SALAMATAKAKI #8: Film Pesantren, Stigma Runtuh Toleransi Tumbuh
Kesetaraan gender menjadi nilai yang dipupuk di Pondok Pesantren Kebon Jambu. Tak hanya dipimpin perempuan, pesantren ini menjadi tuan rumah Kongres Ulama Perempuan.
Sundea
Penulis kelontong. Dea dapat ditemui di www.salamatahari.com dan Ig @salamatahari
24 Januari 2023
BandungBergerak.id - Tepat di penghujung tahun macan, tepatnya 21 Januari 2023, film Pesantren tayang di bioskop Cinepolis Istana Plaza, Bandung. Setelah lama menanti dengan penasaran, akhirnya kita di kota kembang menadapat giliran menyaksikan film ini.
Film Pesantren mengangkat keseharian di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al Islamy Ciwaringin, Cirebon. Film yang diperdanakan di International Documentary Film Festival Amsterdam (IDFA) 2019 ini mungkin akan meruntuhkan stigma pesantren yang sudah mengerak di kepala sebagian dari kita. Tidak ada paham-paham radikal yang diajarkan di Pondok Pesantren Kebon Jambu. Sebaliknya, pesan toleransi bulak-balik disampaikan oleh pengajar yang berbeda-beda.
Keseharian para santri pun tak jauh berbeda dari remaja sebayanya. Mereka luwes ber-stand up comedy di panggung, menelpon orangtua untuk minta uang atau sekadar kangen-kangenan, dan menyanyikan lagu-lagu cinta di pelajaran kesenian. Namun, di Pondok Pesantren Kebon Jambu, aku mendapati satu nilai kuat yang ditanamkan kepada para santri; bagaimana Islam mengajarkan umatnya untuk berguna bagi sesama. Jangan menjadi fanatik, sebab dengan menjadi fanatik, otomatis manfaat kita akan terbatas bagi sebagian kelompok saja.
Kesetaraan gender menjadi nilai yang dipupuk di Pondok Pesantren Kebon Jambu. Tak hanya dipimpin perempuan, pesantren ini menjadi tuan rumah penyelenggaraan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Apakah upaya mencapai kesetaraan gender ini lantas membuat ulama perempuan akan menindas laki-laki? “Itu namanya suuzon,” canda salah satu ulama yang berbicara di KUPI. Sekali lagi, KUPI mungkin akan meruntuhkan stigma yang mengerak di kepala sebagian kita. Pesan kesetaraan gender tidak disampaikan dengan cara-cara agresif dan teori-teori rumit yang membuat orang lain terintimidasi. Ia hadir dalam hal-hal yang paling dekat dengan keseharian. Tak hanya untuk perempuan, kesetaraan gender pun membuat laki-laki tak harus menopang banyak beban sosial sendirian.
Setiap sosok yang hadir di film Pesantren manusiawi dan apa adanya. Teh Bibah, guru kesenian yang cetusannya selalu out of the box. Mang Diding, pengajar yang sederhana dan berusaha memelihara perdamaian dengan siapa saja. Dul Yani, santri yang sudah hampir tujuh tahun mondok di pesantren. Semua mempunyai cerita yang menerbitkan kasih dan empati. Mungkin memang itulah yang kita perlukan untuk meruntuhkan stigma. Menghadapi manusia sebagai manusia saja.
Pemutaran Film Pesantren
Sejak 17 November 2022, melalui jaringan Lola Amaria Production, Pesantren berkesempatan tayang di bioskop. “Sudah siap ditonton meskipun dengan bioskop terbatas, hanya tiga layar oleh XXI dan dua layar oleh Cinepolis,” ujar Lola Amaria dilansir dari tempo.co.
Menurut Suryani Liauw, impact producer film Pesantren, Bandung adalah kota yang cukup antusias atas kehadiran film Pesantren. Itu sebabnya kota kita dipilih sebagai salah satu tempat penayangan film ini. Tiket segera ludes. Penonton pun bersedia tiba jauh lebih awal di lokasi agar dapat memilih tempat duduk yang paling nyaman untuk menonton. Aku, yang datang kurang lebih 30 menit menjelang penayangan, tak punya banyak pilihan dan harus rela kebagian bangku depan. Untungnya perbandingan layar dengan ukuran bioskop yang tidak terlalu besar membuat posisi tontoku masih cukup nyaman.
