Diskusi Jumaahan Bersama Ilham Aidit Ditunda Karena Mendapat Penolakan dari Ormas
Panitia Jumaahan sudah 66 kali menggelar diskusi setiap hari Jumat. Penolakan terjadi pada diskusi ke-67 ketika menghadirkan Ilham Aidit, anak DN Aidit.
Penulis Awla Rajul30 Maret 2024
BandungBergerak.id - Kegiatan Kajian Jumaahan #67 bertema “Menyelami Hikmah-Hikmah Kehidupan” dengan narasumber Ilham Aidit terpaksa ditunda akibat mendapat penolakan dari berbagai organisasi masyarakat (ormas). Diskusi rutin yang diselenggarakan di Kedai Jante Perpusatakaan Ajip Rosidi tersebut semula diagendakan pada Jumat, 29 Maret 2024 sore. Ormas-ormas menolak kehadiran Ilham Aidit karena dia anak D.N Aidit, pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) era 1960-an, selain juga keberatan dengan penggunaan istilah-istilah Jumahaan yang dinilai tidak semestinya.
“Kegiatan Jumaahan #67 pukul 16.00 ini ditunda untuk waktu dan tempat yang akan kami informasikan berikutnya. Saat ini Panitia Jumaahan sedang mengupayakan tabayyun dan dialog dengan teman-teman yang belum berkenan. Haturnuhun atas atensinya,” demikian tulis Panitia Jumaahan di akun Instagramnya @panitiajumaahan.
Mewakili panitia Jumaahan, Zulkifli menerangkan bahwa ormas-ormas mempersoalkan agenda diskusi yang menghadirkan Ilham Aidit, anak D.N. Aidit, Ketua Umum PKI. Ormas-ormas tersebut menyurati kepolisian agar melakukan pembubaran diskusi yang dianggap bisa menyebarkan paham komunisme.
Izul, demikian ia kerap disapa, menjelaskan, diskusi Jumaahan bertema “Menyelami Hikmah-Hikmah Kehidupan” sebenarnya akan membahas pengalaman Ilham Aidit yang mengalami perundungan sejak kecil hingga remaja. Ilham mendapatkan perundungan karena mengemban nama Aidit dan dicap keturunan PKI dan sebagai PKI.
“Padahal kan tadi saya jelaskan ke mereka (ormas), DN Aidit dengan Ilham Aidit itu dua individu yang berbeda. Apakah kesalahan DN Aidit patut diwariskan kepada Ilham? Katakanlah DN Aidit adalah pemberontak, musuh negara, apakah anaknya otomatis akan jadi itu? Nah, itu yang saya kira tadi tidak ketemu. Mereka keukeuh bahwa keturunannya itu sama, saya bilang itu enggak sama,” tutur Izul, kepada BandungBergerak.id di Kedai Jante.
Menurut Izul, logika menyamakan anak dan bapak keliru. Ia menganalogikan dengan kisah Musa ataupun Ibrahim yang ditunjuk sebagai nabi. Musa adalah anak tiri Firaun, adapun ayahanda Ibrahim merupakan seorang pembuat berhala. Kedua nabi ini malah menjadi rasul yang dititah Allah SWT untuk menyampaikan ajaran kebenaran. Kedua nabi memiliki jalan hidup yang sepenuhnya berbeda dari orang tua mereka.
Malam sebelumnya, kata Izul pihaknya beserta Ilham Aidit sudah bertemu dengan beberapa aparat dari Kodam. Tidak ada masalah karena yang diobrolkan adalah urusan gunung, bukan ideologi. Diketahui, Ilham dulunya aktif di Wanadri.
Ormas-ormas juga mempersoalkan istilah-istilah yang digunakan dalam diskusi rutin, seperti kumaahan, ustaz, dan alwastit. Izul menjelaskan, bahwa peyebutan ustaz kepada pembicara, wasit kepada moderator, hingga adanya kencleng, merupakan konsep yang dipinjam dari jumaahan atau jumatan. Konsep ini hanya dipinjam sebagai kemasan sebab diskusinya memang dilakukan di hari Jumat. Namun ormas-ormas menilai agenda ini terindikasi pelanggaran syariat.
