik adalah Dodong Djiwapradja. Patut diduga pada suatu masa ia aktif dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Pada tahun 1960, puisinya yang berjudul Tantangan meraih hadiah sastra Harian Rakyat, sementara karyanya Kastalia: Kumpulan Sajak 1948-1973 baru diterbitkan Pustaka Jaya pada tahun 1997.

Kelana Wisnu, yang menulis mengenai Konferensi Pengarang Asia Afrika (1958), mengatakan seperti ini: “Dodong waktu itu ke Tashkent sebagai delegasi Indonesia dari Lekra. Saat itu yang menunjuk delegasi adalah Lekra dan PKI (yang juga melakukan lobbi). Dikatakan menurut Hong Liu, pengiriman delegasi memang jadi strategi politik partainya. Itu sebab setelah pulang dari Tashkent, Pramoedya Ananta Toer langsung ke ‘Kongres Nasional Lekra’ di Solo.”

Dodong adalah segelintir saja dari sastrawan terkemuka Indonesia yang pernah berkiprah mengajar di Unpad. Ia bekerja sebagai dosen luar biasa pada Fakultas Sastra Unpad antara 1979 hingga 1985. Selain Dodong, di era 2000-an, terdapat nama Sapardi Djoko Damono dan Seno Gumira Ajidarma (tetapi tidak lama). Dan di masa-masa sebelumnya, bisa disebut nama-nama Ajip Rosidi, Semaoen, Wildan Yatim, Subagio Sastrowardojo, dan Wing Kardjo.

Kaitan Peristiwa 1965 dengan Unpad juga cukup menggelitik untuk dibahas. Artikel Abdul Wahid di Jurnal Archipel 95-2018, berjudul ‘Kampus Terbakar: Perguruan Tinggi di Indonesia Saat Gejolak Politik 1950an-1960an (Berkas Pasca 1965: Perspektif Indonesia)’, menarik sekali untuk dikemukakan di sini. Disebutkan: “Kampanye kontra-revolusioner dimulai di kampus-kampus cukup awal, hanya beberapa minggu setelah tanggal 30 September. Tentara “membersihkan” universitas negeri dari elemen komunis dan sayap kiri melalui skema penyaringan struktural, yang melibatkan otoritas universitas, dosen, dan mahasiswa. Unpad menyatakan bahwa pada 1 November 1965, 227 mahasiswa dan 25 dosen, asisten dosen serta pegawai administrasi telah ditangkap, terkait aktivitas pada pelbagai organisasi terkait komunis.” Tidak ada penjelasan lanjutan terkait siapa dan nama-nama yang dianggap terlibat. Soal ini dijelaskan oleh Abdul Wahid bahwa dari semua kampus di Indonesia waktu itu, hanya UGM yang punya data rinci.

Ditambahkan oleh Abdul Wahid: “Rezim Orde Baru merasa perlu untuk menciptakan mekanisme pencegahan yang sistematis dengan melembagakan skema penyaringan hingga awal tahun 1990-an untuk menghapus komunisme sepenuhnya dari Indonesia dan memastikan bahwa semua universitas negeri tetap “bersih lingkungan” dari warisan PKI dan kelompok sayap kiri radikal lainnya. Skema penyaringan bahkan diperluas untuk mengontrol rekrutmen dan promosi pegawai negeri yang bekerja di kampus, pembelian bahan bacaan, kurikulum, dan pengawasan kegiatan penelitian. Yang terakhir ini mencakup pengawasan terhadap penulisan dan pengajaran sejarah yang berkaitan dengan peristiwa 1965 untuk memastikan bahwa pengetahuan tentang Komunisme-Leninisme dan sejarah PKI sesuai dengan kepentingan nasional (rezim).”

Sebagai pembanding, buku Mereka dari Bandung: Pergerakan Mahasiswa Bandung 1960-1967 (1998) yang ditulis Hasyrul Moechtar mendeskripsikan dengan rinci hari-hari penuh marabahaya dan spirit kepahlawanan apa yang disebut Angkatan ’66. Namun sungguh mengherankan, tidak satu pun nama lawan mereka disebut.

Terdapat kenyataan bahwa Peristiwa 1965 berdampak negatif terhadap studi-studi agraria. Banyak dosen-mahasiswa Unpad dikeluarkan dari kampus karena dituduh menjadi anggota PKI atau mendukung gagasan komunis mengenai reformasi agraria. Atau ada juga pendapat bahwa pelarangan ideologi komunis atau marxis berpengaruh pada berkurangnya diskursus kritis ilmu sosial di Indonesia setelah 1965.

