Bukan Bioskop, Tetapi Komunitas Layar Tancap
Di Bandung, ruang-ruang alternatif pemutaran film bermunculan. Ada kisah lucu, tapi mengalami juga penyensoran dan bahkan pelarangan.

Anton Solihin
Penikmat sepak bola dan Persib, mengelola Perpustakaan Batu Api di Jatinangor
14 Juli 2025
BandungBergerak - Riwayat hubungan film dan Bandung menyisipkan banyak ruang-ruang alternatif pemutaran film, dengan cerita yang terentang panjang. Tentu tidak ada yang ujug-ujug. Artinya, kisah ini berproses.
Tentang kisah Bandung sebagai pelopor perfilman nasional, sudah banyak yang ditulis. Misalnya, Bandung sebagai lokasi pembuatan film (contohnya Lewat Djam Malam, Mat Peci, atau Si Kabayan Saba Kota), lokasi festival film (FFI 1985 adalah salah satu festival film paling meriah dan banyak dikenang), tempat kelahiran para sineas dan bintang film (Rd. Mochtar, Nurnaningsih, Rahmat Hidayat, Lenny Marlina, atau Didi Petet), serta tempat bertumbuhnya bioskop-bioskop (dengan gaya pengungkapan yang khas, banyak sisi soal ini diceritakan Haryoto Kunto dengan amat menarik). Meskipun begitu, fokus yang ingin diungkap di sini menyangkut apresiasi (artinya menikmati film lebih dari sekadar hiburan, yakni menonton di bioskop pada zaman dulu atau di studio-studio semacam XXI atau CGV di masa sekarang), yang terkait erat dengan ruang-ruang alternatif pemutaran film itu tadi. Penulis mengibaratkannya sebagai ‘komunitas layar tancap’.
Apa artinya apresiasi film? Dalam waktu yang panjang kita menonton banyak film, pada beragam genre, pada banyak zaman. Lama-lama kita terlatih juga dalam membedakan mutu. Tidak bisa tidak kita akan bisa membandingkan antara film yang satu dengan yang lain. Sesederhana itu artinya mengapresiasi. Lama lama kita akan tahu juga apa saja yang kurang dalam film ini dan apa saja yang menarik darinya. Dengan demikian wajah film tidak ditentukan oleh pengulas film, cendikiawan, profesor, universitas, budayawan, agamawan, atau pemerintah, tetapi melulu oleh kita yang banyak ‘menonton.’ Itulah maksud apresiasi di sini.
Hubungan apresiasi, mutu, dan ruang-ruang pemutaran film alternatif membutuhkan penjelasan lebih lanjut, dan untuk itu diperlukan banyak pertanyaan. Misalnya begini: apakah sejak film pertama hadir di kota ini, orang Bandung suka menonton film, dan sejak kapan film-film yang dianggap pilihan dan disaksikan dalam ruang-ruang alternatif menjadi tontonan warganya? Film-film yang diputar, temanya dibuat berdasar apa? Apakah terdapat film tertentu yang tidak diperkenankan diputar, apa alasannya? Film-film menarik apa yang pernah diputar?
Juga: lebih penting mana, mengapresiasi film atau membuat film? Pemutaran film apa yang mungkin mengundang polemik? Kenapa banyak yang berkata, nonton di 'anu' yang menarik adalah ruangan menonton dan diskusinya? Apa perbedaan dalam memahami masyarakat antara hasil mengapresiasi film, dibandingkan dengan bahan bacaan atau menonton konser musik, misalnya? Tema film, apakah selalu dibuat menjadi 'berat' padahal filmnya ringan, atau harus diskusinyalah yang dibuat 'berat'? Bagaimana apresiasi penonton selama ini? Dan terakhir, apakah yang dijadikan ukuran keberhasilan?
Sebagian pertanyaan barangkali penting dijawab meskipun secara acak saja, tetapi sebagian sisanya tidak perlu jawaban. Barangkali malah bagus untuk bahan renungan.
Bioskop-bioskop di Bandung
Mengenai ‘menonton film’ suatu Ketika Haryoto Kunto, sang kuncen Bandung, pernah berkata begini: “Nyaris tak masuk akal buat orang-orang dulu yang lahir dan dibesarkan di zaman normal, manakala mereka harus hidup di Kota Bandung tanpa kehadiran gedung bioskop.”
