• Kolom
  • SALAMATAKAKI #12: Iqra, Kajian Jumaahan di Kedai Jante

SALAMATAKAKI #12: Iqra, Kajian Jumaahan di Kedai Jante

Kajian Jumaahan adalah diskusi buku yang rutin diadakan setiap hari Jumat di Kedai Jante di Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung.

Sundea

Penulis kelontong. Dea dapat ditemui di www.salamatahari.com dan Ig @salamatahari

Kajian Jumaahan ke-9 pada Jumat, 17 Maret 29023, kajian terakhir sebelum Ramadan. (Foto: Sundea)

21 Maret 2023


BandungBergerak.id – Di Jalan Garut no. 2, Kacapiring, Batununggal, Bandung, ruang-ruang literasi berbagi pekarangan. Ada Perpustakaan Ajip Rosidi, Universitas Halim Sanusi, Toko Buku Bandung, dan kedai mungil tempat Kajian Jumaahan digelar, Kedai Jante.

Kajian Jumaahan adalah diskusi buku yang diadakan sepekan sekali. “Gagasan bikin diskusi rutin di Kedai Jante muncul pertengahan Desember 2022, nggak lama setelah gelaran Patjarmerah,” cerita penulis Zulkifli Songyanan alias Zul, pengelola program Kajian Jumaahan.

Kedatangan Kedung Dharma Rhomansa, penulis dari Yogyakarta yang mampir ke Bandung untuk mendiskusikan buku kumpulan puisi terbarunya, Tarling Dangdut Diva Pantura, menjadi embrio lahirnya Kajian Jumaahan. Di kala itu Zul dimintai tolong mencari tempat diskusi. Ternyata tidak mudah mencari tempat diskusi yang tak mengajukan harga booking atau pesanan minimum. Namun, dasar jodoh, akhirnya Zul menemukan Kedai Jante. Tidak ada syarat apa-apa dari kedai ini, sambutannya hangat, dan lokasinya ideal karena dekat dengan pusat pendidikan, literasi, dan budaya.

Diskusi buku Kedung diadakan 17 Desember 2022. Pesertanya tidak banyak, tetapi diskusi berlangsung lancar dan hangat. Dari sanalah Zul punya ide merutinkan diskusi buku di Kedai Jante.

Usul itu disampaikan Zul kepada Pak Fitra Sujawoto pemilik Kedai Jante, Kang Kang Hawe Setiawan budayawan dan akademisi yang sering ada di area Garut no.2, dan Kang Deni pengelola Toko Buku Bandung. Tanggapan mereka singkat saja, “hayu, alus”. Mereka menyadari jarangnya kegiatan diskusi buku rutin di Bandung, terutama sejak pandemi melumpuhkan banyak kegiatan. Ada dorongan untuk memulai kembali, tetapi saat itu belum terbayang bagaimana caranya, apa gimiknya, dan seperti apa pola pelaksanaannya.

Ide dan nama Kajian Jumaahan baru muncul setelah diskusi buku Zaky Yamani, 13 Januari 2023. Diskusi buku Zaky Yamani diadakan hari Jumat selepas salat Magrib dan cukup banyak peminatnya. Zul, Pak Fitra, Kang Hawe, dan Kang Deni sepakat, Jumat adalah hari yang ideal. Jumat adalah hari kerja terakhir, cukup santai, dan belum sampai kepada akhir pekan yang biasanya dipadati acara keluarga. Gimiknya pun bisa asyik: Jumaahan. Pembicara dapat dipanggil “khotib” dengan atribusi “ustaz/ustazah” pada poster. “Ustaz kan artinya guru,” ujar Zul. Sementara moderator mendapatkan sebutan yang cukup jenaka, “al wasit”, karena tugasnya memang seperti wasit yang menjaga jalannya alur diskusi.

Sejak saat itu, diskusi berlangsung rutin dengan nama “Kajian Jumaahan”. Tema pembahasan yang diangkat cukup beragam. Mulai dari sejarah Bandung bersama kurator Museum Kota Bandung Ryzki Wriyawan dan Nurul Ulu dari Bandungdiary, komik-komik Gandhi Eka alias @supergunz,  karya Geger ’65 bersama penulis Martin Aleida dan Mia Bustam, sampai seni rupa bersama Jim Supangkat. Luasnya spektrum tema membuat jamaah yang datang beragam juga. Benang merahnya, setiap diskusi selalu terasa akrab. Ustaz dan ustazah tidak berjarak dengan jamaah. Seperti makan di rumah makan dengan rasa dan porsi yang pas, ustaz, ustazah, al wasit, serta jamaah selalu pulang dengan “kenyang”.

Suasana Kajian Jumaahan ke-8 di Kedai Jante. (Foto: Dokumentasi Panitia Kajian Jumaahan)
Suasana Kajian Jumaahan ke-8 di Kedai Jante. (Foto: Dokumentasi Panitia Kajian Jumaahan)

Baca Juga: Salmatakaki #11: Rumah Petik yang Merajut Sinar
SALAMATAKAKI #10: Merayakan Pesta Cerita, Memestakan 30HariBercerita Raya
SALAMATAKAKI #9: Galeri Grey dan Bangunan Cagar Budaya Pelantang Seni
SALAMATAKAKI #8: Film Pesantren, Stigma Runtuh Toleransi Tumbuh

Kedai Jante

“Kira-kira apa yang bikin suasananya selalu enak dan akrab, Zul?” tanyaku.

