SALAMATAKAKI #9: Galeri Grey dan Bangunan Cagar Budaya Pelantang Seni
Grey Art Gallery menggelar pameran seni rupa bertajuk Hitam. Pameran perdana galeri seni yang menempati eks toko pertama di Jalan Braga, Bandung: N.V. Hellerman.
Sundea
Penulis kelontong. Dea dapat ditemui di www.salamatahari.com dan Ig @salamatahari
7 Februari 2023
BandungBergerak.id – Serius, nih, ini galerinya? Batinku saat tiba di Jalan Braga 47. Aku mencermati antrean panjang di depan bangunan cagar budaya yang cantik. Melalui keterangan pemerintah yang terpasang di tembok depan, aku jadi tahu bahwa N.V. Hellerman, bangunan tahun 1930 itu, merupakan toko pertama yang dibuka di Bragaweg. Menarik sekali. Aku buru-buru ikut mengantre dengan penasaran.
Bangunan cagar budaya tidak boleh direnovasi secara sembarang. Jika difungsikan sebagai galeri seni dengan karya-karya masa kini, akan seperti hasilnya?
Baca Juga: SALAMATAKAKI #8: Film Pesantren, Stigma Runtuh Toleransi Tumbuh
SALAMATAKAKI #7: Membaca Bandung Bersama Cerita Bandung dan Patjar Merah
SALAMATAKAKI #6: Tentang Bandung Philharmonic, tentang Terpaksa Putus ketika Sedang Sayang-sayangnya
SALAMATAKAKI #5: Kesempatan
Namanya galeri itu Grey Art Gallery. Hitam adalah judul pameran sekaligus sapaan pertamanya kepada dunia seni di kota kembang. Pameran ini digelar sejak tanggal 3 Februari 2023 sampai 5 Maret 2023.
Ada karya 133 seniman yang dipamerkan; 18 seniman undangan, sisanya disaring melalui sistem open call. “Menyeleksi dari 800 karya, dipilih menjadi 115, kesulitan tersendiri, tapi menyusun di ruang pamer jauh lebih menantang lagi,” ungkap Angga Atmadilaga, Chief Executive Manager galeri Grey sekaligus anggota dewan kurator pameran Hitam.
“Secara umum, hitam diartikan sebagai warna yang tercipta karena ketiadaan atau absennya penyerapan cahaya tampak, karena alasan ini, hitam sering diyakini sebagai awalan,” tulis Aminuddin T.H Siregar, kurator utama Hitam, yang melakukan kegiatan kurasi dari negeri Belanda.
Delapan belas seniman undangan dipilih karena dianggap mewakili beragam kecenderungan, diamati dari konsistensi terkait penggunaan media artistik, teknik, dan tema karya. Andreas Camelia, misalnya, konsisten berkarya dengan teknik pointilisme yang unik. Gambar-gambar Andreas Camelia dibentuk dari titik-titik yang ditorehkan dengan alat gambar berbagai ukuran. Keterampilan tangan Andreas Camelia menghasilkan lukisan realistik yang kuat. Di pameran Hitam, Andreas Camelia menyumbangkan dua karya berukuran 180 cm x 180 cm.
Sementara seniman undangan lainnya, aktivis sosial dan pematung senior Dolorosa Sinaga, memaknai hitam dengan metaforik. Karyanya, “Concise History of the Mass Murdered of 1965 in Indonesia” mengangkat sejarah hitam 1965 sebagai tema.
Karya-karya seniman open call pun tak kalah menarik. Kristides Yudoko membuat lukisan menggunakan pensil dan kapur tulis di sebidang papan tulis hitam. Menurutku, “Gelap Warna, Gemerlap Rasa” adalah judul yang tepat untuk karya tersebut. Kontras hitam papan tulis dan kekuatan lukisan realistik Kristides Yudoko yang menangkap kasih sayang melalui bahasa tubuh memberikan sensasi rasa yang gemerlap seperti bintang di langit gelap.
Di lantai dua, “Dialogue to the Self” karya Egapie Sifara yang digarap dengan media stiker dan akrilik memberikan kesan meditatif untukku. Karya yang digantung berhadapan dengan cermin tersebut berputar perlahan-lahan, melenakan, serta menangkap banyak pantulan, termasuk pantulan wajah kita sendiri.
Sementara itu, di sudut lain ruangan, “Hingarbingar” karya Bimo Wisnu Atmojo pun memberikan pengalaman unik. Bimo membuat karya print berbagai obyek acak yang disusun padat di atas kanvas. Di hadapan karya itu tersedia sebuah kursi. Jika kita duduk di kursi, jarak antara kita dan karya membuat mata kita menangkap secuplik obyek. Saat mata kita sudah membingkai, karya itu tak akan terasa begitu riuh lagi.
Lantai bawah—yang dulunya konon bunker—adalah bagian galeri yang cukup menarik untukku. Memasukinya seperti bertualang ke wahana permainan. Saat menuruni tangga yang minim cahaya, kita diantar oleh karya-karya gelap yang depresif, antara lain “Counter Figure” karya Asep Saepuloh. Begitu sampai di bawah, kita berjumpa dengan ruangan serba kelabu dan lukisan bebatuan sebagai dekorasi yang memberi kesan dingin. Beberapa karya yang dipasang di sana pun terlihat agak angker untukku. Ambil contoh figur tengkorak menggenggam gawai pada “People #1” karya Andrea Gani Hidayat atau instalasi fresco karya J.A Pramuhendra—salah satu seniman undangan—bertajuk “On the Mountain Dawns the Day”. Karya Parmuhendra sesungguhnya merupakan kritik halus terhadap peradaban. Melalui karya itu, Pramuhendra mengajak kita kembali ke masa ketika seni masih berada di bawah otoritas gereja.
Namun, saat melangkah ke ruang sebelahnya yang bahkan tak dibatasi pintu, suasana berubah seratus delapan puluh derajat. Lukisan perapian yang menjadi dekorasi ruang, cat warna kayu, dan ubin jingga mempersembahkan kesan hangat. Karya-karya yang dipasang di sana pun relatif lebih ramah menyapa. Salah satu favoritku adalah karya Rezza Resda Kelanakusuma. Meskipun berbicara tentang dunia kematian yang gelap, pilihan media kayu berwarna terang dan tajuk “Kenangan Setelah Mati” menawarkan pesan yang lebih bersahabat dan optimis. Ada kesenduan dalam kenangan. Namun, selalu lebih banyak lagi hal yang cukup berharga untuk disimpan dan dipelihara.
Masih di area bawah tanah, ruang selanjutnya terasa lebih terbuka dan tidak didandani terlalu banyak. Jika kuperhatikan, secara umum karya-karya yang dipasang di sana adalah karya-karya lebih terasa ringan dan bermain-main. Ada karya anak-anak di bawah usia 12 antara lain “Happy Week” karya Humairah Firdaus. Ada pula karya-karya interaktif seperti helikopter engkol karya Fahmy Nurdian Shah yang bertajuk “Mainan” dan kaleng-kaleng susu kental manis yang dirangkai dengan mesin motor karya Ghina Iqmalia bertajuk “Assemblage_23042022". Namun, ada pula “Jogo Werdhi” karya Dha-noe yang meskipun tampak jenaka, kekanakan, dan menyenangkan mata, terdiri dari jalinan simbol dan kritik sosial yang solid dan serius. Konon karya ini sudah laku terjual dan akan dipasang di kamar anak kolektornya.
Aku ingin sekali mengulas setiap karya yang dipamerkan satu persatu. Namun, bagaimana mungkin menceritakan lebih dari 130 karya dalam satu artikel?
Cut to Black.
Grey Art Gallery
Grey adalah kependekan dari Grace Christianti & Elia Yoesman. Sebelum memutuskan untuk membangun galeri, kedua arsitek ini hanya ingin mulai aktif menjadi seniman. Angga Atmadilaga, yang berprofesi sebagai dosen seni terpadu dan berpengalaman di dunia pameran seni rupa, dilamar untuk memanajeri mereka.
“Seiring berjalannya proses memperkenalkan seni rupa, mereka melihat juga kondisi seni rupa secara umum, khususnya potensi-potensi seniman lainnya. Di sini muncul pertanyaan sederhana dari mereka, ‘seniman banyak yang berpotensi, lalu bagaimana dengan karier mereka?’” cerita Angga.
Berangkat dari sana, Grace dan Elia mempelajari posisi distribusi dan konsumsi karya seni sehingga muncul inisiatif untuk membuka galeri. Cita-cita yang tadinya personal tumbuh menjadi mimpi yang lebih besar dan kolektif.
“Jadi ke depannya memang Grey akan mengambil posisi untuk bisa menjadi salah satu poros barometer perkembangan seni kota Bandung, dalam pengertian seni yang meluas. Di sisi lainnya, Grey akan masuk area kerja profesional terkait seni dan jalur profesi kesenimanan,” pungkas Angga.
Niat baik Grace dan Elia seakan didengar oleh semesta. Di saat yang hampir bersamaan, Jessica Wijaya, pemilik gedung N.V Hellerman yang juga masih kerabat Grace dan Elia, menanyakan kemungkinan pemanfaatan bangunan cagar budaya tersebut. Maka, di gedung bersejarah yang estetik itulah mimpi-mimpi besar untuk ekosistem kesenian ditanam.
Saat ini pengelola inti galeri Grey terdiri dari 8 orang. Tak hanya menyelenggarakan pameran seni rupa, rencananya Grey akan menginisiasi pelatihan dan lokakarya meliputi berbagai disiplin seni. Jadi, untuk teman-teman yang ingin berkolabarosi atau mempunyai program lokakarya menarik, jangan ragu bertandang ke Jalan Braga 47 untuk bertemu dengan Ibu kepala sekolah Hani Handayani. Jika masih ingin tahu lebih banyak tentang galeri Grey, stalk dulu akun instagramnya @greyartgallery47.
Cut to Black.
Misha Baron, salah satu kawanku, ikut memamerkan karyanya dalam Hitam. Seniman topeng ini membuat kepala serigala besar yang digantung di tengah ruang pamer. Jika kamu mampir ke galeri Grey, karya bertajuk “Black Howl” ini pasti tak akan luput dari tangkapan matamu.
“Harusnya topeng itu bisa dipakai,” ujar Misha. “Kalau kamu melolong (dengan memakai topeng itu), jadi keras sekali, lho, apa lagi di dalam ruangan,” lanjutnya.
Aku menemukan benang merah antara karya Misha dan peran yang diambil Grey. Kita butuh ruang yang tepat agar suara kita terdengar lebih jelas tanpa perlu berteriak-teriak. Grey mengambil peran sebagai ruang untuk memproyeksikan berbagai suara potensial yang hadir sebagai kesenian. Sebab, seperti arti katanya dalam kamus besar bahasa Indonesia, “seni” adalah sesuatu yang kecil, tipis, dan halus. Tanpa bantuan pelantang, seni yang halus berbisik seperti hati nurani akan sulit terdengar luas. Menyadari ini membuatku semakin menaruh hormat dan berterima kasih atas pilihan altruistik Grace dan Elia.
Aku percaya tak pernah ada doa baik yang sia-sia.
Di grey area yang menjembatani black and white, semoga lapang jalan menyeberang untuk seni dan segala rahmatnya.
Fade out.