• Opini
  • Setahun Perpustakaan Bunga di Tembok: Cerita dan Harapan Sederhana

Setahun Perpustakaan Bunga di Tembok: Cerita dan Harapan Sederhana

Saya ingin Bunga di Tembok jadi bunga seperti biasa. Bunga yang diserbuki banyak orang dari bermacam latar belakang. Menjadi benih, tersebar, dan bertumbuh bersama.

Roby Septiyan

Pustakawan Amatir Bunga di Tembok

Pembukaan Perpustakaan BdT, Bandung, Sabtu, 16 November 2024. (Fitri Amanda/BandungBergerak)

19 November 2025


BandungBergerak.id – Tanggal 16 November 2025, tepat satu tahun setelah pembukaan resmi Perpustakaan Bunga di Tembok (BdT). Namun, sudah sejak awal Agustus, setahun saya melakukan kerja yang berkaitan dengan buku bersama kawan-kawan di BdT. Baik sebelum, saat, maupun setelah pembukaan resmi, saya tetap menjadi pustakawan amatir –untuk tidak menyebut pustakawan saja karena saya tidak mempelajari ilmu perpustakaan secara formal. Kalaupun ada perbedaan, itu adalah kenyataan bahwa kini saya melakukannya sendirian.

Menjalani kerja kepustakawanan amatir, tidak membuat saya berhubungan dengan banyak pemustaka seperti pustakawan pada umumnya. Bahkan sekarang semakin sepi, setelah ditinggal kawan-kawan pustakawan –mereka mempelajari ilmu perpustakaan secara formal– yang sudah menghabiskan masa magangnya. Petak Ruang Baca No. 5 di lantai dua kini jadi pojok sepi, padahal biasanya begitu ramai, apalagi ketika waktu makan siang sambil menonton video sembarang di kanal daring.

Hanya dua peristiwa dalam kerja kepustakawanan amatir ini yang mengingatkan saya pada banyak orang. Pertama, perjalanan pergi dan pulang dari Jalan Sukamanah di Jatinangor ke Jalan Pasirluyu Timur di Regol. Terutama pulang, orang-orang –termasuk saya– kebanyakan duduk lesu atau berdiri letih. Kedua, pembukaan resmi BdT. Berbanding terbalik dari suasana pergi dan pulang, orang-orang begitu semringah ketika meminta diantar berkeliling BdT oleh saya. Selain keduanya, hanya sesekali saya berbicara dengan pemustaka yang bertanya mengenai koleksi tertentu.

Saya lebih banyak berhubungan dengan buku dan debu –alasan sinus saya meradang meskipun cuaca sedang nyaman-nyamannya. Sampai saat ini, terhitung kurang lebih ada 4.153 judul buku –sebenarnya lebih karena angka ini perhitungan enam bulan yang lalu– yang menjadi koleksi BdT. Setahun inilah, saya mengolah koleksi itu baik bersama kawan, maupun sendirian.

Jujur saja, melakukan kerja-kerja kebudayaan –istilah dari seseorang di BandungBergerak (BB)– semacam ini sangat melelahkan. Membuat senarai metadata buku-buku, menyampul,  memilah-milah ke dalam banyak kategori, melabeli, menyusunnya dalam rak, membuat sistem pencarian, dan dalam kondisi buku yang rusak dengan kadarnya masing-masing, kami harus menambal, mengelem, menjahit, mengganti sampul, juga memalu dan menggergaji. Kerja-kerja tersebut terus berulang, menjadikan kami seperti mesin.

Baca Juga: Perpustakaan Bunga di Tembok, Ruang Baru bagi Pemustaka dan Komunitas
Perpustakaan Manusia: Ruang Aman untuk Mendengar, Merasa, dan Memahami Kemanusiaan
Lahirnya Perpustakaan-perpustakaan Independen di Bandung, Gerakan Literasi tak Pernah Mati

Bertumbuh dan Menyebar Benih

Tidak kurang-kurangnya saya merasa beruntung mengalami semuanya karena menambah keberpihakan pada orang-orang yang melakukan kerja-kerja reproduksi sosial dengan merasakannya langsung. Seperti seorang ibu yang memasak untuk keluarganya, mengasuh dan membesarkan anaknya, dan merawat orang sakit dalam keluarganya tanpa dibayar. Seperti para guru, perawat, pekerja sejenis lainnya, bahkan pustakawan yang kebanyakan kurang gaji. Kerja-kerja yang kadang dipandang bukan sebagai kerja padahal sama-sama memerlukan tenaga dan menyiapkan banyak hal untuk kerja lainnya.

Selain keseharian yang penuh kesendirian dan kesepian dengan penuh penyadaran, saya juga sering melihat sisi ramai BdT –mungkin sisi inilah yang lebih banyak dilihat orang. Diskusi setiap Sabtu sore, Kembang Kata klub baca yang bertemu setiap Jumat malam, dan pertemuan-pertemuan lain di BdT ini. Melihat buku keluar masuk rak, BdT terasa benar-benar berbunga. Saya merasa membaca larik Telah kami sebar biji-biji/ Suatu saat kami akan tumbuh bersama/.

Mengalami semuanya dengan kerja-kerja amatiran –bahkan belakangan saya lebih sering tidak datang ke BdT– yang entah sampai kapan, saya punya harapan sederhana: saya ingin Bunga di Tembok menjadi bunga seperti biasa. Bunga itu terus diserbuki banyak orang dari berbagai macam latar belakang, menjadi benih dan tersebar ke mana-mana, bertumbuh bersama-sama. Barangkali terkadang layu, tetapi benih yang ada hanya melalui masa dormansi untuk menunggu waktu yang tepat, kemudian bertumbuh, berbunga, dan menyebar benih lagi.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//