SALAMATAKAKI #7: Membaca Bandung Bersama Cerita Bandung dan Patjar Merah
Pasar buku keliling nusantara, Patjar Merah, tanggal 3-11 Desember ini sedang singgah di Gedung PPAG Universitas Parahyangan, Ciumbeuluit, Bandung.
Sundea
Penulis kelontong. Dea dapat ditemui di www.salamatahari.com dan Ig @salamatahari
6 Desember 2022
BandungBergerak.id - “Sebetulnya sudah lama saya pengin ikut ini, tapi baru kesampaian sekarang karena baru dapat libur Sabtu-Minggu,” ungkap Dian. Dari Jakarta, sengaja Dian berangkat naik kereta sore, bermalam di Stasiun Hall Bandung, kemudian berangkat pagi-pagi sekali ke titik kumpul kami di pusat swafoto This Is Me, Cihampelas. Dian tidak ingin terlambat.
Revealing Tjihampelas adalah wisata unik yang membuat Dian rela berupaya sedemikian rupa. Program ini terselenggara berkat kerja sama antara Cerita Bandung, agen tur yang menawarkan pengalaman berbeda, dan Patjar Merah, festival literasi, dan pasar buku keliling nusantara yang tanggal 3-11 Desember ini sedang singgah di Gedung PPAG Universitas Parahyangan, Ciumbeuluit, Bandung.
Cerita Bandung mempersiapkan rute jelajah di Cihampelas, sementara Patjar Merah menyediakan buku tentang Bandung untuk kurang lebih 20 peserta—termasuk aku—yang selanjutnya akan kita sebut #patjarboekoe. Para #patjarboekoe ditemani oleh Gadis Hadianty dari Cerita Bandung dan seorang #patjarjelajah, Faisal Fani Irawan.
Kami mengawali langkah kami dengan memasuki gang Marga Setia. Setelah melewati berlapis-lapis jemuran, jalan yang naik-turun, warung-warung mungil, rumah-rumah warga yang berdempetan, sampailah kami kepada sebuah prasasti. Iya, lho, betul, prasasti! Baru kali itu aku melihat prasasti yang teronggok begitu saja seperti sebongkah batu kali yang tersesat.
Diduga prasasti ini berasal dari masa Sunda Klasik sekitar abad 7-11 Masehi. Namun, berhubung belum ada penelitian yang dapat memastikan asal-usul sang prasasti, sampai artikel ini ditulis, prasasti tersebut masih terparkir tanpa dijaga secara khusus di permukiman warga. Kalau dipikir-pikir, lucu juga. Ketidakberjarakan sang prasasti dengan warga membuat sang prasasti hadir seperti Semar yang bersahaja seperti rakyat biasa, tidak rupawan, namun sesungguhnya merupakan penasihat para kesatria.
Di gang lainnya, kami berkesempatan melihat masjid yang seharusnya menjadi masjid tertua di Kota Bandung. “Sayangnya, masjid ini tidak bisa dijadikan cagar budaya,” sesal Gadis. Masjid yang berdiri sejak tahun 1869 itu awalnya sebuah kobong atau tempat tinggal santri. Akibat sudah dipugar sedemikian rupa tanpa menyisakan bangunan aslinya, ia diapanggap sebagai bangunan baru. Namun, sampai artikel ini ditulis, masjid tersebut tetap aktif sebagai tempat ibadah warga. Namanya cukup unik. Mungsolkanas. Kependekan dari “mangga urang ngaos sholawat kanggo Kanjeng Nabi Muhammad S.A.W” yang artinya “mari kita mengaji selawat untuk Nabi Muhammad S.A.W”. Mungsolkanas didirikan oleh ahli agama bernama KH Abdurrohim yang akrab dipanggil Mama (suatu gelar kehormatan) Aden. Hingga hari ini, Mungsolkanas masih dikelola oleh keturunan Mama Aden.
Tahukah kamu hidangan-hidangan lezat di Dapur Dahapati yang legendaris lahir dari kebucinan seorang gadis Siam kepada akang-akang dari Cianjur? Pernahkan kamu membayangkan, pada zaman dahulu kala, jumlah badak di Bandung mungkin hampir sama banyaknya dengan kucing di masa kini? Seperti apa kira-kira suasana pusat jin Cihampelas jika masih menjadi perumahan warga yang nyaman dan tenang? Jika mal Cihampelas masih menjadi pabrik makanan kaleng, bayangkan keseruan yang terjadi ketika pegawai pabrik melemparkan produknya kepada penduduk setempat yang minta dibagi makanan.
