Lahirnya Perpustakaan-perpustakaan Independen di Bandung, Gerakan Literasi tak Pernah Mati
Gerakan literasi independen di Kota Bandung terus bertumbuh dan menyesuaikan diri dengan zaman. Sejarah baru pelan-pelan sedang dirajut.
Penulis Salma Nur Fauziyah10 Mei 2025
BandungBergerak.id - Gerakan literasi di Kota Bandung tengah menyala kembali. Di antara deru modernitas, lahir ruang-ruang baru yang menawarkan jeda—tempat untuk membaca, belajar, dan berkumpul. Salah satunya adalah House of Wonder and Learning atau HOWL, sebuah perpustakaan sekaligus ruang kreatif yang baru berdiri 12 April 2025.
Terletak di Jalan Cisatu, Ciumbuleuit—sebuah kawasan yang asri di utara kota—HOWL berdiri di antara rerimbunan pohon dan gemericik aliran sungai. Lokasinya berdekatan dengan perpustakaan Kineruku. Sebelum masuk, pengunjung wajib melakukan reservasi terlebih dahulu. Saat ini, jam kunjung dibagi dalam dua shift: Early Bird dari pukul 09.00 hingga 15.00 WIB, dan Night Owl dari pukul 15.00 hingga 21.00 WIB, dengan biaya akses mulai dari 25.000 rupiah hingga 35.000 rupiah, tergantung pilihan paket.
HOWL menyediakan berbagai ruang yang dapat dipilih sesuai kebutuhan: membaca, bekerja, atau sekadar menyendiri dalam sunyi buku-buku. Tempat ini lahir dari percakapan santai lima sekawan: Syawal, Abel, Abista, Mutia, dan Nanda. Ikatan mereka tumbuh dari kecintaan yang sama terhadap dunia buku, hingga satu hari, dalam perjalanan dari satu bazar ke bazar buku lainnya, muncul ide untuk menciptakan ruang literasi sendiri.
Setelah melakukan riset pasar dan mencari tempat yang sesuai dengan visi mereka selama sebulan penuh, bangunan bergaya klasik di Jalan Cisatu No. 11A akhirnya dipilih sebagai ‘rumah’ bagi impian mereka.
“Kita kan pengin bawanya library yang klasik, yang temanya kayak vintage gitu. Pas dapat rumah ini, ‘oh ini sesuai ini’. Bisa difungsikan gitu,” tutur Abel, saat ditemui BandungBergerak Rabu, 16 April 2025.
HOWL lahir dari gabungan inspirasi lintas zaman dan fantasi: dari House of Wisdom di Baghdad, karakter Wan Shi Tong dari Avatar: The Legend of Aang, hingga Hedwig, burung hantu milik Harry Potter. Tiga nilai utama dijunjung HOWL: literasi, eksplorasi, dan kolaborasi.
“Orang tuh juga bisa eksplorasi,” tambah Abista, pendiri lainnya, mengacu pada ruang kreasi di HOWL. “Kenapa kita nyediain kayak peralatan gambar, melukis atau peralatan kayak keteknikan dasar untuk buat sesuatu. Itu karena kita pengin orang masuk ke sini, mereka tuh bebas mengeksplorasi.”
Selain itu, HOWL membuka pintu untuk kolaborasi berbagai bentuk sesuai dengan visi yang mereka emban.
“Kita juga pengen di Howl tuh setiap weekend ataupun weekdays punya event yang kayak workshop atau seminar atau diskusi atau apapunlah itu. Yang bisa mewadahi orang-orang ini untuk berkumpul bersama dan bertukar pikiran,” harap Abel.
Baca Juga: Hadiah Sastra Rancage Mengandung Kritik terhadap Kegagalan Sistem Pendidikan Nasional
Tentang Karakter-karakter dalam Karya Leila S. Chudori, Seorang Jurnalis yang Bercerita
Membicarakan Polemik Angkatan Sastrawan Indonesia di Klub Buku Laswi

Perpustakaan Rakyat Desacotta
Geliat literasi tak hanya lahir di kawasan urban Bandung. Di Desa Mekarmanik, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, sebuah inisiatif kecil namun sarat makna juga baru saja hadir: Perpustakaan Rakyat Desacotta. Perpustakaan ini diresmikan 4 Mei 2025 dan langsung disambut antusias oleh lebih dari 100 anak-anak dan warga sekitar.