Tidak banyak data yang bisa diperoleh dari pihak dalam kampus. Pengecualian adalah 40 Tahun Fakultas Sastra Mengabdi: Dari Kampus Dipatiukur hingga Kampus Jatinangor (1999), diterbitkan Fakultas Sastra Unpad. Cuma sayangnya, catatan yang secuil itu dibuat asal jadi, juga rancu. Pada halaman 22 tertulis: “Pengaruh paling penting yang dirasakan Fakultas Sastra sebagai akibat langsung maupun tak langsung dari peristiwa tersebut adalah dibubarkannya Jurusan Bahasa dan Sastra Cina pada tahun 1966.” Namun pada halaman 18: “Pada tahun 1968 Jurusan Bahasa dan Sastra Cina dihapus karena tenaga edukatifnya tidak memadai, minat calon mahasiswa kurang dan situasi politik tidak menunjang.”Bagaimana ini, 1966 atau 1968?

Pengungkapan lain yang menarik bisa kita baca pada tulisan Dyah Ayu Kartika di jurnal International Institute of Social Studies (2016) berjudul ‘Politisasi Psikologi: Peran Psikolog di Kamp Tahanan Indonesia pada Era Orde Baru’. Tertulis di sana: “Universitas Nijmegen dicurigai karena mempunyai proyek bersama dengan dua universitas di Indonesia, Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Padjajaran (Unpad) , yang berfokus pada proses konstruksi tes, psikologi pendidikan, psikologi sosial, dan metodologi penelitian terkait tahanan politik “Peristiwa 1965” antara tahun 1970-1975. Menariknya, kedua belah pihak membantah terlibat dalam proyek tersebut meskipun ada banyak bukti. Disebutkan pada artikel itu dua nama dari Unpad yakni Prof. Ma’rat and Dr. Sumarto.”

Disebutkan juga mengenai “proyek yang dikembangkan oleh dinas psikologi Angkatan Darat yang banyak melibatkan psikolog dari Unpad. Dua tokoh yang menonjol adalah Sumarto dan Sumitro. Mereka memainkan peran sentral dalam proyek desain kurikulum di Unpad dan melakukan tes psikotes bagi narapidana di Pulau Buru (Army Psychological Service 2016).”

Ditambahkan: “Hubungan antara Dinas Psikologi Angkatan Darat dan Fakultas Psikologi Unpad sangat erat. Karena Dinas Psikologi Angkatan Darat membutuhkan lebih banyak personel, mereka mengusulkan untuk membuka fakultas psikologi di Unpad yang lokasinya satu kota dengan Mabes TNI di Bandung, Jawa Barat. Beberapa pejabat tinggi dinas psikologi memberikan ceramah, dan menjadi dekan fakultas (Layanan Psikologi Angkatan Darat 2016).” (hal. 33).

Bukan hanya itu, lewat Peristiwa 1965 pula, sekarang kita tahu bahwa Unpad juga memiliki eksil.

Willy R. Wirantaprawira, nama eksil pertama, berkuliah di Taras Shevchenko National University di Kiev Ukraina, setelah sebelumnya berkuliah di Fakultas Sospol Unpad cabang Priangan Timur di Tasikmalaya. Pada September 1963, setelah serangkaian tes, berangkatlah Willy ke USSR Bersama kontingen Duta Ampera ke-2 mengambil jurusan Hukum Internasional. Setelah kepulangan ke tanah air dalam situasi yang rumit, pada 1968 Willy kembali ke Rusia dengan paspor baru, dan sejak 4 Februari 1972 pindah ke Berlin. Cerita Willy bisa dibaca pada artikel berseri: Api di Kereta dari Moskow ke Berlin (1-3).

Eksil kedua adalah Anwar Purnama. Dalam wawancara di kanal Youtube Vincent Rumahloine (2021), ia mengatakan bahwa dirinya adalah angkatan kedua Fakultas Ekonomi Unpad. Bertahan kira-kira setahun di Unpad dan menjadi ketua Pemuda Rakyat di Cianjur, Anwar kemudian pergi ke Rusia. Diketahui terakhir ia tinggal di Praha.

Eksil ketiga adalah Awal Uzhara. Penulis pertama kali mengenal namanya dari artikel wawancara Harian Kompas yang dibuat Subhan SD di Rusia. Sebelum meninggal, telah dibuat dokumenter dan buku menyangkut sosoknya. Penulis acap bersua Pak Awal pada tahun 2014. Ia adalah orang yang selalu antusias berbicara mengenai film, Leo Tolstoy, dan Anton Chekov. Hari-hari terakhirnya dihabiskan untuk (diperbantukan) mengajar, membimbing para mahasiswa Sastra Rusia di Unpad Jatinangor.

Setelah semua pengungkapan kisah di atas, penulis berharap pembaca tulisan ini sekarang melihat Unpad dengan cara yang baru. Sudah saatnya kawasan Jatinangor (termasuk Unpad di dalamnya) bersih-bersih. Bukan dari ‘orang-orang kiri’ tentu saja, tetapi dari sampah!

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//