Poin lain dari penolakan ormas pada kegiatan Jumaahan #67 terkait lokasi Kedai Jante yang merupakan bagian dari Perpustakaan Ajip Rosidi. Ormas-ormas tersebut menilai Ajip Rosidi sebagai tokoh anti-PKI sehingga tidak tepat bila peninggalannya malah digunakan untuk memberi ruang bagi anak PKI, yaitu Ilham Aidit. Padahal, menurut Izul, jika ditelisik lebih lanjut, Ajip Rosidi juga memiliki hubungan personal yang baik dengan tokoh-tokoh yang berseberangan dengan ideologinya.
“Dalam konteks ini kan, kalau pak Ajip kesal kan ke DN Aidit na meureun. Budakna mah duka, hubungana teu apal kumaha. Itu yang saya ingin mengajak berpikir adil sejak dalam pikiran. Kalau logikanya begitu, membebankan kesalahan orang tua ke anak, kasihan atuh anak yang bapaknya preman,” kata Izul.
Kronologi Penolakan Diskusi Jumaahan
Pengelola Kedai Jante Jarjit menjabarkan kronologi penolakan ormas pada diskusi Jumaahan. Pada Kamis, 28 Maret 2024 sekitar pukul satu siang, datang tiga orang polisi ke Kedai Jante. Mereka menanyakan soal Kedai Jante dan aktivitas Jumaahan. Intinya, mereka hendak memberitahu jika kegiatan Jumaahan #67 mendapatkan perintah pembubaran dari ormas.
“Saya bilang ke pak Polrestabes, kita akan tabayyun dulu dengan mereka, dialog,” kata Jarjit.
Di hari yang sama, sekitar pukul tujuh malam, Kanit Intelkam dari Polsek setempat juga datang ke Kedai Jante untuk menanyakan dan menghimbau hal yang sama. Lalu sekitar pukul delapan malam, barulah datang tiga orang dari Kodam. Dalam tiga kunjungan aparat keamanan ini, semuanya meminta agar diskusi Jumaahan dibatalkan karena mengundang Ilham Aidit sebagai pembicara.
Dari situ juga didapatkan kabar, ada sekitar enam ormas yang melaporkan penolakan dan memerintahkan pembubaran kegiatan diskusi Jumaahan. Namun, hanya dua ormas yang terkonfirmasi informasinya dari polisi, yaitu PAS (Pengawal Ahlu Sunnah) dan GERAK JABAR (Gerakan Rakyat Anti Komunis Jawa Barat).
Jarjit juga menyebutkan, pihaknya kemudian menghubungi perwakilan ormas untuk bertemu dan berdialog di Kedai Jante pukul dua siang, di hari Jumat. Pengelola Kedai Jante dan Panitia Jumaahan melakukan langkah itu karena menilai adanya miskomunikasi, sehingga tak ada salahnya untuk bertabayyun. Dimulai sekitar pukul dua siang, terdapat dua gelombang ormas yang melakukan dialog dengan Panitia Jumaahan.
Dalam dialog dengan GERAK, Ketua Gerak Jabar M. Roinul Balad menyebutkan bahwa pihaknya melakukan penolakan karena menerima banyak laporan dari masyarakat. Ia melakukan langkah pelaporan ke kepolisian karena menilai kegiatan diskusi tersebut akan melahirkan lebih banyak mudarat daripada manfaat.
Roin menilai, Jumaahan #67 terindikasi melanggar syariat dan konstitusi. Pelanggaran konstitusi yang dimaksudnya adalah larangan paham komunisme. Ia juga mewanti-wanti kepada Panitia Jumaahan, jika hendak mengangkat orang sebagai pembicara, harus bijaksana dan hati-hati.