Setelah menyaksikan Pesantren, banyak percik pemikiran dan pertanyaan yang melompat-lompat di kepalaku. Aku berencana menyampaikannya kepada Suryani yang mengawal kami sejak pemesanan tiket hingga menonton. Namun ternyata, aku bukan satu-satunya orang yang mempunyai ide demikian. Di depan pintu bioskop, penonton mengantri untuk menyampaikan isi kepalanya kepada Suryani. Sekilas aku menyimak topik-topik yang dibahas dalam setiap pembicaraan. Tampaknya Pesantren adalah film yang mampu menyentuh banyak isu dan memantik pertanyaan-pertanyaan reflektif. Maka, kupikir akan sangat seru jika program penayangan film ini disambung dengan diskusi.
Baca Juga: SALAMATAKAKI #5: Kesempatan
SALAMATAKAKI #6: Tentang Bandung Philharmonic, tentang Terpaksa Putus ketika Sedang Sayang-sayangnya
SALAMATAKAKI #7: Membaca Bandung Bersama Cerita Bandung dan Patjar Merah
Alteraksi
Setelah penonton yang antusias tak lagi mengerubungi Suryani, aku menghampirinya. Tidak banyak yang kami sempat bicarakan, tapi, mengenai diskusi, Suryani sempat menyebut-nyebut program alteraksi. Rupanya, sebelum ditayangkan secara mandiri di bioskop, Pesantren sudah diputar mandiri di berbagai tempat antara lain Jakarta dan Palu. Acara menonton biasanya disambung dengan program seru ini: Alteraksi.
Digerakkan oleh Besiberani, inisiatif interfrensi sosial melalui medium film, alteraksi menggunakan film dan metode fasilitasi sebagai alat bantu untuk membicarakan sekaligus mengalami beragam opini, pandangan, perasaan, dan pemikiran mengenai persoalan keragaman, keadilan, dan inklusi sosial dalam hidup sehari-hari. “Kita nggak bahas behind the scene filmnya,” ujar Suryani. Bagaimana film tersebut mempengaruhi kehidupan nyatalah yang lebih menjadi titik berat program ini. Aku dapat membayangkan serunya ruang alteraksi, apa lagi Pesantren merangkul penonton dari berbagai latar belakang. Aku mendapati mahasiswa, dokter mata, fotografer, musisi, feminis, santri, komunitas dari kelompok minoritas, dan lain sebagainya berbagi ruang untuk menyaksikan film yang sama. Betapa kayanya pengalaman yang dapat dibagi, stigma yang dapat diruntuhkan, ketika diskusi berangkat dari sebuah karya yang mengedepankan toleransi.
“Aku paling tersentuh ketika ada adegan membahas seni. Ketika film itu bilang bahwa Tuhan itu mencintai keindahan—juga, orang-orang yang memegang kitab itu sama diperlukannya dengan orang-orang yang memegang arit—aku tersentuh sekali,” ungkap Ilalang, fotografer yang menjadi penonton “Pesantren” malam itu.
“Dengan menonton film ini, kita ngaji di bioskop,” ujar Nisa, alumni Pondok Pesantren Kebon Jambu yang ternyata ikut menonton penayangan hari itu. Kurasa ini jadi relevan dengan program alteraksi yang diceritakan Suryani.
Nisa datang bersama kedua temannya yang juga satu almamater, Eriz dan Dena. Melalui mereka aku berkenalan dengan istilah ngaji rasa alias mengaji dalam hidup sehari-hari.
Saat mendengarkan tuturan Ilalang dan Nisa, kurasakan Tuhan begitu dekat dan universal. Jika Tuhan ada di mana-mana, dapat ditemukan dalam wajah siapa saja, cair, dan begitu welas asih, bagaimana mungkin kita masih bertahan dengan stigma saat menghadapi perbedaan?
Aku teringat pada adegan awal film Pesantren. Di tengah malam yang gelap, lampu taman menjadi satu-satunya sumber cahaya. Rasa rindu pada terang membuat laron enggan beranjak dan terus terbang di sekitarnya.
Padahal, jika kegelapan adalah stigma, mungkinkah terang yang lebih besar hanya tersembunyi di balik kepekatannya?