Film umumnya memang diputar pada tempat semacam theater yang dinamakan bioskop. Sejak awal, bioskop di Bandung menyebar ke seantero kota. Acak saja, dalam rentang 1912 hingga awal 2000-an kita akan menemukan nama-nama seperti ini: Oranje Electro Bioscope, De Crown, Orient (Aneka), Bioscoop Concordia (kemudian berubah menjadi Majestic), Preanger Theatre (Luxor), Paramount, Elita - Puspita, Apollo – Empress, Rivoli, Capitol, Texas, Varia Park (Pistren) - (Palaguna) Nusantara - Dwikora, Dallas, Kings, Roxy, Rex – Panti Budaya - Vanda, Montana, Siliwangi, Sahati, Nirwana, Bison, Pop, President, Regent, Braga Sky, Panti Karya, Radio City - Dian, Pasundan, Kiara, Galaxy, Bandung Theater, Plaza, Setia, Hawaii, Warga, Wargi, Taruna, Marga Senang, Merdeka (di Dayeuhkolot), termasuk ‘misbar’ seperti: Taman Riang, Taman Senang, dan Taman Hiburan. Akibat perubahan zaman, saat ini bioskop -bioskop tersebut berhenti beroperasi, tutup dan perlahan-lahan layar perak pindah, beralih rupa menjadi tempat pemutaran film yang diistilahkan studio, yang umumnya berada di dalam mall.
Dengan bioskop sebanyak itu, tentu bisa dimaknai bahwa orang Bandung suka menonton film.
Sejumlah bioskop yang disebut di atas diantaranya, pada masa keemasannya punya nilai historis tinggi. Elita dan Orient pada tahun 1926 menjadi tempat pemutaran perdana film Loetoeng Kasaroeng (Henveldorp & Kruger – Java Film Company), sementara Luxor menjadi tempat pemutaran film bicara pertama di Bandung pada tahun 1930. Bersama Elita dan Aneka, Luxor juga termasuk dalam kategori bioskop yang bangunannya memiliki nilai arsitektural tinggi.
Kini bioskop-bioskop legendaris itu sudah lama punah. Dan dengan ‘hilangnya’ gedung-gedung itu, Bandung juga tuna sejarah!

Baca Juga: Lima Puluh Tahun Kelahiran Sex Pistols dan Revolusi Punk, Kita Artikan Apa?
Berhentilah Membangun Wisata Alam Buatan di Priangan!
Menonton Film di Luar Bioskop
Lalu sekarang, yang menjadi fokus tulisan ini, sejak kapan komunitas atau klub pemutaran film-film alternatif ini muncul di kota Bandung? Sejauh artefak yang bisa didapat, barangkali kita harus menyebut Liga Film Mahasiswa (LFM) Institut Teknologi Bandung sebagai ‘bioskop alternatif’ awal di kota ini. LFM resmi berdiri pada 21 Maret 1960. Di tahun itu, jumlah bioskop di Indonesia tercatat sebanyak 780 buah, tetapi di awal Orde Baru (1967) jumlahnya berkurang jauh, menyisakan 350 buah.
Dikatakan oleh Dr. Soedjoko dalam Majalah Apresiasi (No. 18 Tahun III Desember 1972: 30): “Jauh sebelum demontrasi2 menumbangkan Orde Demokrasi Terpimpin dan PKI (1966), mahasiswa ITB sudah bergiat di bidang2 tari, musik, film dan drama, baik secara perorangan maupun kelompok, dan (semuanya itu) lepas dari kehendak lembaga atau pimpinan ITB.”
Ditambahkannya: “Pemrakarsa2 Film Club STACIA hanya mau film2 bermutu artistic tinggi, seperti buatan Jean Renoir, Marcel Carne, Sergei Eisenstein dll. Mereka adalah mahasiswa2 elektro (Soedjana Sapii & Muhammad Siswosudarmo)”.
Penulis tidak menemukan catatan lain apakah STACIA ini terkait LFM, atau komunitas film lain dalam ITB yang berdiri sendiri. Namun yang menarik bagi penulis ialah bahwa penyebutan nama-nama sutradara tersebut di atas yang menunjukkan wawasan yang tidak umum saat itu.