“Mungkin tempatnya,” sahut Zul.

Aku sepakat. Kedai Jante yang mungil seakan memeluk semua hadirin erat-erat. Ustaz dan ustazah boleh duduk di mana saja. Meskipun disediakan tempat di sebuah sofa tanpa panggung, jika mau, ustaz dan ustazah boleh lebur, mengambil tempat acak di tengah jamaah. Lucu kan?

Mungkin nama “Jante” pun mendatangkan suasana dan rezeki.

Zul menduga, “Jante” diambil dari salah satu puisi almarhum Pak Ajip Rosidi, “Jante Arkidam”.  Puisi panjang tersebut berkisah mengenai preman bernama Jante Arkidam yang selalu lolos dari kejaran polisi meskipun sudah dipenjara dan dikepung di tengah-tengah kebun.

Kang Iman Sholeh, aktor yang piawai bermonolog, mengaku mendapatkan banyak rejeki melalui “Jante Arkidam”. Selama bertahun-tahun, aktivitas membacakan puisi itu membuatnya dapat membayar sekolah anak, membeli motor, dan lain sebagainya.

Sementara itu, dengan menyandang nama “Jante”, kedai yang tak meminta syarat apa-apa justru mendapat rejeki dari peserta Kajian Jumaahan yang tak jarang jajan-jajan sambil menyimak diskusi.

Aktivitas Ramadan

Rencananya, di bulan Ramadan ini Kajian Jumaahan akan diberi “adik”. Di momen ngabuburit, Zul punya rencana mengundang komunitas-komunitas yang pasti punya cerita asyik di balik militansi mereka. “Nama programnya belum ada, tapi yang kepikiran ini BK — Berguru Kepada. Misalkan yang nanti diundang adalah Komunitas Wibu, jadi nama acaranya adalah ‘Berguru Kepada Komunitas Wibu’,” papar Zul.

Kajian Jumaahan sendiri tetap diadakan. Sudah banyak buku yang mengantre untuk dibahas di program ini. Sementara untuk komunitas, Zul mengaku masih mencari narasumber. Mungkin komunitasmu ingin ikut berbagi di Kedai Jante? Silakan cari Zul di Kedai Jante, Jalan Garut no. 2.

***

Kaki Sundea (penulis) dan Zulkifli Songyanan di keset pintu masuk Kedai Jante. (Foto: Sundea)
Kaki Sundea (penulis) dan Zulkifli Songyanan di keset pintu masuk Kedai Jante. (Foto: Sundea)

Biasanya, Kajian Jumaahan diadakan selepas Maghrib. Namun, Kajian Jumaahan terakhir sebelum Ramadan, 17 Maret 2023, diadakan pukul 16.00 WIB. Menurut Zul, sekalian cek ombak mengadakan acara di jam ngabuburit.

Hari itu Pak Jim Supangkat, kurator seni rupa usia indah yang baru saja mengkristalkan 40 tahun pemikirannya dalam buku “Seni Rupa Dunia: Setelah Satu Abad Gagal Paham” hadir sebagai Ustaz. Ia didampingi oleh Ustaz Kang Heru Hikayat yang juga kurator seni rupa Bandung, dengan al wasit penulis  berpikiran plot twist senantiasa, Mas Budi Warsito. Kajian Jumaahan dibuka dengan doa untuk Ibu Nani Wijaya, istri almarhum Pak Ajip Rosidi, yang baru saja berpulang.

Meskipun hujan turun berderai-derai, acara hari itu penuh sesak. Jamaah yang tak kebagian tempat duduk di dalam Kedai Jante bahkan rela menyimak dari luar, mengintip dari jendela sambil melawan udara dingin. Obrolan berlangsung akrab disertai pesan damai. Pak Jim Supangkat menegaskan, mencari ukuran seni rupa yang tak melulu berangkat dari sejarah barat bukan berarti “anti barat”. Melalui buku yang ditulisnya, Pak Jim membuka lanskap yang lebih obyektif terhadap seni rupa dunia, bukan menihilkan yang sudah ada. Mengutip Gandhi Pak Jim berkata, “Bukan mata ganti mata, sebab dengan begitu seluruh dunia akan menjadi buta.”

Aku sendiri menyimak dari luar Kedai Jante sambil mengobrol dengan Zul. Saat membaca tulisan di keset, aku menyikut Zul, “Kita foto kaki di sini, yuk, Zul, buat Bandung Bergerak”.

Aku membaca segala sesuatu di sekitarku, yang tersurat maupun yang tersirat. Aku membaca stiker-stiker yang terpampang di jendela Kedai Jante, judul-judul buku yang dijual di lapak Toko Buku Bandung, jamaah dengan perilaku dan bahasa tubuhnya, serta Zul, kawan saya dengan cita-cita baik dan amalannya untuk dunia literasi.

Pekan ini, selamat memasuki ibadah puasa bagi semua yang menjalankan. Sambil menanti azan Magrib, iqra, bacalah, kajilah segala sesuatu yang dieja oleh perjalanan mata hari.  

 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//