Acara pembukaan berlangsung semarak, lengkap dengan bazar pakaian, lomba mewarnai, dongeng dari komunitas Teman Tubaba, hingga sesi menari dan bernyanyi bersama.
Dengan koleksi sekitar 900 buku cetak yang terdiri dari literatur anak, sastra, nonfiksi, hingga buku keterampilan praktis dalam bahasa Indonesia dan Inggris, Desacotta berupaya membangun jembatan antara anak-anak desa dengan dunia pengetahuan.
Kafi Khaibar, salah seorang inisiator mengatakan, ketersediaan akses adalah faktor terpenting dalam membangun sebuah gerakan literasi. Hal ini menjadi sebuah pondasi bagi pembangunan masyarakat.
Dokter, penulis, aktivis lingkungan tersebut sejak kecil gemar buku. Melalui perpustakaan itu ia berharap semua orang bisa merasakan hal yang sama.
"Merasakan serunya tenggelam di dalam sebuah buku di sore hari sambil tidur-tiduran di karpet. Kesannya banal, tapi itulah yang menjadi awal pengenalan saya terhadap berbagai ilmu dan cerita yang menjadi tonggak hidup saya sekarang,” sambung Kafi, dikutip dalam siaran pers.
Lahirnya ruang-ruang perpustakaan independen seperti HOWL dan Desacotta sesungguhnya merupakan kelanjutan dari estafet panjang gerakan literasi yang telah tumbuh lama di Bandung. Sejarahnya terekam dalam buku “Pohon Buku di Bandung – Sejarah Kecil Komunitas di Bandung 2000–2009” karya Deni Rachman.
Deni Rachman mencatat, sejak awal abad ke-20, ketika Bandung dirancang sebagai Ibu Kota Hindia Belanda, kota ini telah menjadi surga pecinta buku. Bahkan pada 1954, Bandung menempati posisi kedua setelah Jakarta dalam jumlah toko buku terbanyak, yakni 63 toko yang tersebar di seluruh kota.
Era 2000–2009 menandai fase baru. Toko-toko buku alternatif, taman bacaan, dan perpustakaan komunitas bermunculan, menjadi pusat diskusi, pelatihan menulis, dan aktivasi literasi lainnya. Dalam penelitiannya, Deni mencatat ada 73 toko buku aktif pada masa itu.
“Mereka mencoba bertahan di saat harga-harga terus melambung, dan daya beli masyarakat mulai turun. Beragam jenis buku dijual dan tetap laris meski kondisi krisis,” tulis Deni Rachman yang juga pendiri Lawang Buku.
Namun, seperti banyak hal lain, geliat literasi di Bandung mengalami pasang surut. Banyak toko buku yang dulu berjaya kini telah tutup. Hanya segelintir yang mampu bertahan. Pandemi Covid-19 semakin mempercepat pelemahan ini. Tapi ketika pandemi mereda, muncul ruang-ruang baru yang membawa angin segar: Kedai Jante di komplek Perpustakaan Ajip Rosidi, Room 19, Toko Buku Pelagia, dan Perpustakaan Bunga di Tembok.
Tempat-tempat ini tak lagi hanya berfungsi sebagai toko buku atau perpustakaan. Mereka bertransformasi menjadi ruang sosial yang inklusif, menyatukan fungsi kedai kopi, ruang kerja bersama, panggung seni, hingga titik temu komunitas. Aktivasi komunitas dijalankan secara konsisten, seperti program diskusi “Bukan Jumaahan” di Kedai Jante atau “Sabtu Sore” di Perpustakaan Bunga di Tembok.
Gambaran ini menegaskan satu hal: meski menghadapi tantangan zaman, gerakan literasi di Bandung tak pernah benar-benar mati. Ia hanya berubah rupa, menyesuaikan diri, lalu lahir kembali dalam bentuk-bentuk yang baru. Dari rumah klasik di utara kota hingga desa di kaki perbukitan, literasi tetap menemukan jalannya.
Di tempat-tempat sunyi yang penuh buku itu mungkin saja sejarah baru sedang disusun secara perlahan. Oleh tangan-tangan muda yang percaya bahwa membaca adalah cara paling sunyi untuk bergerak.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Salma Nur Fauziyah atau artikel-artikel lain tentang LITERASI