Rute Reavealing Tjihampelas berakhir di Kelom Geulis Keng yang ternyata tutup. Di sana, aku berpisah dengan #patjarboekoe yang lain. Mereka siap meluncur ke PPAG Universitas Parahyangan untuk menjemput buku barunya, sementara aku harus cepat-cepat pulang ke rumah untuk menyelamatkan jemuranku dan mencuci baju lagi. Kebetulan tempat tinggalku tidak terlalu jauh dari Kelom Geulis Keng.
Dalam perjalanan pulang aku tersadar bahwa sebelum menggenggam buku yang dihadiahkan Patjar Merah, lebih dulu kami diajak mengeja dan membaca kota Bandung. Ingatanku kembali kepada prasasti yang bersemayam di salah satu gang Cihampelas. Di permukaannya, dalam aksara Sunda kuno, tertulis “unggal jagat, jalmah hendap” yang konon berarti “setiap manusia di dunia akan mengalami bencana”.
Kalimat itu terasa seperti kalimat berita yang dingin, tetapi juga menyimpan kebijaksanaan rahasia. Aku bertanya di dalam hati. Mengapa harus “bencana”? Padahal, selain mengalami bencana, setiap manusia juga pasti mengalami kebahagiaan, jatuh cinta, perpindahan fase hidup, dan lain-lain.
Aku membiarkan pertanyaan itu terbuka; seperti sang prasasti yang tak dilindungi apa-apa sehingga dapat sedekat itu dengan kehidupan warga. Mungkin, ia memang hadir sebagai Semar.
Baca Juga: SALAMATAKAKI #4: Selamat Ulang Tahun, Sampai Ketemu di Tengah…
SALAMATAKAKI #5: Kesempatan
SALAMATAKAKI #6: Tentang Bandung Philharmonic, tentang Terpaksa Putus ketika Sedang Sayang-sayangnya
Cerita Bandung
Cerita Bandung adalah agen tur yang menawarkan pengalaman berbeda. Programnya adalah berjalan kaki ke sudut-sudut Bandung sambil mendengarkan cerita-cerita unik tentang kota ini. Bagi Cerita Bandung, Bandung bukan sekadar lokasi pariwisita yang terbagi dalam beberapa denah. Bagi mereka, Bandung adalah kisah-kisah yang terkandung di dalamnya. Sudut pandang penduduk lokal merupakan kekuatan Cerita Bandung. Sehingga, bersama agen tur ini, Bandung terasa seperti kawan lama yang sedang kita kunjungi.
Cerita Bandung digawangi oleh Farhan Basyir yang masih aktif menjadi MC, Femis yang sudah tujuh tahun bergerak di dunia travel, dan Gadis Hadianty hobi menjelejahi Bandung sejak remaja. Kunjungi Cerita Bandung di https://ceritabandung.com/, ya…
Patjar Merah
Festival literasi dan pasar buku keliling nusantara ini baru saja menginjak usia 4 tahun. Ide awalnya sederhana sekali, ingin memanfaatkan gudang tak terpakai di area Gedong Kuning Yogyakarta. Para penggagas Patjar Merah percaya bahwa pengembangan literasi dapat dilakukan di mana saja. Ternyata, acara ini disambut baik dan berkembang semakin besar. Setelah sukses di Yogyakarta, Patjar Merah bergerak ke Malang, dan merambah kota-kota lainnya seperti Jakarta dan Surabaya. Tak hanya menjual buku, pada rangkaian acara Patjar Merah diadakan pula diskusi-diskusi, lokakarya, bahkan pemutaran film, dan panggung musik.
Saat ini Patjar Merah, yang digawangi Windy Ariestanty, sedang mampir di Bandung, tepatnya di Gedung PPAG Universitas Parahyangan. Kolaborasi dan berjejaring adalah salah satu cara Patjar Merah memanjangumurkan literasi. Kunjung akun instagram @patjarmerah_id untuk menyimak acara-acara yang berlangsung pada tanggal 3 sampai 11 Desember 2022 ini.