• Kolom
  • SALAMATAKAKI #6: Tentang Bandung Philharmonic, tentang Terpaksa Putus ketika Sedang Sayang-sayangnya

SALAMATAKAKI #6: Tentang Bandung Philharmonic, tentang Terpaksa Putus ketika Sedang Sayang-sayangnya

Setelah hampir tujuh tahun berkiprah, Bandung Philharmonic menggelar konser terakhir mereka akhir pekan lalu. Seperti terpaksa putus ketika sedang sayang-sayangnya.

Sundea

Penulis kelontong. Dea dapat ditemui di www.salamatahari.com dan Ig @salamatahari

Para punggawa Bandung Philharmonic berfoto bersama dalam konser terakhir mereka setelah hampir tujuh tahun berkiprah, Sabtu (19/11/2022), di PPAG Unpar Bandung. (Foto: dokumentasi Bandung Philharmonic)

22 November 2022


BandungBergerak.id - Pernah terpaksa putus ketika sedang sayang-sayangnya? Mungkin kira-kira seperti itulah perasaan segenap tim dan pendukung Bandung Philharmonic. Finalia Concertante yang diadakan 19 November 2022 lalu di Auditorium Pusat Pembelajaran Arntz-Geise Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) merupakan konser terakhir orkestra simfoni ini. Final. Selesai.

Bandung Philharmonic berdiri hampir tujuh tahun lalu. Diinisiasi oleh Airin Efferin (pianis), bersama tiga rekan musisinya Putu Sandra Kusuma (violinis), Ronny Gunawan (flutis), dan Fauzie Wiriadisastra (komponis). Mimpi membangun orkestra simfoni profesional awalnya terasa terlalu besar dan muskil. Namun, yang tampak mustahil resmi menjadi kenyataan saat Bandung Philharmonic mengadakan konser pertamanya di Padepokan Mayang Seni Sunda, Bandung, pada 18 Januari 2015.

Tersebutlah Robert Nordling, maestro mengaba asal Amerika Serikat. Ia menyambut gembira ide membangun orkestra simfoni di Bandung. Bersama kawan baiknya, Doktor Michael Hall, akademisi dan pemain viola tingkat internasional, ia datang ke Bandung. Melalui audisi, terpilihlah musisi-musisi terbaik untuk mengisi bangku pemain Bandung Philharmonic. Selaku Direktur Artistik, Robert Nordling menyusun program konser, sementara Michael Hall secara intensif menangani pendidikan musik bagi pemain.

Tak hanya itu, Bandung Philharmonic membuka program conducting fellow. Melalui program tersebut, pengaba-pengaba muda terpilih berkesempatan belajar langsung kepada Robert Nordling sambil ikut mempersiapkan konser. Untuk para komponis, Bandung Philharmonic menggelar sayembara rutin dan mengkomisikan karya. Nantinya, karya-karya komponis ini diperkenalkan melalui konser Bandung Philharmonic.

Selama hampir tujuh tahun Bandung Philharmonic bertumbuh. Di sepanjang usianya, 16 konser besar digelar dan 18 karya diperdanakan. Pengaba, komponis, dan musisi klasik bermunculan seperti bunga-bunga di musim semi. Kesejahteraan musisi terpelihara karena para pemain Bandung Philharmonic dibayar dengan sangat layak. Memang, tak selamanya jalan yang ditempuh orkestra simfoni ini terang, lapang, dan mulus, namun bukankah cinta menjadi lebih kuat jika seluruh episodenya lengkap dengan pengalaman dan emosi?

Bersama waktu yang bergerak dengan segala dinamikanya, Bandung Philharmonic melebarkan sayap ke berbagai program. Kolaborasi-kolaborasi terjalin, antara lain dengan Besharp, organisasi non-profit yang mengembangkan potensi anak melalui pembelajaran musik klasik. Bersama Besharp, lahirlah Tunas, program yang memberikan pendidikan musik untuk anak-anak yang kurang beruntung. Tunas dijalankan di kamp pengungsian Hope Learning Center (HLC) di Bogor, panti asuhan Kinderdorf di Lembang, panti asuhan Rumah Kasih Karunia di Bandung, dan di Subang.

Bandung Philharmonic juga membuka kesempatan belajar melalui masterclass-masterclass, memperkenalkan orkestra kepada anak-anak melalui Program Musik Anak, dan menyelenggarakan konser-konser musik kamar.

Di masa pandemi, ketika konser besar tak mungkin dilaksanakan, Bandung Philharmonic mengupayakan konser daring agar para musisi tetap mendapatkan sumber penghidupan.

Namun, apa daya. Pandemi dan kondisi ekonomi dunia bagaikan raksasa rakus yang melahap segalanya. Meskipun sudah berusaha sekuat tenaga, Bandung Philharmonic tak sanggup lagi menghidupi diri. Orkestra simfoni profesional pertama di Bandung ini terpaksa menyerah.

But your support is not wasted,” ungkap Pak Hendra Irawan, Ketua Yayasan Bandung Philharmonic.

Dengan militan, mereka yang duduk di Yayasan Bandung Philharmonic masih berusaha berkomitmen memelihara beberapa program sosial yang masih mungkin dijalankan, terutama Tunas.