Awalnya pemutaran oleh LFM dilaksanakan dua kali seminggu, lalu pada tahun 1990-an menjadi sekali seminggu pada Rabu malam. Penulis sendiri berkesempatan beberapa kali menonton film di LFM pada akhir 1980-an dan 1990-an, seringkali dalam suasana riuh rendah khas kampus. Misalnya, ada kebiasaan kalau ada adegan ciuman, para penonton akan ramai-ramai menggebrak meja! Cukup dengan ruangan dan proyektor, di tempat ini selalu diusahakan film-film yang unik dan susah didapatkan.
Setidaknya penulis mencatat dua acara besar yang diselenggarakan LFM ITB dan penulis hadir di sana. Yang pertama adalah Diskusi Perfilman Nasional pada 8 Juni 1991 berjudul “Kaitan Antara Aspek Mutu dan Bisnis dalam Perfilman Nasional”, dengan mengundang Putu Wijaya dan Niniek L. Karim. Yang kedua adalah Pameran Foto dan Pemutaran Film Wim Wenders pada 11-16 Oktober 1999, dengan memutar film-film hebat seperti: Summer In the City (1970), Alice in the Cities (1974), dan Lisbon Story (1994). Perlu penulis beri penekanan bahwa kita tidak bisa melihat acara di atas dengan perspektif hari ini karena di masa itu film-film Wenders betul-betul langka dan susah didapat, sehingga acara semacam itu sesungguhnya istimewa.
Di era 1980-1990-an, ruang alternatif semacam LFM bertambah dengan hadirnya CCF (Pusat Kebudayaan Prancis di Bandung, sekarang IFI). Sepanjang pengetahuan penulis, CCF secara umum memutar film-film Prancis atau film yang berbahasa Prancis. Penulis tentu saja berulang kali menonton film di tempat itu. Salah satu yang amat berkesan, yakni manakala sekali waktu di tahun 1990-an penulis menonton Ran (Akira Kurosawa). Film Jepang? Rupanya film itu diproduseri oleh orang Prancis!
Di masa itu, secara umum tentu saja penulis tidak banyak memahami tontonan macam apa yang dihadirkan di tempat seperti CCF ini karena wawasan menonton berpusat pada film-film di bioskop: sinema Indonesia, Bollywood, film-film Hongkong, dan tentu saja film-film Hollywood. Sekali dua saja, katakanlah menonton sinema ‘Eropa’ semacam spaghetti cowboy dan James Bond. Lewat bantuan Voila!, semacam buletin panduan kegiatan CCF yang di dalamnya terdapat jadwal pemutaran film bulanan berikut semacam resensi film apa yang diputar, sebenarnya orang Bandung menjadi punya alternatif tontonan.
Disebabkan wawasan film yang apa adanya, acuan yang menjadi alasan penulis menonton film di CCF bukan bahwa film itu bermutu atau tidak. Dengan panduan Voila!, penulis biasanya mengira-ngira saja mengenai kemungkinan film perlu ditonton: apakah film yang diputar penuh aksi tembak-tembakan atau mesum, atau punya kemungkinan ada adegan seksnya (maklum, di CCF ini pemutaran tanpa sensor). Film yang kita tonton di bioskop sudah pasti telah melewati sensor Badan Sensor Film (BSF), dan itu tidak berlaku pada film yang diputar di CCF.
Lupakan soal bermutu atau tidak film yang kita tonton! Penulis tidak tahu sama sekali dan tidak pernah peduli ketika itu.
Dengan literasi film yang minim, jarang ada buku film bagus, ditambah kebanyakan yang namanya majalah film tidak banyak membantu membentuk wawasan film yang benar (Vista-FMMTV, Ria Film, Movie Monthly atau M2, dan Cinemags, misalnya, yang melulu jadi juru bicara Hollywood), ukuran film bagus adalah resensi film oleh Leila S. Chudori, Irma Sawitri, Salim Said, dll. di Majalah Tempo, juga Harian Kompas, atau Harian Pikiran Rakyat. Film-film yang resensinya mereka tulislah yang menjadi acuan menonton di bioskop. Artinya, kita tidak diberi ruang alternatif lain untuk tontonan yang disebut film.

Lima Sosok Penting ‘Layar Tancap’
Terkait ‘layar tancap’, mengenai ruang-ruang alternatif pemutaran film di Bandung, kita harus menyebut lima sosok penting ini: Dr. Sudjoko, (trio) Suyatna Anirun-Tjetje Raksa Muhammad-Eddy D. Iskandar, AD Pirous, Ronny P. Tjandra, dan Tobing Jr.