“Asal tidak ada indikasi pelanggaran syariah, tidak ada indikasi pelanggaran konstitusi negara, ngapain juga dimasalahin. Kenapa temen-temen masalahkan itu, menolak, karena indikasinya jelas. Pelanggaran syariahnya jelas, pelanggaran konstitusinya ada,” ungkap Roin, dalam dialog dengan Panitia Jumaahan.
Usai dialog, BandungBergerak mencoba meminta klarifikasi dan wawancara kepada Roin. Namun, melalui seorang murid atau anggotanya, disebutkan bahwa Roin tidak berkenan untuk diwawancarai.
Dalam salinan surat permohonan pembatalan kegiatan yang ditujukan kepada Kapolrestabes Kota Bandung, GERAK Jabar menyatakan keberatan atas acara yang digelar Panitia Jumaahan. Surat tersebut ditembuskan kepada Kepala Kesbangpol Kota Bandung, Dandim 0618 Kota Bandung, dan Kepala Kejari Kota Bandung.
Di dalam pernyataan sikapnya, GERAK Jabar memohon Polrestabes Kota Bandung untuk membubarkan Jumaahan #67 karena beberapa alasan sebagai berikut:
- Khotibnya anak gembong PKI bernama Ilham Aidit yang dalam tulisan di flyer/poster yangb eredar adalah ustadz;
- Acara ini penuh dengan kesamaran, apakah acara diskusi atau benar-benar Jumaahan (Jum’atan) karena ada istilah Khotib;
- Kalau itu jum’atan, kenapa waktunya jam 16.00 dan ada perempuan?
- Mengapa anak gembong PKI ditulis ustadz apakah benar atau hanya mengelabui masyarakat?
- GERAK Jabar selalu waspada terhadap kebangkitan Komunis dan upaya mereduksi budaya Sunda terutama tokoh Sunda Ajip Rosidi. Yang paling penting Kami mewaspadai khawatir mereka meracuni masyarakat dengan ajaran komunis dalam acara yang samar-samar itu.
“Demikian pernyataan Kami untuk bahan kewaspadaan dan semoga POLRESTABES merespon laporan Kami dengan menutup acara tersebut demi menjaga Bandung kondusif dan demi Indonesia yang aman dari gangguan komunis,” begitu penutup surat yang ditandatangani Ketua GERAK Jabar, M. Roinul Balad.
Baca Juga: Diskusi Film A Thousand Cuts: Yang Terjadi di Filipina, Terjadi Juga di Indonesia
Diskusi dan Pameran Arsip Hari Pantomim Sedunia di Bandung, Sesuatu yang Besar Berawal dari Hal-hal Paling Sederhana
Diskusi Masih Satu, Masih Melawan; Memperkuat Akar Rumput Memperpanjang Napas Perjuangan
Memperburuk Iklim Kebebasan Berpendapat dan Kebebasan Berekspresi
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung Heri Pramono menyatakan, peristiwa penolakan yang berujung pembatalan acara Kajian Jumaahan membuktikan kondisi demokrasi di Indonesia yang masih buruk, terutama dalam hal penjaminan kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi. Dikhawatirkan, situasinya di masa mendatang akan semakin buruk.
“Padahal di kegiatan tersebut (Jumaahan), tidak ada narasi membahas ajaran komunisme. Ini kan yang jadi aneh kenapa kudu dibubarkan dengan alasan komunisme hanya karena salah satu pembicaranya adalah anak dari aktivis eks-PKI,” kata Heri Pramono melalui pesan singkat kepada BandungBergerak.id, Sabtu, 30 Maret 2024.
Menurut Heri, munculnya tudingan komunis dan PKI merupakan dampak buruk dari kekerasan negara yang terjadi di seputar Peristiwa 1965. Negara kemudian membiarkan dan memelihara stigma yang terjadi pada korban dan keluarga korban. Mereka terus menjadi objek persekusi bahkan sampai sekarang.
Heri juga menyoroti peran aparat keamanan yang seharusnya melakukan perlindungan terhadap hak warga negara untuk berkumpul dan berekspresi. Bukannya memfasilitasi kelompok-kelompok yang menuntut pembubaran acara.