Suasana konser pertama Bandung Philharmonic pada 18 Januari 2015 di Padepokan Mayang Seni Sunda, Kota Bandung. Tak hanya konser musik, Bandung Philharmonic terjun juga ke kerja di ranah sosial dan pendidikan.(Foto: dokumentasi Bandung Philharmonic)
Suasana konser pertama Bandung Philharmonic pada 18 Januari 2015 di Padepokan Mayang Seni Sunda, Kota Bandung. Tak hanya konser musik, Bandung Philharmonic terjun juga ke kerja di ranah sosial dan pendidikan.(Foto: dokumentasi Bandung Philharmonic)

Finalia Concertante

Setelah dua tahun lebih absen hadir di Indonesia, Robert Nordling dan Michael Hall kembali untuk konser terakhir Bandung Philharmonic, Finalia Concertante. Berduet dengan concert master Bandung Philharmonic, Siripong Tiptan, Michael Hall mempersembahkan “Sinfonia Concertante untuk Biola, Viola, dan Orkestra dalam Es Mayor K364” karya Wolfgang Amadeus Mozart. Dinamis dan bermain-main adalah ciri sebagian besar karya Mozart. Kekhasan itu menciptakan interaksi lincah yang menyenangkan antara Hall dan Tiptan.  

Nuansa jahil dan gembira juga hadir pada “Symphony no. 88 in G Major” karya Franz Joseph Haydn, guru Mozart.

“Saya tidak ingin konser terakhir ini menjadi perpisahan yang sedih. Saya lebih ingin mengisinya dengan kegembiraan dan ucapan syukur,” ungkap Nordling di panggung sebelum karya Haydn dimainkan.

Malam itu juga, penonton dibuat tercengang oleh penampilan pianis Jonathan Kuo, Artis Steinway Muda berprestasi. Membawakan “Concerto no.1 in D Minor” karya J.S Bach, jari-jari Kuo bergerak lincah menelusuri nada-nada rumit dengan kestabilan yang sangat terjaga.

Sementara itu, karya komisi untuk Finalia Concertante ditulis oleh Mery Kasiman, personel band Potret yang juga berkecimpung di komposisi film, antara lain “Argantara” yang sedang tayang di bioskop. Meskipun Kasiman mengaku tak banyak menulis komposisi untuk orkestra simfoni, “Journey to Home”-nya malam itu laksana sepiring hidangan yang dimasak dengan cermat. Terinspirasi oleh masa pandemi yang membekukan segala aktivitas, Kasiman mempertanyakan lagi makna “rumah”. “Journey to Home” bercerita mengenai perjalanan pulang ke dalam diri sendiri, tempat yang akan selalu ada ketika segala hal di luar diri kita datang dan pergi. Meskipun di sepanjang karya musik bergerak meniti akor-akor yang tidak intuitif di telinga kita, pada akhirnya “Journey to Home” kembali ke akor yang membuka komposisi itu: rumahnya.

Aku merenung. Kusadari, kita seperti kembali ke titik awal. Orkestra ini berangkat dari “tidak ada”, mewujud menjadi “ada”, dan akhirnya kembali kepada “tidak ada”. Namun, “tidak ada” hari ini jelas berbeda dengan “tidak ada” bertahun-tahun yang lalu.  

Menyaksikan konser terakhir Bandung Philharmonic, aku termenung. Kita seperti kembali ke titik awal. (Foto: Sundea)
Menyaksikan konser terakhir Bandung Philharmonic, aku termenung. Kita seperti kembali ke titik awal. (Foto: Sundea)

Baca Juga: SALAMATAKAKI #5: Kesempatan
SALAMATAKAKI #4: Selamat Ulang Tahun, Sampai Ketemu di Tengah…

Setelah Selesai

Pada tahun 2015, ketika untuk pertama kalinya mendengar Bandung Philharmonic, aku, yang sebelumnya bukan penggemar musik klasik, memasuki jenis musik ini. Sedikit demi sedikit aku berlatih mengapresiasi dan mengulas. Sejak awal, Nordling berharap Bandung Philharmonic dapat menginspirasi pendengar untuk mengenal musik klasik lebih jauh. Apa yang dicita-citakannya berhasil, setidaknya kepadaku.

Wajah orang-orang yang datang, pergi, dan kembali mengilas dalam ingatanku. Ketika “tidak ada” yang lalu dan “tidak ada” hari ini kusandingkan, kusadari kita disayangi berlimpah-limpah oleh proses. Bandung Philharmonic hadir untuk memberi kepada Bandung dan segala yang berdetak bersama kota ini. Aku pun menyadari betapa tekunnya waktu menuntun dan mengurai relasi.

Mempunyai gedung konser yang layak adalah impian Bandung Philharmonic sejak awal. Aku ingat bagaimana konser-konser Bandung Philharmonic berpindah dari satu tempat ke tempat lain, diakali dengan panel rancangan arsitek Oky Kuspriyanto agar mampu mencapai bunyi ideal, sampai akhirnya menutup rangkaian baktinya di sebuah gedung konser baru yang lebih daripada sekadar layak: Auditorium Pusat Pembelajaran Arntz-Geise Universitas Katolik Parahyangan.

Dua hari setelah Finalia Concertante, bersama pengajar Program Tunas, Michael Hall berkunjung ke Panti Asuhan Rumah Kasih Karunia. Saat diberi kesempatan bertanya kepada Michael, Irfan, salah satu anak di panti asuhan yang tampak sangat berminat kepada musik bertanya dengan penuh harap: “Setelah lulus SMA, saya bisa jadi pemain musik di Bandung Philharmonic?”

Bagaimana menjawab pertanyaan Irfan, siswa sekolah menengah atas yang sedang belajar membangun cita-cita? Irfan yang selalu bersemangat belajar musik bersama Tunas Bandung Philharmonic dan terampil bermain piano, biola, flute, dan gitar?

Aku kembali kepada pertanyaan di awal artikelku: pernah terpaksa putus ketika sedang sayang-sayangnya?

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//