Sosok Sudjoko dan wawasan filmnya yang luas sudah dikenal luas sejak awal 1970-an. Penulis baru mengetahui namanya ketika Sudjoko menjadi ketua dewan juri Forum Film Bandung, semacam “festival film swasta” yang menilai film nasional dan film asing yang diputar di bioskop, dikaitkan dengan Hari Ulang Tahun (HUT) Kota Bandung (Majalah Tempo, 16 April 1988). Pada edisi pertama FFB, Sudjoko mengumumkan keputusan regu pengamat di rumah makan Babakan Siliwangi.
Sudjoko juga bicara perkembangan film pada tiga sesi ceramah tentang film: “Memperluas Daya Film” di DKJ pada 31 Agustus 1987, “Mengubah Wajah Film Kita” di Pekan Budaya Unpar pada 17 Mei 1991, dan “Film Kita Film Manca” di Lustrum VJJ Universitas Padjadjaran pada 10 Oktober 1992.
Pada tahun 1980-an di kota ini muncul Kine Klub Bandung yang rutin memutar film di Gedung Kesenian Rumentang Siang. Penggagasnya adalah Suyatna Anirun bersama beberapa koleganya seperti Tjetje Raksa Muhammad dan Eddy D. Iskandar. Pengadaan film diperoleh dari berbagai kedutaan asing di Jakarta, yang dikoordinasikan Dewan Kesenian Jakarta.
Memasuki abad ke-21 ini, muncul istilah ‘nobar’ (nonton bareng). Suatu saat penulis membaca berita kecil mengenai ‘nobar’ atau pemutaran film alternatif di tempat bernama Sinerupa (atau Serambi) Pirous di bilangan Cisitu, Dago, semacam bioskop alternatif yang memutar film-film tidak umum dari pemutar laser disc. Tempat ini diinisiasi oleh AD Pirous, pelukis kaligrafi terkemuka yang juga guru besar Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB. Acara biasanya dibuka oleh Ronny (Ronny P. Tjandra) dengan sedikit cerita mengenai film apa gerangan yang diputar, lalu Pirous menambahkan dengan pengalamannya dalam menonton film. Salah satu yang amat berkesan adalah cerita Pirous mengenai pengalaman menonton Kingkong (1933) di bioskop pada zamannya.
Sejak itu, penulis adalah salah satu penonton rutin di sana, meskipun seringkali merasa lebih banyak tertidur, seperti misalnya saat pemutaran Scent of Green Papaya (Tran Anh Hung, Vietnam, 1993) dan Tilai (Idrissa Ouedraogo, Burkina Faso, 1990).
Namun pengalaman itu membekas lama, dan lalu menginspirasi penulis mendirikan Movie Madness Batoe Api, yang eksis pada 2001-2018. Sepertinya Sinerupa yang digagas AD Pirous dan Ronny P. Tjandra adalah pelopor tempat pemutaran film alternatif di era 2000-an dan menginspirasi banyak ‘komunitas film’ Bandung di masa berikutnya.
Ronny P. Tjandra adalah seorang penggila dan kolektor film dengan selera yang tergolong langka. Ia juga membantu mendirikan Sinemars di Fakultas Arsitektur Unpar yang tidak bertahan lama, Movie Madness Batoe Api, Layar Kita, dan barangkali banyak lainnya.
Layar Kita diinisiasi oleh Tobing Jr. Di era 2000-an, dengan begitu beragam film yang diputar dalam rentang yang panjang, Tobing Jr. dan Layar Kita-nya adalah sinema alternatif paling menonjol di Kota Bandung dan sudah termasuk kategori ‘die hard’. Terakhir, pemutaran film dan diskusi rutin dilakukan di ruang audiovisual Museum Konferensi Asia Afrika (MKAA) Gedung Merdeka.
Menariknya, kondisi ini dibarengi dengan makin mudahnya akses film yang ‘tidak mainstream’. Di awal 2000-an lah mulai marak DVD bajakan (lihat Layar Tempo: ‘Film-film Politik dari Glodok’, 20 November 2004). Kemudahan ini keruan membuat banyak komunitas film alternatif tidak lagi mengandalkan laser disc. Dan seiring dengan berjalannya waktu, dengan makin luasnya akses internet, bermacam karya sineas dunia pun hadir di hadapan kita.