Penolakan diskusi atau acara literasi di Bandung bukan kali ini saja terjadi. Penundaan agenda Jumaahan kemarin semakin menambah catatan suram iklim demokrasi di Bandung. Berbagai respons kecewa diluapkan warganet, di antaranya pegiat literasi Lawang Buku, lewat akun media sosialnya:
"Sepanjang ingatan LawangBuku di Bandung, setidaknya ada 3 acara yang dibubarkan/dibatalkan oleh ormas/sejenisnya:
1. 2024, pembatalan acara @panitiajumaahan yang mengundang Ilham Aidit yang sedianya akan bercerita mengenai bullying dan healing pascatrauama
2. 2016, pembatalan monolog Tan Malaka di IFI
3. 2006, pembubaran diskusi Marxisme di @ultuimusbandung Jalan Lengkong," demikian stori LawangBuku dengan tagar (#) MelawanLupa.
Awal Kajian Jumaahan
Keberadaan Kedai Jante dengan Panitia Jumaahan-nya sebenarnya telah membuka ruang diskusi bersahaja di Bandung yang sulit ditemukan selama ini. Sundea, dalam kolom “SALAMATAKAKI #12: Iqra, Kajian Jumaahan di Kedai Jante” (21 Maret 2023), menceritakan awal mula munculnya Kajian Jumaahan, yakni diskusi buku yang diadakan sepekan sekali, muncul pertengahan Desember 2022 tidak lama setelah gelaran pasar buku Patjarmerah. Jumahaan mendiskusikan beragam tema, mulai Tarling Dangdut Diva Pantura dari Kedung Dharma Rhomansa hingga isu-isu kesenian bersama Jim Supangkat, kurator seni rupa.
Kedai Jante dipilih menjadi tempat diskusi selaras dengan lingkungannya yang beriklim literasi. Lokasinya berada di Jalan Garut Nomor 2, Kacapiring, Batununggal, Bandung, masih satu kompleks dengan Gedung Perpustakaan Ajip Rosidi, Universitas Halim Sanusi, dan Toko Buku Bandung.
Menurut Sundea, usul diskusi mingguan (saban Jumat) disampaikan Zul kepada Fitra Sujawoto pemilik Kedai Jante, Hawe Setiawan budayawan dan akademisi yang sering ada di area Garut no.2, dan Deni pengelola Toko Buku Bandung. Tanggapan mereka singkat saja, “hayu, alus”.
“Mereka menyadari jarangnya kegiatan diskusi buku rutin di Bandung, terutama sejak pandemi melumpuhkan banyak kegiatan. Ada dorongan untuk memulai kembali, tetapi saat itu belum terbayang bagaimana caranya, apa gimiknya, dan seperti apa pola pelaksanaannya,” tulis Sundea.
Masih mengutip dari Sundea, ide dan nama Kajian Jumaahan baru muncul setelah diskusi buku Zaky Yamani, 13 Januari 2023. Zul, Pak Fitra, Kang Hawe, dan Kang Deni sepakat, Jumat adalah hari yang ideal. Jumat adalah hari kerja terakhir, cukup santai, dan belum sampai kepada akhir pekan yang biasanya dipadati acara keluarga. Gimiknya pun bisa asyik: Jumaahan. Pembicara dapat dipanggil “khotib” dengan atribusi “ustaz/ustazah” pada poster. “Ustaz kan artinya guru,” ujar Zul. Sementara moderator mendapatkan sebutan yang cukup jenaka, “al wasit”, karena tugasnya memang seperti wasit yang menjaga jalannya alur diskusi.
Sejak saat itu, Sundea melanjutkan, diskusi berlangsung rutin dengan nama “Kajian Jumaahan” dengan tema beragam, mulai dari sejarah Bandung, buku komik, Geger ’65 bersama penulis Martin Aleida dan Mia Bustam, sampai seni rupa.
*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain dari Awla Rajul, atau artikel-artikel lain tentang Kajian Jumaahan