Tentang Karakter-karakter dalam Karya Leila S. Chudori, Seorang Jurnalis yang Bercerita
“Yang paling penting itu selalu adalah bagaimana dia (karakter) bersikap pada peristiwa-peristiwa yang terjadi sama dia."
Penulis Nabila Eva Hilfani 18 Agustus 2024
Bandungbergerak.id - Narasi perlawanan di setiap karakter karya-karya sastra Leila S. Chudori tidak lepas dari perjalanannya sebagai seorang jurnalis. Dalam urusan karya, keterampilan menciptakan dan mengembangkan karakter-karakter itulah yang menurutnya harus lebih diprioritaskan oleh penulis ketimbang peristiwa-peristiwa.
“Memang setelah saya pulang (dari Kanada menyelesaikan studi) dan bergabung bersama dengan Tempo, tulisan saya memang jadi terpengaruh bahwa, saya seorang wartawan. Pengaruhnya adalah pilihan topik itu for sure, pemilihan topik saya itu sangat terpengaruh karena saya di Tempo. Kedua, sikap. Sikap saya itu adalah sikap orang Tempo,” tutur Leila dalam diskusi “Narasi Perlawanan Nadira, Alam, dan Laut” di Kedai Jante, Perpustakaan Ajip Rosidi, Jumat, 16 Agustus 2024 malam.
Menjadi jurnalis memungkinkan Leila untuk bertemu dan mewawancarai banyak orang. Isunya juga beragam, sesuai dengan rencana redaksi. Kesempatan inilah yang membuat Leila menemui banyak cerita menarik.
Namun, jurnalisme memiliki keterbatasan penyampaian cerita. Karya fiksi memungkinkannya untuk bercerita secara lebih kompleks dan pada saat bersamaan lebih personal. Dibandingkan penyampaian cerita yang berjarak, Leila mantap memilih format fiksi yang lebih eksploratif.
“Jadi of course, kalau tertarik dengan sesuatu dan dapat ide, it has to be fiction (itu harus menjadi karya fiksi). Wartawan itu kerjaan saya, it’s only a job (ini hanya pekerjaan),” kata penulis kumpulan cerita pendek 9 Dari Nadira (2009) tersebut.
Meski mengaku ‘berutang budi’ pada profesi jurnalis, Leila, penulis novel laris Pulang (2001), mengingatkan bahwa dia terlebih dahulu mendalami dunia fiksi ketimbang fakta. Dia sudah menulis sejak dari bangku sekolah dasar (SD). Atau dalam istilahnya sendiri: “sudah bersatu dengan fiksi sejak dari muda”.
“Saya baru menjadi wartawan ketika saya berusia 27 tahun. So, we have to remember that. Saya bukan jurnalis dulu, baru jadi novelis,” ujarnya.
Baca Juga: Diskusi dan Pameran Arsip Hari Pantomim Sedunia di Bandung, Sesuatu yang Besar Berawal dari Hal-hal Paling Sederhana
Diskusi Jumaahan Bersama Ilham Aidit Ditunda Karena Mendapat Penolakan dari Ormas
Diskusi Film A Thousand Cuts: Yang Terjadi di Filipina, Terjadi Juga di Indonesia
Karakter, Bukan Peristiwa
Leila S. Chudori dikenal dengan karya-karyanya yang menyajikan peristiwa-peristiwa penting dalam panggung besar sejarah Indonesia. Mulai dari peristiwa 1965 hingga reformasi 1998. Dia sendiri berpendapat, peristiwa 1998 sebagai titik balik bangsa yang harus disorot.
Namun, Leila bersikukuh bahwa dalam setiap karyanya, penciptaan karakter menjadi yang paling utama. Barulah nanti peristiwa sejarah melekat pada cerita setiap karakter tersebut.
“Selalu menyorot tokohnya, bukan peristiwanya. Peristiwa itu harus selalu harus melekat pada tokoh karena saya memang character driven bukan plot driven. Itu pilihan saya memang,” ucapnya.
Penemuan setiap karakter dalam karya Leila, baik dalam peristiwa 1965 maupun seputar reformasi 1998, tidak terlepas dari proses wawancara bersama individu yang menjadi inspirasi karakter tersebut. Karakter Laut dalam novel Laut Bercerita (2017), misalnya, dibentuk dari hasil penyatuan kisah beberapa saksi hidup peristiwa 1998.
“Nezar (Patria) adalah orang pertama yang saya wawancara. Kemudian Nezar memberi nama-nama lain. Ngenalin sama keluarga-keluarga korban (peristiwa 1998). Tapi kan, ketika saya menciptakan (karakter) Laut, itu bukan Nezar lagi, udah ada campuran di dalamnya,” tutur Leila.
Leila bahkan memasukkan beberapa pengalaman personalnya ke dalam karakter Laut. Buku-buku yang dibaca sang tokoh adalah buku-buku yang secara nyata dia baca. Penggambaran hubungan Laut dengan adiknya, Asmara Jati, berangkat dari hubungan Leila dengan sang kakak laki-laki.
Proses yang serupa juga dilakukan Leila ketika menciptakan karakter Kinan dalam novel yang sama. Hanya pengalaman politik Lili sebagai perempuan korban penangkapan tahun 1998 yang disisipkan dalam cerita karakter Kinan. Kisah-kisah lainnya merupakan cerita fiktif yang diciptakan Leila.
“Penciptaan-penciptaan ini (karakter) sebetulnya udah saya coba desain dari awal. Ada tokoh utama, akan ada temen-temennya, dan ada cewek, harus ada cewek, minimal satu, kalau bisa dua. Terus bahkan saya desain harus ada senimannya,” ucap perempuan kelahiran 12 Desember 1962 tersebut.
Ada alasan kuat kenapa Leila memilih fokus pada karakter ketimbang peristiwa. Lewat karya-karyanya, dia ingin melantangkan bahwa cerita bukan soal peristiwa besar yang terjadi, tetapi justru tentang pengalaman individu ketika harus berhadapan dengan peristiwa.
“Yang paling penting itu selalu adalah bagaimana dia (karakter) bersikap pada peristiwa-peristiwa yang terjadi sama dia,” tuturnya.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Nabila Eva Hilfani atau artikel-artikel lain tentang Sastra