Komunitas film atau festival film dadakan sejak itu memang berkembang pesat. Ada yang rutin, ada yang insidental. Ada yang muncul sekejap saja, ada juga yang bertahan hingga kini.
Penulis mencatat tempat seperti Kineruku, yang penuh dengan film bagus. Pernah ada yang namanya Warung Film, Sinesofia Unpar di Jalan Nias yang kita bisa nonton sambil tidur-tiduran, atau GSSTF (yang di era 2000-an untuk apresiasi film seperti hidup segan mati tak mau), Sinesastra (yang hidup sebentar), juga CC di Fikom - semuanya di Unpad Jatinangor. Boleh jadi, banyak juga ‘komunitas pemutaran film alternatif’ di kampus-kampus lain, sekolah, komunitas di kampung yang tidak dapat penulis ketahui keberadaannya.
Misalnya, di awal 2000-an, ada pemutaran film-film JIFFest Travelling di Trimatra Centre Dago. Juga pada 8-13 Mei 2004 ada acara serupa di tempat yang lebih luas dan beragam: Lapangan Basket ITB, LFM, Aula Unisba, STSI Bandung, Fakultas Filsafat Unpar, Universitas Widyatama, Unpar Ciumbuleuit, Unpad Jatinangor, dan kampus UIN Sunan Gunung Djati.
Lebih lama lagi, pada 1992, Festival Film Australia dilakukan di Gedung Pertunjukan Rumentang Siang, yang biasanya dipakai untuk pertunjukan teater, pasanggiri, atau pertunjukan wayang golek. Sementara itu pada sesi Selasar Weekend Cinema, Oktober-November 2014, pemutaran film eksperimental dan animasi Jerman diselenggarakan di Selasar Sunaryo, jauh ‘nyempil di utara kota.

Tentang Sensor dan Pelarangan
Satu pertanyaan terakhir menyangkut tempat-tempat pemutaran alternatif ini yakni: sebenarnya perlukah mengapresiasi segala jenis film, dengan membebaskan penilaian: kontroversial, tidak bermoral, bias gender, atau apapun? Untuk soal itu, penting dikemukakan di sini karena itu tadi, cukup dengan proyektor, layar (bisa tembok atau kain spanduk), pemutar laser disc, DVD, atau film unduhan di laptop kini, film yang diputar sudah pasti lolos sensor.
Penulis punya cerita-cerita lucu dan miris terkait pengalaman menyelenggarakan pemutaran film di awal 2000-an pada beberapa kampus dengan tema sensitif dan tanpa sensor. Di Universitas Jenderal Ahmad Yani (Unjani) setelah memutar Edward II (Derek Jarman, 1991), atas permintaan birokrasi kampus kami tidak diperbolehkan lagi melakukan pemutaran film yang saat itu sudah mulai rutin. Adanya adegan homoseksual adalah biang keladinya. Pelarangan serupa terjadi saat sesi pemutaran di IPDN awal 2000-an, hanya karena dalam film Amelie (Jean Pierre-Jeunet, 2001) ada adegan ciuman. Adegan semacam itu dianggap amoral di lingkungan kampus tersebut sehingga kita tidak diperbolehkan lagi menyelenggarakan pemutaran film.
Suatu saat, pada pemutaran film Name of the Rose (Jean Jacques Annaud, 1986) dengan format laser disc di FIB Unpad, di tengah-tengah pemutaran, persis ketika ada adegan seksual, untuk sesaat panitia acara menutup proyektor dengan kain hitam dan mematikan suaranya. Ah, apa-apaan ini?
Omon’-omon’, penulis sebetulnya cuma sekali seumur hidup menonton film di layar tancap yang sebenarnya. Kejadian itu terjadi di awal 1990-an di kawasan Babakan Ciparay, Kota Bandung. Film yang diputar sepertinya tidak jelas karena penulis betul-betul tidak lagi ingat. Artinya, tidak punya kesan. Yang tersisa dalam ingatan adalah layar yang ditancapkan ke tanah, lapangan yang ditutupi bilik bambu, dan orang-orang yang bisa menonton dari depan atau belakang layar. Kami duduk di rumput sambil menikmati kopi kampung panas dalam kantong plastik… dengan cara diseruput!
...
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB